Marhaenisme: Marxisme Ala Indonesia Menurut Sukarno

Syahril Abdillah
26 Min Read
Ilustrasi buku karya Peter Kasenda (Foto: bukukita.com)
Ilustrasi buku karya Peter Kasenda (Foto: bukukita.com)

Jurnalfaktual.id, – Tidak bisa disangkal, Sukarno seringkali dipahami secara sempit oleh penganutnya yang setia, sebut saja mereka adalah kaum ‘Marhaenis’. Tidak sedikit juga daripada mereka yang mendaulat diri sebagai penerus ajaran Sukarno; Marhaenisme ataupun Sukarnoisme. Namun dari sekian banyak kaum Marhaenis tersebut sangat sedikit yang memahami ideologi Marhaenisme serta kaitannya dengan faham Marxisme seperti yang ditulis oleh Bonnie Setiawan; Misalnya, Bung Karno dipahami sebagai seorang nasionalis saja, atau sebagai nasionalis kiri. Itu salah (Pontoh, 2016: 10).

Kalau mau memandang Sukarno latarbelakangnya apa? Bagi peneliti sendiri sebenarnya ia cukup komplit apabila betul-betul diteliti dengan serius. Ia tidak hanya sebagai seorang nasionalis saja, namun juga seorang agamis, sosioalis, marxis, dan tentu Marhaenis sejati. Tetapi dari sekian banyak ide yang masuk kedalam ruang pikiran Sukarno, maka ada hal penting yang harus diketahui. Katanya, kalau menjadi nasionalis maka jadilah nasionalis revolusioner; kalau menjadi agamis jadilah agamis yang revolusioner; dan kalau mau menjadi komunis, dengan sendirinya harus revolusioner (Pontoh, 2016: 10).

Prolog dalam pragraf diatas tentu harus difahami, bahwa untuk mengerti siapa sebenarnya Sukarno, maka haruslah membuka lemberan khazanah ilmu pengetahuan sejarah dengan lebih baik dan mendalam sekaligus mengakar untuk lebih tahu siapakah Sukarno itu? Apa yang telah ia pelajari? Dari mana ilham pemikirannya didapat? Sumber mana saja yang mempengaruhi pikiran-pikiran dan tingkahlaku politiknya, sebelum dan sesudah kemerdekaan? Bagaimana juga dengan Marhaenisme yang selama ini dirumahkan oleh Sukarno? Benarkah Marhaenisme itu tidak ada hubunganya dengan ajaran Marxisme? Ataukah memang benar, bahwa Marhaenisme yang ia berikan untuk bangsa Indonesia, adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia?. Petanyaan-pertanyaan tersebut tentu harus kita jawab dengan baik, agar pembaca tidak lagi mengatakan, ‘kita ini salah faham. Marhaenisme sebenarnya tidak begitu bunyinya dan tidak begini seharusnya’.

Sebelum masuk kepembahasan secara sistematis dan mengakar, tentang apa itu Marhaenisme dan hubungannya dengan Marxisme, maka alangkah lebih baik yang harus dilakukan pertamakali terlebih dahulu yaitu bagaimana pembaca mengerti apa itu Marxisme?. Bahwa Marxisme adalah merupakan pandangan dunia yang bersifat menyeluruh. Orang pertama yang dipercayai sebagai peyebar dari ajaran Marxisme adalah Georgi Valentinovich Plakhanov. Plekhanov-lah seorang murid dan pengikut dari tokoh terkemuka Karl Marx dan Frederick Engels (tokoh teori sosialisme ilmiah). Ada pula yang mengatakan bahwa Plekhanov sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Marx, tetapi ia berkawan baik dengan Engels. Dari Engels-lah  Plekhanov ia terinspirasi. Dari dua tokoh sosialis tersebut, Plekhanov mendapatkan ilham teori baru yang nanti akan dikenal dengan Marxisme.

