Sukarno Pemersatu yang Dianggap Pembelah

Rasyiqi
By Rasyiqi
12 Min Read
Foto Sukarno Muda (Istimewa)
Foto Sukarno Muda (Istimewa)

Seri tanggapan terhadap tulisan Max Lane

Jurnalfaktual.id, – Max Lane adalah seorang Indonesianis yang giat belajar sejarah Indonesia di University of Sydney sejak tahun 1969. Pada tahun 2011 dia menuliskan sebuah artikel di harian IndoPROGRESS dan diberi judul Sukarno: Pemersatu atau Pembelah. Aritkel tersebut merupakan sebuah kritikan keras terhadap nasionalisme Sukarno.

Tulisan tersebut cukup baik untuk dikatagorikan sebagai sebuah karya pukulan yang berusaha membongkar keyakinan umum bahwa Sukarno pada hakekatnya bukanlah pemersatu melainkan pembelah.

Artikel Max Lane tentu mengundang sikap kontroversial dikalangan umum kaum Nasionalis-Marhaenis Indonesia.

Jikalau kita baca diharian IndoPROGRESS setelah terbitnya Sukarno: Pemersatu atau Pembelah pada tanggal 04 Juli 2011, maka pada tanggal 29 Juli 2011 seorang nasionalis muda yaitu Bung Rudi Hartono tidak segan membalas dengan tulisan tanggapannya yang berjudul Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa tulisan ini merupakan seri tanggapan terhadap artikel Max Lane. Saya positif tingking, mungkin saat Max Lane membaca karya dan tindakan Sukarno terdapat kesalahfahaman tafsir sehingga dia berstatmen bahwa Sukarno bukanlah pemersatu melainkan pembelah.

Jikalau kita sampai selesai membaca artikel Sukarno: Pemersatu atau Pembelah, kita akan menjumpai, disana terdapat sebuah catatan-catatan ketidaksepakatannya bahwa Sukarno adalah pemersatu. Tidak hanya itu Max Lane juga berpendapat “Sukarno bukan pemersatu bangsa, dia adalah seorang yang membelah bangsa dan negeri Indonesia” tulisanya.

Kampanye propaganda persatuan yang diusung Sukarno di Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926 dengan artikel berjudul ‘Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme’ dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi” Jilid I sebenarnya Sukarno menyuruh agar semua elemen bersatu dalam upaya menentang kolonialisme juga anti imperialisme.

Tulisan Sukarno pada tahun 1926-1927 (terkait Nasakom) merupakan sebuah kreativitasnya sebagai pemikir pendobrak kolonialisme dan imperialisme dengan mengajak semua golongan untuk bersama-sama menggempur penjajahan. Namun Max Lane mengatakan (terkait bahwa Sukarno pemersatu) merupakan pandangan dangkal yang menyesatkan.

Tanggapan kedangkalan terhadap nasionalisme Sukarno oleh Max Lane tentu dengan alasan-alasan kritis. Alasan inilah yang sengaja saya cari dari tulisannya.

Lalu bagaimanakah? Selanjutnya kritikan Max Lane yang ditujukan terhadap Sukarno?. Dibawah pragraf ini akan saya terangkan.

Pertama, pembelahan Sukarno yang menurut dia masih dipertahankan sampai 1968. Sebagaimana dikatakan oleh Max Lane “Dan basis pembelahan itu, juga merupakan basis keberhasilannya sebagai seorang pemimpin anti-imperilisme yang memperjuangkan Indonesia Merdeka”.

Rangkaian kata Max Lane dalam pandangan logika sehat bagi saya terdapat kerancuan berfikir. Sebab, bagi saya antara pembelahan (pecah-belah) tidak akan bisa secara maksimal bahkan bisa dekat dengan ketidak berhasilan untuk mencapai kemerdekaan dan tentu apalagi dalam mempertahankan kemerdekaan. Tetapi menurut dia, basis pembelahan Sukarno adalah keberhasilan tersendiri sebagai pemimpin anti-imperialisme.

