Bisakah RI Nikmati Keuntungan Hilirisasi Nikel Lebih dari 10 Persen?

Rasyiqi
By Rasyiqi
8 Min Read

jf.id – Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia dengan perbandingan 52% dari total cadangan nikel yang ada di dunia. Nikel merupakan salah satu sumber daya industri yang sangat diperlukan dalam industri-industri di dunia dan biasa dimanfaatkan untuk pembuatan baterai kendaraan listrik, baja tahan karat, koin, dan lain-lain.

Namun, selama ini Indonesia hanya mengekspor bijih nikel mentah dengan nilai tambah yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak Januari 2020 dan mewajibkan hilirisasi nikel di dalam negeri.

Hilirisasi nikel adalah proses pengolahan dan pemurnian bijih nikel menjadi produk turunan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi, seperti nikel murni, feronikel, nikel pig iron, matte nikel, dan lain-lain.

Dengan melakukan hilirisasi nikel, Indonesia berharap dapat meningkatkan pendapatan negara, mendorong pertumbuhan industri hulu dan hilir, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat kedaulatan sumber daya mineral. Namun, apakah Indonesia bisa mendapatkan keuntungan lebih dari 10 persen dari hilirisasi nikel?.

Keuntungan Hilirisasi Nikel bagi Indonesia

Hilirisasi nikel telah memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nilai ekspor nikel Indonesia pada tahun 2022 mencapai US$ 33,8 miliar atau sekitar Rp510 triliun dengan kurs Rp15.100 per dolar AS.

Nilai ini meningkat lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan nilai ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2019 yang hanya sekitar US$ 3 miliar atau sekitar Rp45 triliun. Dengan demikian, Indonesia berhasil meraih keuntungan lebih dari 10 persen dari hilirisasi nikel.

Selain itu, hilirisasi nikel juga telah mendorong pertumbuhan industri hulu dan hilir nikel di Indonesia. Saat ini, terdapat 48 proyek smelter nikel yang ditargetkan dapat beroperasi pada tahun 2024. Smelter nikel adalah fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel menjadi produk turunan seperti feronikel, matte nikel, atau nikel murni.

Smelter nikel dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu smelter pirometalurgi yang memproses bijih nikel berkadar tinggi (saprolit) dan smelter hidrometalurgi yang memproses bijih nikel berkadar rendah (limonit). Smelter pirometalurgi menghasilkan produk seperti feronikel dan matte nikel yang dapat digunakan untuk pembuatan baja tahan karat. Smelter hidrometalurgi menghasilkan produk seperti nikel murni yang dapat digunakan untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.

Indonesia juga telah membangun industri hilir nikel yang meliputi pabrik baterai dan pabrik mobil listrik. Pada tahun 2022, Indonesia telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan beberapa perusahaan asing seperti LG Chem dari Korea Selatan, CATL dari China, dan Tesla dari Amerika Serikat untuk membangun pabrik baterai di Indonesia.

Pabrik baterai ini akan memanfaatkan pasokan nikel murni dari smelter hidrometalurgi di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah memproduksi mobil listrik pertama yang bernama Gesits pada tahun 2019. Mobil listrik ini menggunakan baterai lithium ion yang juga membutuhkan bahan baku nikel.

Dengan adanya industri hulu dan hilir nikel, Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil nikel. Menurut data Kementerian ESDM, industri hilirisasi nikel telah menyerap lebih dari 200 ribu tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Selain itu, industri hilirisasi nikel juga memberikan kontribusi bagi pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan di daerah-daerah seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Terakhir, hilirisasi nikel juga memperkuat kedaulatan sumber daya mineral Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada impor produk turunan nikel. Dengan melakukan hilirisasi nikel, Indonesia dapat mengendalikan pasokan dan harga nikel di pasar global.

Indonesia juga dapat menghemat devisa negara yang sebelumnya digunakan untuk mengimpor produk turunan nikel seperti baja tahan karat dan baterai. Selain itu, Indonesia juga dapat meningkatkan daya saing dan kemandirian industri nasional yang membutuhkan bahan baku nikel.

Tantangan dan Kendala Hilirisasi Nikel di Indonesia

Meskipun memiliki potensi yang besar, hilirisasi nikel di Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan dan kendala yang perlu diatasi. Salah satu tantangan utama adalah terbatasnya cadangan nikel berkadar tinggi (saprolit) yang hanya bisa bertahan sekitar 5-7 tahun lagi jika semua smelter pirometalurgi beroperasi.

Cadangan nikel berkadar tinggi ini merupakan bahan baku utama untuk smelter pirometalurgi yang menghasilkan produk seperti feronikel dan matte nikel. Jika cadangan ini habis, maka Indonesia akan kehilangan sumber pendapatan dari ekspor produk tersebut.

Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu melakukan moratorium pembangunan smelter pirometalurgi dan mengoptimalkan smelter hidrometalurgi yang bisa memproses bijih nikel berkadar rendah (limonit).

Smelter hidrometalurgi memiliki keunggulan karena dapat menghasilkan nikel murni yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dan permintaan yang lebih besar di pasar global, terutama untuk industri baterai kendaraan listrik. Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan eksplorasi dan penelitian untuk menemukan cadangan nikel baru yang potensial.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah adanya persaingan dengan negara-negara produsen nikel lainnya, seperti China, Filipina, dan Rusia. Negara-negara ini memiliki keunggulan dalam hal biaya produksi, teknologi, dan akses pasar. China misalnya, merupakan negara konsumen nikel terbesar di dunia dengan pangsa pasar sekitar 50%.

China juga memiliki banyak smelter nikel yang menggunakan bijih nikel impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia sebelum larangan ekspor berlaku. China juga telah membangun pabrik baterai dan mobil listrik yang bersaing dengan produk-produk Indonesia.

Untuk menghadapi persaingan ini, Indonesia perlu membangun kerjasama dengan negara-negara konsumen nikel, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Eropa untuk memasarkan produk turunan nikel Indonesia. Indonesia juga perlu meningkatkan kualitas produk turunan nikel yang sesuai dengan standar internasional.

itu, Indonesia juga perlu meningkatkan efisiensi produksi dan penghematan energi untuk menekan biaya produksi.

Tantangan terakhir yang dihadapi Indonesia adalah adanya tekanan dari organisasi perdagangan dunia (WTO) yang menilai kebijakan larangan ekspor bijih nikel sebagai bentuk proteksionisme. WTO menganggap bahwa kebijakan ini melanggar aturan perdagangan internasional dan merugikan negara-negara anggota WTO lainnya yang bergantung pada impor bijih nikel dari Indonesia.

WTO juga menilai bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan karena menyebabkan kerusakan lingkungan hidup di daerah penghasil nikel.

Untuk mengatasi tekanan ini, Indonesia perlu mempertahankan kebijakan larangan ekspor bijih nikel dengan alasan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat . Indonesia juga perlu membuktikan bahwa kebijakan ini tidak bertujuan untuk menghambat perdagangan internasional, melainkan untuk mendorong pembangunan industri nasional yang berkelanjutan .

Selain itu, Indonesia juga perlu menjalin dialog dan negosiasi dengan negara-negara anggota WTO lainnya untuk mencari solusi yang saling menguntungkan .

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article