Marxisme mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tentang ekonomi tidaklah cukup untuk dijadikan sumber untuk mengetahui sejarah masyarakat, maka oleh karena itu, didalam ajaran Marxisme ideologi dan kesadaran sosial juga perlu dipelajari. Seperti Plekhanov juga menerangkan, bahwa kesadaran manusia dan keberadaannya didalam masyarakat tentu harus sama-sama difahami. Maka dari Marxisme ini Sukarno mengambil, untuk menganalisa bagaimana masyarakat nanti harus diperjuangkan. Kalau ada orang yang menyebut Soekarno itu seorang Marxis itu benar adanya. (Kasenda, 2016: 91). Begitulah Peter Kasenda mengatakan. Namun ada baiknya jika terlebih dahulu pembaca melihat latarbelakang Sukarno sebelum ia memperdalam apa itu Marxisme.

Awal mula Sukarno mengenal Marxisme saat ia masih berguru terhadap H.O.S. Tjokroaminoto, di kantor Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Disanalah ia dapat bertemu dengan tokoh-tokoh terkemuka saat itu, seperti; Alimin, Mosso, Semaon, dan lain-lain. Tetapi seperti pengakuan Sukarno sendiri terhadap Cindy Adams didalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966), bahwa Pak Alimin-lah yang mengenalkan tentang Marxisme kepadanya. Bahkan ia juga mengenal Marxisme dari seorang gurunya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Di HBS itulah Sukarno menuntut ilmu dan belajar tentang apa itu Marxisme terhadap C. Hartogh. C. Hartogh adalah seorang aktivis dari organisasi pergerakan Indische Sosial Democratische Vereeninging (ISDV). Dan setalah dari ISDV itulah, C. Hartogh kemudian masuk kedalam partai Indische Sosial Democratische Partij (ISDP). Diakui atau tidak dari C. Hartogh Sukarno dipengaruhi dengan ide-ide Marxisme. bahkan diumurnya yang ke 16 tahun, Sukarno juga pernah menyelam dalam dunia ‘Das Kapital’ dan ‘Manifesto Komunis’, itulah pengakuan ia sendiri di dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Bagaimana Sukarno tidak mencintai terhadap Marxisme, padahal dia sudah banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan Marxisme di umurnya masih muda.

Selain dari C. Hartogh, Sukarno juga dipengaruhi oleh juru bicara dari ISDP yaitu D.M.G. Koch. D.M.G. Koch—juru bicara ISDV—adalah yang sering meminjamkan buku-buku tentang marxisme kepada Soekarno, walaupun hubungan mereka berdua hanya terbatas pada itu saja (Kasenda, 2016: 92). Pada tahun 1941, seorang nasionalis radikal Dr. Tjiptomangunkusumo juga pernah menuliskan disalah satu surat kabar ‘Hong Po’, Dr. Tjipto pernah menulisakan bahwa Sukarno terbakar dengan faham Marxisme.

Dari sekian banyak teori yang dipelajari Sukarno, sehingga ia dikenal sebagai seorang Marxis plus-plus. Seperti ditulis oleh Bung Bonnie Setiawan sebagai berikut; Apa paham atau dasar teori dasar Sosialisme: itulah Marxisme. Bung Karno adalah seorang Marxis plus-pus, yaitu ditambah dengan Nasionalis dan Agamis, yang disebutnya sebagai Nasakom (Pontoh, 2016: 10). Tulisan ini tentu dengan alasan mendasar, hal ini bukanlah tafsir, tetapi dengan data real dari ungkapan pidato Sukarno sendiri pada tanggal 28 Februari 1966. Seperti Bung Setiawan kutip lagi dari pidato Sukarno, ia mengatakan sebagai berikut; “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis,” (Pontoh, 2016: 10). Walau pun penegasan tersebut membuat banyak masyarakat yang tidak faham menjadi acuh tak acuh terhadap Sukarno, namun Sukarno tetap idealis dengan pengakuannya. Pengakuan Marxis ini bukan suatu hal baru didengar oleh rakyat saat itu. Pengakuan ke-marxis-an Sukarno sudah sejak tahun 1928 diungkapkan. 

