Nasionalisme Radikal Ala Tjipto Mangunkoesoemo

Rasyiqi
By Rasyiqi
9 Min Read
Foto Tjipto Mangunkoesoemo (dokumentasi Negara)
Foto Tjipto Mangunkoesoemo (dokumentasi Negara)

JurnalFaktual.id, – Apakah Bangsa Indonesia tidak mengenal Tjipto Mangunkoesoemo? Dialah pelopor gerakan nasionalisme radikal pertama. Bersama dengan dua kawan sejawatnya, yaitu Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat atau yang kerap disapa Ki Hadjar Dewantara.

Tjipto Mangunkoesoemo adalah bagian lengkap sehingga, nanti dikenal dengan ‘Tiga Serangkai’. Tanpa Tjipto, maka Dekker dan Soewardi tidak akan disebut ‘Tiga Serangkai’. Oleh karena itu, Tjipto adalah bagian penting untuk kita pelajari, upaya agar mengerti bagaimana historis berjalannya faham kebangsaan Indonesia yang kita pelajari saat ini.

Berbicara Tjipto, maka tentu saja kita tidak bisa melepaskan dengan sejarah kemerdekaan staat dan nation Indonesia. Sementara pada hal-hal lainnya kita harus dapat mengerti jejak langkah dan sepak terjang Tjipto dalam memperjuangan hak-hak bangsa Indonesia diatas ekspoitasi penjajahan kolonial Belanda.

Dengan mengertinya kita pada sejarah Tjipto, insyaallah staat dan nation Indonesia dapat meraih kesejahteraan yang benar-benar pada saat sekarang dan dikemudian hari.

Tokoh dalam artikel singkat ini, adalah orang penting dalam historis perjuangan bangsa Indonesia. Tjipto Mangunkoesoemo merupakan seorang pria yang lahir pada 4 Maret 1886. Beliau merupakan seorang intelektual yang amat teguh pendirian untuk memperjuang hak-hak masyarakat Hindia (Indonesia sekarang) agar bisa bebas dari segala macam penindasan.

Anak bangsa Hindia (Indonesia sekarang) seperti Tjipto Mangunkoesoemo sungguh menginspirasi saya untuk menulis, karena bagi saya beliau adalah salah seorang pejuang nasionalis radikal yang teguh memperjuangan agar ‘Hindia lepas dari Hindia Belanda’ dan merdeka.

Tahun demi tahun bangsa Indonesia mulai kehilangan ruh nasonalisme, bahkan nasionalisme bangsa kita sekarang masih perlu dipertanyakan. Itu semua disebabkan doktrin dan propaganda Fasis Orde Baru (Orba) yang sampai sekarang masih sangat mengakar.

Kalau kita masih mau menoleh sedikit pada perjuangan para tokoh bangsa Indonesia yang sudah meninggal sekian lama itu, tentu juga pada Tjipto Insyaallah bangsa ini tidak akan mengalami perosalan-persoalan besar seperti; diskriminasi ras, suku, agama, dan kemiskinan. Menipisnya ruh kebudayaan dan praktek politik yang bertolak belakang dari jiwa Pancasila sungguh memprihantinkan bangsa kita saat ini.

Banyaknya persoalan bangsa Indonesia, mulai dari soal freeport, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik, dan kesejahteraan akan menghambat pada kemerdekaan 100%. Oleh karena itu, saya memberanikan diri menulis sosok Tjipto Mangunkoesoemo dalam artikel ini, dengan jiwa nasionalisme radikalnya, upaya kita sebagai bangsa Indonesia dapat belajar lebih baik, bagaimana mempraktekkan nasionalisme diera pos-moderen ini yang serba tak karu-karuan.

Tjipto lahir sebagai seorang perjuang dengan jiwa perlawanan. Perlawanan yang dimaksudkan adalah melawan penindasan penjajah. Sebagaimana kita ketahui dalam teks-teks sejarah. Tjipto sudah menyampaikan kritikan-kritikan pedas berkenaan dengan perlakuan seseorang berdasarkan agama, suku, ras, dan golongan didalam kehidupan sosialnya.

Dalam persoalan lain lagi, Tjipto (pada saat ia sekolah) juga mengkritik perlakukan sistem di sekolah yang mengharuskan setiap mahasiswa yang bukan beragama kristen untuk memakai pakaian tradisional. Anehnya lagi, hal itu hanya berlaku bagi keluarga yang bekerja dipemerintahan. Itu sungguh tidak adil bagi seorang Tjipto.

Dari pengalaman-pengamalan tersebut, Tjipto sungguh sangat menyesalkan atas tindakan diskriminasi pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi. Sementara dilain hal dalam perjuangan kemerdekaan menurut pandangan saya, tokoh-tokoh pergerakan lain seperti Organisasi Budi Utomo (BU) dan Sarekat Islam (SI), tidak sama radikal dalam upaya kemerdekaan dibandingkan dengan pendirian ‘Tiga Serangkai’ karena mereka hanya bergerak atas dasar nasionalisme etnik (suku dan agama).

