Nikel Indonesia: Antara Ambisi dan Ancaman

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read

jfid – Nikel adalah salah satu komponen vital dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, yang merupakan teknologi masa depan yang ramah lingkungan. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 52% dari total cadangan nikel global.

Hal ini membuat Indonesia berpotensi menjadi “raja” baterai kendaraan listrik dunia, jika mampu mengolah nikel menjadi produk bernilai tambah tinggi.

Namun, ambisi Indonesia untuk menjadi produsen baterai lithium terbesar ketiga di dunia pada tahun 2027 atau 2028 mendatang mendapat tantangan dari sejumlah negara, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Kedua blok negara ini mengincar nikel Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri baterai mereka sendiri.

Uni Eropa telah menggugat Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2020 lalu, terkait kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2020.

Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong hilirisasi nikel di dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan negara. Namun, Uni Eropa menganggap kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme dan diskriminasi terhadap produk impor mereka.

Pada Oktober 2022 lalu, panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO memutuskan bahwa Indonesia kalah dalam gugatan tersebut. Alasannya, industri hilir nikel di Indonesia dianggap belum matang dan tidak bisa menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk mendukung industrialisasi di Indonesia.

Sementara itu, Amerika Serikat juga berupaya menguasai pasokan nikel global, dengan mengeluarkan peraturan baru yang menetapkan bahwa produk nikel yang masuk ke AS harus berasal dari negara-negara yang memiliki hubungan baik dengan AS. Hal ini dapat mempersulit akses pasar Indonesia ke AS, yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama.

Indonesia tidak tinggal diam menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menyerah kepada negara manapun yang mau menekan Indonesia dan akan melawan Uni Eropa di WTO. Selain itu, Indonesia juga terus berupaya membangun industri baterai kendaraan listrik yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah membentuk PT Industri Baterai Indonesia (IBI) pada Juni 2021. IBI adalah perusahaan BUMN yang bergerak di ekosistem Battery Electric Vehicle (BEV) dan Electric Vehicle (EV).

IBI dimiliki oleh empat BUMN, yaitu Mining and Industry Indonesia (MIND ID), PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Aneka Tambang (Antam), dengan porsi kepemilikan masing-masing 25%.

IBI memiliki mandat khusus untuk mengelola ekosistem industri baterai kendaraan bermotor listrik yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. IBI akan memproduksi sel baterai lithium-ion dengan kapasitas 10 GWh per tahun pada tahap pertama dan 50 GWh per tahun pada tahap kedua.

IBI juga akan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing yang memiliki teknologi dan pasar, seperti LG Energy Solution Ltd, Contemporary Amperex Technology (CATL), Britishvolt, BASF, dan Foxconn.

Dengan adanya IBI, Indonesia berharap dapat meningkatkan nilai tambah nikel dan memperkuat kedaulatan energi nasional. Selain itu, Indonesia juga ingin menjadi pemain global di industri baterai kendaraan listrik, yang diproyeksikan akan tumbuh pesat di masa depan.

Menurut data BloombergNEF, penjualan kendaraan penumpang global pada tahun 2040 akan didominasi oleh kendaraan listrik sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Diperkirakan, pada tahun 2040, penjualan kendaraan listrik akan mencapai 54% dari total penjualan kendaraan penumpang global, atau sekitar 54 juta unit.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara, tentu tidak ingin ketinggalan dalam tren ini.

Indonesia juga memiliki target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dan sebesar 41% pada tahun 2045.

Untuk mencapai target tersebut, Indonesia membutuhkan baterai kendaraan listrik yang andal, efisien, dan terjangkau.

Dengan memiliki industri baterai kendaraan listrik sendiri, Indonesia dapat menghemat biaya impor, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing.

Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia tidaklah mudah. Selain harus menghadapi tekanan dari negara-negara lain yang juga menginginkan nikel Indonesia, Indonesia juga harus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi nikel dan baterai.

Indonesia juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dalam pengelolaan nikel dan baterai, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan alam.

Nikel Indonesia adalah aset strategis yang harus dimanfaatkan dengan bijak dan bertanggung jawab. Nikel Indonesia bukan hanya sekadar bahan tambang, tetapi juga kunci untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai negara maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article