Peneliti tentu masih bertanya-tanya apa sebab kaum Nasionalis dan Islamis kolot sinis terhadap kata Marxis ini. Namun setidak-tidaknya tulisan ini mencoba untuk menerangkan suasana yang gelap, dan menyadarkan apa yang disebut kesesatan berfikir tentang esensi ajaran Marxisme dari kebanyakan rakyat Indonesia saat ini. Karena Sukarno sendiri adalah seorang Nasionalis, Agamis, dan Marxis, maka peneliti mengerti ini bukanlah persoalan bagi seluruh rakyat Indonesia sekarang, tentang ke-Marxis-an Sukarno. Pilihan individu untuk menjadi Marxis adalah suatu yang sangat rasional bagi diri Sukarno. Oleh karena itu, maka harus ada penjelasan metodologi dan konsepsi yang sistematis bagaimana Sukarno memilih Marxis dalam benak fikiran dan perjuangannya saat itu. Disini akan diperdalam untuk menjelaskan bagaimana Marxisme bagi Sukarno sebenarnya.

Sukarno merupakan seorang tokoh Indonesia yang dalam panggung politik sangat berpengaruh didalam sosial masyarakat Indonesia. Salah satu perbedaan paling mencolok antara Bung Karno dengan para politisi saat ini, adalah penguasaanya yang mendalam akan terori-teori sosial-politik (Hartono, 2016: http://indoprogress.com). Bagi Rudi Hartono, yang menarik bagi peneliti, adalah ketika ia mengatakan, bahwa Sukarno bukanlah politisi karbitan. Tentu hal ini menjadi kritik terhadap para politisi saat ini. Sukarno juga tidak sembarangan membaca teori-teori yang berkembang saat itu dengan kemudian langsung dipraktekkan kedalam pergerakan masyarakat, namun yang menarik darinya adalah ketika Sukarno mengambil yang cocok untuk masyarakat Indonesia saat itu, bahkan hingga saat ini.

Dari sekian banyak tulisan dan pidato-pidato Sukarno, tentu isinya tidak begitu saja lahir, karena itu alasannya adalah ada salah satu sumbangan besar terhadap pikiran Sukarno untuk membaca keadaan masyarakat Indonesia saat penjajahan Belanda pada waktu itu adalah ideologi kaum proletar, itulah yang disebut Marxisme. Sumbangan Marxisme inilah nanti akan diambil oleh Sukarno sebagai satu teori yang dianggap lebih kompeten daripada ideologi lain dalam usaha penganalisaanya terhadap kondisi masyarakat. Hal ini pernah dituliskan oleh Sukarno sendiri didalam ia punya karya yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” sebagai berikut; maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan (Sukarno, 2005: 515). 

Dari Marxisme itulah nasionalisme Sukarno menjadi berbeda dengan nasionalisme Eropa, bahkan dengan Marxisme pula ia membenci ide yang datang dari fasisme. Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu mula benci kepada fasisme (Sukarno, 2005: 515). Itulah pengakuan Sukarno tentang peran penting Marxisme dalam upaya meperjuangakan rakyat Indonesia dari kekejaman Nazi Jerman. Tapi sayang seribu kali sayang, ideologi yang telah dianut dan mempengaruhi tingkah lalu politik Sukarno ternyata mendapat pertentangan pada tahun 1966. Pada masa-masa itulah kontra revolusi berlaku, maksud dari kontra revolusi ini adalah pemerintah Suharto dengan mencoba memperlakukan penataan peraturan Tap MPRS nomer XXVI/MPRS nomor XXV terkait pelarangan ajaran Marxisme. Pengeluaran peraturan ini tentu meninggalkan ide cemerlang Sukarno yaitu Nasionalis, Agamis dan Komunis (NASAKOM).