Ketika kita melihat pergerakan-pergerakan nasional dan tokoh-tokohnya, mereka tak dapat mengambil ibrah akan gerakan ombak samudra untuk menggerakkan bangsa Indonesia agar bersatu melawan penjajahan. Tapi ini sangat berbeda dengan gerakan Tjipto dengan kawan-kawan sejawatnya seperti Dekker dan Soerjdaningrat disaat mendirikan organisasi partai dengan merangkul semua perbedaan latar belakang.

Tiga Serangkai muncul untuk menyatukan  berbagai macam elemen bangsa sebagaimana yang ditulis oleh MBM Munir dkk dalam buku berjudul Pendidikan Pancasila (2016). Berikutnya muncul Indische Partij (1913 M.) yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu: Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat (yang mulai dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara), (hal, 12).

Organisasi tersebut cukup besar berpengaruh walaupun tidak bisa bertahan lama, karena pemerintah Belanda segera bertindak dan para pemimpin IP ditangkap dan diasingkan, sementara IP dibubarkan disebabkan gerakan-gerakan radikal mereka.

Gerakan-gerakan radikal  dan nasionalisme Tjipto dengan kawan-kawan lain bercirikan dengan kesamaan nasib dan kemanusiaan sebagai perekatnya. Nation itulah yang dianggap bisa merekatkan dan menampung setiap manusia dengan sukarela tanpa lagi memandang latar belakang warna dan perbedaan agama, suku, agama, dan ras.

Tjipto juga menjadi penggagas kebangsaan yang luas dan lebih besar. Sebagaimana kalimat didalam satu buku yang dikutip oleh Bung Aryono dalam Kesadaran Nasional Volume I yang berbunyi sebagai berikut,

“Dari kebangsaan-kedaerahan, Dokter Cipto menuju ke arah kebangsaan yang lebih besar, yakni kebangsaan Hindia,” (Aryono, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis, https://historia.id).

Kalau benar-benar kita teliti nasionalisme Tjipto sebangaimana dikatakan oleh Bung Aryono saat beliau (Tjipto) mengemukakan usulannya terkait perjuangan BU untuk membuka pintu selebar-lebernya agar siapapun bisa bergerak dan politik kebangsaan yang lebih luas, namun dirapat besar Pengurus Besar BU yang bertempat di Yokyakarta pada tanggal 9 September 1909 tersebut menuai kegagalan.

Sebagaimana Bung Aryono menuliskan “Usulanya ditolak, Tjipto meletakkan jabatan sebagi Komisaris Pengurus Besar sekaligus mengundurkan diri dari Boedi Oetomo,”. (Aryono, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis, https://historia.id).

Tidak hanya BU, sikap nasionalisme radikal Tjipto juga ditujukan terhadap pimpinan Sarekat Islam (SI) yaitu H.O.S. Tjokroaminoto yang ada di jajaran Dewan Rakyat (pada waktu itu benama Volksraad), dan juga Kasusunanan Surakata Hadiningrat.

Kekonsistenan dan keradikalan Tjipto dalam membangun nasionalisme menjadi ciri khas sendiri daripada tokoh lain pada masanya. Tidak heran, jika nanti dia bersama Bung Karno, Bung Sartono, Bung Samsi, dan beberapa tokoh lain mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927, yang sama-sama berjiwa nasionalisme luas dan radikal. 

Tokoh Tjipto sungguh sangat luar biasa, beliau tak ubah seperti Bung Karno dan bercita-cita kemerdekaan dengan nasionalisme radikalnya untuk melawan segala bentuk penindasan I’exploitation de I’homme par I’homme.

Pelajaran penting yang harus kita pelajari dari Tjipto adalah rasa kecintaan beliau terhadap tanah air Indonesia ini, sangatlah besar sekali dengan didorang jiwa nasionalisme radikal.

Tindakan rasis, sebagaimana seperti yang menimpa masyarakat Papua sekarang ini, yang sengaja dilakukan oknum tertentu. Terjadi, dan juga konsep-konsep khilafah oleh golongan umat Islam kanan amatlah bertentangan dengan prinsip dan gerakan Tjipto. Oleh sebab ini, saya tulis artikel pendek ini upaya kita bisa membuka lagi sejarah Tjipto dan bagaimana perjuangan beliau untuk kemerdekaan Indonesia.

Artikel ini saya tulis bertujuan agar kita sama-sama sadar, bahwa nasionalisme Tjipto adalah suatu nasionalisme yang tidak menggelorifikasikan perbedaan ras, suku, agama, bentuk warna kulit, dan lain-lain. Oleh sebab itu, ayolah kita merangkul yang berbeda untuk kemajuan Indonesia lebih unggul agar tercapailah suatu cita-cita, yaitu sosialisme Indonesia serta merdeka 100% tanpa lagi memandang latar belakang apapun.

Tetaplah menjadi Indonesia yang satu, dan buanglah sifat-sifat rasis, fasis, dan gangguan-ganggulan isme-isme lain dan suatu tindakan yang membuat kita tidak bersatu. Semoga juga tulisan singkat ini bermanfaat, amin.

Tentang Penulis: Faidi Ansori adalah agen Intelektual jurnalfaktual.id. Penulis buku Homo Digitalis dan Nasionalisme, Marxisme Ala Indonesia.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article