Titik Klimaks Euforia Kemerdekaan

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read
Gambar Ilustrasi Euforia Kemerdekaan
Gambar Ilustrasi Euforia Kemerdekaan

Jurnalfaktual.id,- Salah satu bagian penting dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sehingga peristiwa tersebut menjadi pusat perhatian semua elemen masyarakat bangsa ini.

Karena dengan proklamasi kemerdekaan tersebut, Indonesia menyatakan kemerdekaan dirinya, sehingga bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kejadian tersebut bukan semata-mata berdiri sendiri secara tunggal, tapi proklamasi adalah puncak dari rangkaian perjalan bangsa ini. Bagi sebagian orang berasumsi bahwa proklamsi adalah titik kulminasi perjuangan panjang bangsa ini.

Bicara kemerdekaan, maka tak lepas dari orang yang dijadikan sebagai rule model pada masa itu, sosok yang dipercaya dan mampu menyatukan elemen masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, di berbagai literatur disebutkan, bahwa rule model pada saat proklamsi kemerdekaan adalah sosok Dwitunggal.

Ada fakta unik dari Dwitunggal Sukarno-Hatta, yaitu kemanunggalan keduanya terbangun dari suatu kerjasama politik, meskipun keduanya belum pernah bertemu langsung.

Baru setelah enam tahun kemudian keduanya bertemu, setelah sebelumnya sudah melakukan kerjasama.

Tujuh belas tahun sebelum kemerdekaan, Sukarno sudah mulai menuliskan kekagumanya terhadap Hatta yang masih studi di Belanda.

Begitu pula dengan Hatta yang sudah mendengar sosok Sukarno dari kawan-kawanya di Belanda. Tentang Sukarno muda yang karismatik dengan kemampuanya dalam menggalang massa melalui keahlian orasi diluar ukuran biasa.

Kemerdekaan Negara Indonesia sudah berumur tujuh puluh empat tahun, melalui proses perjalanan panjang bangsa ini. Ada dua hal yang harus direnungkan oleh bangsa Indonesia diusia setengah abad lebih, antara sedih dan senang, dan antara intropeksi dan spirit.

Ungkapan rasa senang mungkin saja dilakukan oleh mayoritas bangsa dengan mencoba menyodorkan berbagai kegiatan, jenis perlombaan dari tahun ke tahun mengalami eskalasi konsep ataupun dengan syukuran saat 17 Agustus.

Kesedihan mungkin hanya dirasakan oleh sebagian orang saja, yang melihat nasib bangsa ini tidak jua menemukan bentuknya.

Secara garis besar, di orde lama, Indonesia hampir saja mempunyai bentuk, saat Sukarno mencoba menyatukan elemen bangsa dengan menggabungkan nasionalis, agamis, dan komunis atau  sering disebut dengan peristiwa NASAKOM.

Kegembiraan adalah hak mutlak bangsa ini, sehingga bagaimanapun caranya dalam memperingati hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia, akan tetap sah sebagai bentuk peringatan.

Meski terkadang peringatan terhadap sebuah kemerdekaan disuguhi dengan kekonyolan. Tapi hanya sebagian saja tak semuanya bersifat konyol, ada juga yang mengandung nilai-nilai edukasi terhadap penerus bangsa.

Bahkan ada juga yang mem-filter dalam jenis spitual, salah satunya dengan mengadakan lomba panjat pinang sirotol mustaqim. Euforia masyarakat saat 17 Agustus adalah sebuah bentuk spirit berbangsa dan bernegara, karena bagaimanapun kewajiban sebagian besar dari mereka hanya dituntut untuk memperingati sebuah kemerdekaan.

Merayakan kemerdekaan ada juga yang dikemas dengan menjelajahi keindahan nusantara, seperti mendaki gunung dan mengkibarkan bendera merah putih saat sudah tiba di puncaknya, sebagai simbol sebuah perjuangan.

Berbeda dengan para kaum intelektual muda bangsa ini, jika mayoritas masyarakat hanya menyoroti berbagai kesenangan, maka kaum intelektual muda, justru menyoroti ketimpangan para elit bangsa ini.

Merenungi nasib bangsa yang masih steril dan tidak maju dibandingkan dengan Negara lain, secara legalitas hukum. Negara kita memang merdeka, tapi secara intelektual, ekonomi, tekhnologi, dan lain sebagainya kita masih belum merdeka.

Setidaknya kaum intelektual muda membicarakan atau menceritakan kembali kemerdekaan republik Indonesia, karena sejarah menyebutkan, bahwa kaum intelektual muda juga banyak berperan penting dalam mengawal kemerdekaan.

Faktanya, mayoritas kaum muda saat ini tidak begitu berperan, tapi justru malah baperan. Pada intinya segala ueforia kemerdekan itu tetap sah dilakukan oleh sebagian besar bangsa, dan hal tersebut merupakan sebuah bentuk perjuangan.

Tapi sebagian kecil dari bangsa juga harus memikirkan keadaan Negara Indonesia saat ini. Perjuangan pahlawan terdahulu tidak cukup hanya dihargai dengan sebuah senyuman dan tawa.

Namun, harus ada spirit juang yang terus menggelora dari setiap pribadi bangsa, minimal semangat dalam merawat dan mempertahankan kebudayaan Indonesia.

Tentang Penulis : Zeinal Abidin, menempuh studi S1 di Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article