Peraturan MPRS yang sudah ditetapkan pada tahun 1966 itu sama sekali bagi peneliti tidaklah menghargai jasa-jasa para pahlawan Indonesia, yang berpedoman dengan beberapa ide besar dunia seperti; Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Ide yang terakhir ini sangat memberi peranan penting terhadap kemerdekaan bangsa nanti sebagai nation dan staat Indonesia. Seperti contoh tokoh komunis-marxis-Leninis Indonesia saat itu yang berjuang secara diplomasi dikomunitas anti kolonial diluar negeri bersama Bung Hatta adalah Semaoen. Tokoh Marxis-Komunis ini yang banyak dilupakan sebagai pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dikeluarkannya Tap MPR/XXVI/ MPRS/ 1966 oleh kaki Rezim Orde Baru (Orba) dengan menyusun “Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno” yang berideologi Marhaenisme tersebut sengaja dibersihkan untuk tidak berbau ajaran Marxisme. Pembersihan Marhaenisme dari Marxisme ini yang membuat bangsa Indonesia sekarang tidak lagi mengerti historis dari ajaran Marhaenisme Sukarno yang asli. Sehingga tidak heran jika Marhaenisme ada yang mengatakan sama sekali tidak ada bau-baunya ideologi Marxisme. Itu semua dikarenakan juga penghianatan dari pemimpin-pemimpin PNI saat itu yang jelas duduk dengan sokongan rezim Suharto. Kemudian, pada bulan Desember 1967, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja, yang disokong oleh rezim Orde Baru, membuat Pernyataan Kebulatan Tekad untuk membersihkan marhaenisme dari marxisme (Hartono, 2016: http://indoprogress.com).

Pemeberisihan ajaran Marhaenisme dari Marxisme ini ternyata masih banyak diamini oleh kaum Marhaenis saat ini. Dengan dalih agar Marhaenisme dianggap ide original dari Sukarno. Namun persoalannya bukan terletak dalam posisi antara Marhaenisme dan Marxisme dalam konteks original atau tidak. Bagi peneliti, Marhaenisme adalah tetap original. Tetapi permasalahannya bukan terletak disana. Namun bagaimana peran penting Marxisme terhadap Marhaenisme dalam metodenya. Oleh karena itu ada baiknya jika kita mengulang kembali perkataan Sukarno tentang Marhaenisme saat ia mengungkapkan dalam pidato di ‘kursus tentang Pancasila’ sebagai berikut; Soekarno menegaskan kalau ingin memahami marhaenisme, terlebih dahulu harus memahami Marxisme dan keadaan di Indonesia (Kasenda, 2014: 97). Dus, orang yang tidak mempelajari keadaan-keadaan di Indonesia, tindak-tanduk Imperialisme Belanda di Indonesia, orang yang tidak mengerti betul-betul keadaan Indonesia; orang demikian itu sebenarnya juga tidak bisa mengerti Marhaenisme, oleh karena Marhaenisme adalah ”marxisme toegepast in Indonesia” (Sukarno, 2016: 354). Begitulah posisi Marxisme dalam pengakuan Sukarno. Ataupun lebih jelasnya; Marhaenisme demikian kata Sukarno, adalah Marxisme yang dipraktekkan atau diterapkan di Indonesia (Mintz, 2003: 2). 

Marhaenisme adalah Marxisme yang di Indonesiakan. Perkataan tersebut jangan sampai disalahfahamkan. Kita harus mengerti apa maksud dari kata tersebut. Seperti yang ditulis oleh Peter Kasenda dalam buku berjudul ‘Bung Karno Panglima Revolusi’ sebagai berikut; “Soekarno menolak kalau Marxisme itu komunis, tetapi menolak juga kalau marxisme itu sosialisme kanan. Marxisme itu, kata Soekarno, adalah satu ‘denkmethode’, satu cara pemikiran. Cara pemikiran untuk mengerti perkembangan cara perjuangan harus dijalankan, agar dapat tercapai masyarakat adil.”. (Kasenda, 2014: 98).