Pada statmen diatas, bagi saya dalam suatu negara jajahan kolonialisme sama sekali tidak akan bisa tercapai kalau semua elemen organisasi dan isme-isme tidaklah bersatu.

Oleh karena itu, hal-hal yang harus dilakukan seharusnya adalah persatuan. Sukarno dalam artikel ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’ mengajak agar semua gologan isme-isme untuk bekerja bersama-sama upaya mencapai Indonesia Merdeka.

Kedua, dua jalan yaitu harus kita pilih apakah ‘tercerai berai atau bersatu’.


Tulisan Sukarno yang mengarah dan menuntut agar setiap golongan isme-isme (Nasionalis Islamis, dan Marxis) untuk memilih bersatu atau tidak. Namun dalam tafsiran Max Lane dalam kontek persatuan dimaksudkan hanya suatu perjuangan segelintir “anti-kapitalis”.

Dia mencoba mengisolasi perjuangan persatuan Sukarno hanya sebatas gerakan kecil-kecilan, padahal yang dimaksudkan adalah persatuan semua kekuatan anti kolonialisme dan kapitalisme. Itulah keinginan besar Sukarno.

Kata lain dari persatuan besar Sukarno untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme adalah perjuangan ‘nasional’. Perjuangan itu tentu untuk melawan penjajahan yang datang dari luar (kita sebut kolonialisme) dan juga penjajahan dari dalam yaitu feodalisme dan kapitalisme.

Tulisan Max Lane yang ditujukan terhadap Sukarno sebenarnya adalah politik Belanda yaitu dived et impera. Kata pembelahan jikalau mengacu pada tanggapan Bung Rudi Hartono diharian IndoPROGRESS, dia mengatakan, kata pembelahan hampir dekat/sama dengan kata pecah belah. Artinya secara tidak langsung Max Lane sudah melakukan politik adudomba dengan meluncurnya tulisan Sukarno: Pemersatu atau pembelah dimuka kita sekarang.

Setelah tiga tanggapan saya diatas terhadap Max Lane, maka sekarang waktunya saya menjelaskan kembali maksud tulisan Sukarno terkait apa sebenarya persatuan Indonesia itu.

Sukarno menjelaskan dengan terperinci apa yang harus dilakukan oleh tiga gologan pergerakan kita (pada saat itu).

Sukarno menulis didalam buku Di bawah Bendera Revolusi:
‘Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakikatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat peroangan internasional?’. (Sukarno, 2005: 3)

Pertanyaan itu tentu pada poinnya adalah mencari kesamaan tujuan dalam upaya mengeratkan anatara satu sama lain. Persatuan tentu dengan alasan beberapa hal.

Antara lain bahwa tiga golongan itu menemukan satu ikhwal yang memang semua bisa dipertemukan. Ikhwal tadi oleh Sukarno ditemukan yaitu mereka sama-sama anti terhadap kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.

Kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme tidak akan bisa hancur jikalau tiga golongan tersebut saling berseturu. Tiga golongan tersebut tidak ada gunanya berseteru. Oleh karena itu Sukarno menulis:


‘…bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak ada gunanya berseteruan satu sama lain, membuktikan pula bahwa ketiga golongan ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan maha kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.’ (Sukarno, 2005: 2)

Kolonialisme dan anti terhadap kapitalisme ini yang menjadi syarat mempersatuakan Indonesia menuju Merdeka. Namun bagaimanapun caranya sekalipun berat haruslah dilakukan. Karena bagi Sukarno hanya dengan cara itu, Indonesia bisa merdeka serta mempertahankan kemerdekaan.

Max Lane tidak menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mencapai persatuan itu. Dia mencoba menyinggung soal Meerwaarde dalam faham marxisme dan riba didalam Islam. Namun penjelasan itu mencoba memperlihatkan pembelahannya.

Padahal Sukarno mengajak agar kesamaan nasib (dieksploitasi) oleh kapitalisme dan penjajahan dijadikan dasar untuk bersatu.