Analisa Marxisme ini harus dipelajari sebagai kesatuan teori yang lengkap. Untuk itu agar kitab bisa mengerti Marhaenisme Sukarno adalah bagaimana memahami denkmethode juga. Sebagaimana Bung Mastono dalam tulisan yang berjudul “Penghianatan Marhaenis Terhadap Marhaenisme: Sebuah Kesaksian” dikatakan; Sukarno mengatakan, kalau hendak ingin mempelajari Marhaenisme seseorang harus mengetahui kondisi Indonesia dan sedikit tentang Marxisme. Sebenarnya dua hal itu memiliki kesaling-hubungan yang tak terpisahkan satu sama lain (Puntoh, 2016: 36). Suatu hal yang perlu difahami oleh setiap kaum Marhaenis, pertama yaitu bagaimana diharuskan mengerti kondisi Indonesia saat itu, yang terjajah oleh sistem kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Kondisi itulah yang nanti mengantarkan Sukarno menelurkan Marhaenisme sebagai teori perjuangan masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Kedua, yaitu mengerti metode Marxisme. Metode ini dikenal dengan materialisme dialektik dan materialisme historis. Bung Hartono juga menyinggung dalam hal ini yang dikutip dari Bung Mastono (Kader Marhaenis), ia mengatakan; Rudi Hartono benar, bahwa Sukarno menggunakan analisis kelas—yang oleh sebagian Marhaenis masih tertukar-tukar dengan perjuangan kelas (akan saya bahas di bagian selanjutnya)—tentu saja pangkalnya adalah MDH (Pontoh, 2016: 36).

Metode materialisme historis ini yang banyak masih belum difahami dalam teori Marxisme. Dari materi historis atau historis materialisme adalah suatu cara penganalisaan untuk menjawab bagaimana sebab-sebab fikiran itu berubah. Historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu berubah (Sukarno, 2005: 20). Materialisme historis juga berkaitan erat dengan hubungan manusia dengan alam. Hubungan antara manusia dengan alam, tingkat kekuasaan terhadap alam, atau dengan kata lain adalah perkembangan dari cara produksi. (Lefebvre, 2015: 63). Dalam metode Marxisme materialisme historis ini Sukarno berhasil menjelaskannya. Metode tersebut dengan membawa kesimpulan bahwa pergerakan rakyat untuk merdeka yang harus diambil adalah mesti dengan kekuatan rakyat itu sendiri. Rakyat selalu berangkat dari analisa ekonomi-politik, bahkan menurut saya penyajian tulisan Sukarno pun mencerminkan penerapan metode materialisme historis (Pontoh, 2016: 36). Demikian kata Bung Mastono menerangkan.

Sedangkan materialisme dialektik yang diambil oleh Sukarno dari Karl Marx. Walaupun pembaca tentunya semua sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya jikalau kita di sini mengingatkan bahwa jasanya ahli fikir ini ialah: —ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (materialistsche dialektiek); —ia membentangkan teori bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu sehingga “kerja” (Sukarno, 2005: 15).  Dari Marxisme itulah Sukarno menganggap bahwa Marhaenisme adalah teori sosial yang menghendaki susunan mayarakat dan negeri dan didalam segala halnya menyelamatkan seluruh kaum Marhaen dari kekejaman kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, dan kolonialisme. Tetapi Sukarno yakin, bahwa kesejahteraan tidak akan didapat jikalau tanpa sumbangan Marxisme. Bung Karno meyakini, supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan teknik dan kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proporsi marxisme, bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan perubahan corak produksi (Pontoh, 2016: 18).

Dua filsafat inti Marxisme diatas sepertinya menjadi tak beguna jika berpedoman dengan Tap MPRS XX/1966 yang sudah ditetapkan 2003 tahun yang lalu. Doktrin tersebut menjadi satu hal yang seakan-akan menjadi onani wacana Sukarno, namun walaupun demikian kaum Marhaenis tidak perlu ragu-ragu untuk menyuarakan yang sebenarnya telah terjadi dimasa-masa sebelum kemerdekaan dan sesudah (kemerdekaan), sebelum Tap MPRS tersebut disetujui. Kaum Marhaenis tidak boleh kecil hati untuk tetap menggunakan denkmethode tersebut sebab Sukarno mau tertawa dengan peraturan MPRS XX/1966 yang ingin menghapuskan ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme. “Kalau engkau (MPRS) mengambil keputusan melarang Marxisme, Leninisme, Komunisme, saya akan ketawa,” tegasnya (Hartono, 2013: http://www.berdikarionline.com). Sukarno akan marah jika tiga isme (Marxisme, Leninisme, Komunisme) ini dihapuskan.

Kalau mau dikatakan kejam Orde Baru (Orba) maka tetap sekali, jadi tidak heran jika ajaran Marhaenisme tidak banyak lagi yang mengetahuinya. Mendengar kata ‘Marhaenisme’ saja mereka (sebagian banyak rakyat Indonesia) masih bertanya, apa itu?. Pertanyaan ini muncul tentu karena ajaran Marxisme dijauhkan dari Marhaenisme. Tetapi peneliti masih bersyukur karena masih ada suatu gerakan kemahasiswaan yang tetap menjaga ajaran Marhaenisme sebagai ideologi dan azas perjuangan. Organisasi ini adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), namun masih disayangkan, di organisasi tersebut masih terdapat sangat banyak kadernya yang belum secara fulgar mengatakan apa itu Marhaenisme dan hubungannya dengan Marxisme. GMNI punya peran besar sebagai penerus ideologis Sukarno untuk menyadarkan Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan dengan situasi Indonesia.

Marhaenisme dan denkmethode dari Marxisme haruslah tetap disuarakan. Karena dua ideologi tersebut sama-sama menolak kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Sebagai teori sosial, Marhaenisme Sukarno haruslah dipegang dalam upaya untuk melawan segala bentuk penindasan. Musuh-musuh Marhaenisme itulah harus dibasmi di bumi Indonesia dan dunia. Kapitalisme yang menjadi musuh Marhaenisme dan Marxisme pula karena menyebabkan kemiskinan. Kapitalisme, kata Soekarno, ternyata menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan (Kasenda, 2014: 83).

Sistem kapitalisme pada hakikatnya yang jelas-jelas mengeksploitasi sesama umat manusia. Milik perseorangan dari sistem kapitalisme menjadi tolak ukur. Dalam pandangan Kapitalisme, semua harta benda yang dimiliki oleh seseorang adalah mutlak baginya atas pandangan individu sebagai implementasi dari konsep HAM (Ridwan, 2011: 33). Sistem inilah yang oleh Sukarno ditolak mati-matian. Dari tulisan Sukarno yang diberi judul “Kapitalisme Bangsa Sendiri” mengungkap; “Kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisahkan kaum-buruh dari alat-alat produksi (Sukarno, 2005: 179). Begitulah kapitalisme, ia selalu meyebabkan kesengsaraan. Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan tarif, peperangan, kematian. Pendek kata menyebabkan rusaknya susuanan dunia yang sekarang (Sukarno, 2005: 179). Sistem inikah apakah terus kita diamkan.

Tidak hanya kapitalisme yang membuat kepapan didalam kita punya masyarakat, tetapi juga imperialisme. Sistem ini juga pernah disinggung oleh Sukarno didalam dia punya tulisan dengan judul “Mencapai Indonesia Merdeka” pada tahun 1933. Didalam artikel tersebut Sukarno menerangkan bahwa wajah imperialisme selalau berganti bulu, dari imperialisme tua kemodern. Artikel penting tersebut cukup baik dijelaskan oleh Sukarno. Sebagai mana ia tuliskan; Kamu belum mengetahui hal ini? Pembaca, imperialisme adalah dilahirkan oleh kapitalisme. Imperialisme adalah anak kapitalisme. Imperialisme dilahirkan oleh kapitalisme tua, imperialisme modern dilahirkan oleh imperialisme modern (Sukarno, 2005: 262).