Persolan perjuangan kelas memang diteliti oleh Max Lane, namun sepertinya dia salah faham terhadap Sukarno, padahal Sukarno sudah menjelaskan Di Bawah Bendera Revolusi dalam artikel Kapitalisme Bangsa Sendiri? Sukarno menulis:


‘Dan apakah prinsip kita itu berarti bahwa kita ini haruslah mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perjoangan nasional…” (Sukarno, 2005: 181)

Sungguh amat terang dan jelas, bahwa perjuangan harus dilakukan dengan cara perjuangan nasional. Sebagaimana Sukarno lagi mengatakan:


‘…bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya sajikan pula untuk menerangkan bahwa kita di dalam perjoangan kita mengejar Indonesia-Merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus perjoangan nasional’. (Sukarno, 2005: 181).

Artikel Kapitalisme Bangsa Sendiri jikalau benar-benar difahami, maka sungguh amat terang sekali, bahwa perjuangan yang diharapkan Sukarno adalah perjuangan nasional.

Tetapi Max Lane mencoba membendung perkataan nasional dengan sikap pecah belah dengan mengerucutkan pada persolan kelas kecil. Karena menurut dia antara Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Naskom) masih terdapat Pro dan Kontra.

Pro dan Konta untuk melawan kapitalisme menurut Max Lane itu terjadi pada tahun 1960. “Pada zaman 1960an, panggung politik terbelah menjadi NASAKOM palsu dan NASAKOM sejati” tulisnya.

Pada soal ini saya kurang setuju. Sebab NASAKOM sejati adalah yang menginginkan persatuan antara tiga ideologi (Nasionalis, Islamis, dan Marxis) untuk memberantas penyakit kolonialisme dan anti terhadap kapitalisme.

Tidak tepat saya kira jikalau Max Lane mengatakan dua NASAKOM sama-sama melawan kolonalisme dan kapitalisme bangsa sendiri, sebab suatu hal yang nampak pada diri Sukarno adalah jiwa perastuan, bukanlah pembelahan.

Sikap persatuan Sukarno tentu tidak bisa kita lihat hanya sebatas dalam peristiwa satu saja. Dia harus dilihat pada masa-masa sebelum dan sesudah. Seperti yang dikutib oleh Asvi Warman Adam, Onghokham mengatakan:


‘Ketika Sukarno muda menulis Nasakom tahun 1926, ia adalah seorang pemikir, tetapi ketika Sukarno tua menerapkan Nasakom dalam kehidupan politik setelah tahun 1959, ia bertindak sebagai politikus.’ tukas Onghokham. (baca selangkapnya di untuk cetak ulang buku Di bawah Bendera Revolusi Jilid I, hal, xviii).

Terkait soal faham nasionalisme Sukarno yang berseru buat semua elemen bangsa bersatu untuk satu kepentingan bersama, bukanlah hal mudah. Itulah pekerjaan besar kita di era neo-liberal seperti sekarang.

“Ini tugas yang belum selesai. Itulah yang diperjuangkan Sukarno sejak masa mudanya sampai akhir hayatnya. Bahkan ia “menembus” persatuan itu dengan kehilangan kekuasaan dan bahkan kehidupannya,” tulis Asvi Warman Adam dalam pengantar buku Di Bawah Bendera Revolusi.

Untuk mencapai kemerdekaan 100% kita perlu meniru gerak langkah pemikiran dan perjuangan Sukarno, dia masih perlu generasi kita untuk mewujudkan nation and character building yaitu membangan bangsa dan membangun karankter bangsa dalam melancarkan revolusi nasional yang kita harapakan.

Dalam penutup tulisan saya kali ini, saya mungutip perkataan Sukarno sebagai berikut:


‘Dan, jikalau kita semua ingat bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, dalam penceraiberaian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah asal kita punya “via dolorosa”; jikalau kita insyaf bahwa Roh Rakyat Kita masih oenuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang ada ditengah-tegah kegelapan-gumpita yang mengililingi kita ini, pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.”
(Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi Jilid I, 2005: 22)

Tentang Penulis: Faidi Ansori adalah Agen Intelektual jurnalfaktual.id. Penulis dua buku, Homo Digitalis dan Marxisme Ala Indonesia.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article