Wajah imperialisme tua berbeda dengan imperialisme modern, namu esensi pemerasannya sama. Dari imperialisme tua itu Sukarno mengatakan; maka imperialisme tua yang dilahirkan oleh kapitalisme tua itu—imperialismenya Oost Indische Compagnie dan imperialismenya Cultuurstelsel—imperialisme tua itu niscayalah satu watak dengan “ibunya”, yakni watak tua, watak kolot, watak kuno (Sukarno, 2005: 262). Tetapi wataknya adalah monopoli, kekejaman, dan kekarasan, begitulah Sukarno menerangkan. Watak kekajaman tersebut yang nanti akan melahirkan paksaan dengan merusak tatanan kekerajaan atas senjata yang mereka punyai. Namun imperialisme modern berganti bulu, itu karena datangnya Eropa. Dari Eropa itulah datanglah yang disebut pabrik-pabrik, bank-bank, dan lain-lain. Tetapi lambat laun Eropa modern-kapitalisme mengganti vroeg-kapitalisme yang sudah tua bangka. Pabrik-pabrik, bingkilo-bingkil, bank-bank, dan pelabuhan (Sukarno, 2005: 263).

Dari dua macam wajah imperialisme tersebut tapi satu yang menyamakan mereka, yaitu mereka tidak mendatangkan timbal balik terhadap kaum Marhaen, justru oleh merekalah kekayaan kita diangkut kenegara mereka masing-masing. Menurut Soekarno, imperialisme adalah suatu nafsu. Suatu sistem menguasai atau mempengarui ekonomi bangsa lain (Kasenda, 2014: 83). Jadi inikah yang disebut baik untuk kaum Marhaen, tentu jawabanya tidak. Ternyata penyebab kesengsaraan rakyat Indonesia juga tidak hanya datang dari kapitalisme dan imperialisme, namu satu juga yang banyak dilupakan, yaitu kolonialisme. Dari imperialisme maka kolonialisme hadir juga disana. Kedatangan kolonial Belanda menjadi sebab pula rakyat Indonesia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Maka Kolonialisme Belanda inilah nantinya membuat Indonesia tidak merdeka sebagai bangsa. 

Dari semua yang telah diterangkan diatas tentu ada satu hal yang menjadi cara kita, adalah menghidupkan kembali ajaran Marhaenisme di bumi Indonesia, tentu dengan metode Marxisme pula harus dilakukan, karena ajaran itulah yang merasuki dada Sukarno. Alhamdulillah pula saya ucapkan bahwa Allah Taala siang-siang telah menanamkan faham Marxisme di dada dan otak saya (Sukarno, 2005: 515).

Dari pragraf akhir ini, tentu ada satu hal yang tak pantas jika peneliti tidak mengulangkan kembali sebagaimana soal ‘Marhaenisme: Marxisme Ala Indonesia Menurut Sukarno’, yaitu dari Marhaenisme adalah kata padanan istilah untuk dapat bisa lebih dimengerti oleh rakyat kecil Indonesia. Bung Karno mencoba mencari padanan istilah yang bisa diterima rakyat kecil dari Marxisme ini, yang ia sebut sebagai Marhaenisme. Marhaenisme sebagaimana kita tahu, adalah Marxisme yang disesuaikan dengan konteks Indonesia (Pontoh, 2016: 10).

Sumber Bacaan

Hartono, Rudi. (2013). Bung Karno: Ya, Aku Marxis!. http://www.berdikarionline.com/

Hartono, Rudi. (2016). Bung Karno dan Marxisme,  http://indoprogress.com.

Kasenda, Peter. (2014). Bung Karno Panglima Revolusi. Yokyakarta: Galang Pustaka.

Lebfebvre, Henri. (2015). Seri Panduan Marxisme, Yokyakarta: Percetakan Jalasutra.

M. Ag, Ridwan Dr. (2011). Hak Milik Perspektif Islam, Kapitalis, dan Sosialis. Purwokerto & Yokyakarta: STAIN Press & Debut Wahana Press.

Mintz, Jeanne S. (2003). Muhammad, Marx dan Marhaen Akar Sosialisme Indonesia, Yokyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Pontoh, Cuen Husain. (2016). Sukarno, Marxisme dan Bahaya Pemfosilan, Diterbitkan oleh Pustaka IndoPROGRESS.

Sukarno, Ir. (2005). Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: YAYASAN BUNG KARNO.

Tentang Penulis: Faidi Ansori, Penulis dua buku, “Homo Digitalis” dan “Marhaenisme Marxisme Ala Indonesia”.


*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article