Wisata Nostalgia di Kebun Kopi Karanganyar Blitar

Syahril Abdillah
3 Min Read
Wisata Kebun Kopi Karanganyar (Foto: Herry Santoso)
Wisata Kebun Kopi Karanganyar (Foto: Herry Santoso)

Jurnalfaktual.id, – WISATA NOSTALGIA. Begitu masyarakat menyebutnya, karena obyek wisata itu ada sejak Abad-17 lalu. Di masa kolonial Belanda itu dikenal dengan sebutan De Karanganjar Koffie Plantage. Wajar jika tempat itu sebagai tempat “dugem” para noni dan sinyo Belanda. Di zamannya, ia merupakan diskotik para elite Belanda penguasa ordernaming khususnya di kaki Kelud bagian Selatan.

Nah, sejak merdeka dan Belanda hengkang, dari republik ini masih kental sisa-sisa nostalgia masa lalu. Tidaklah aneh jika masih banyak pengunjung dari manca negara yang ingin melacak kenangan di situ.


“Anda datang dari Belanda ?” tanya penulis pada bule tua yang fasih bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa ngoko.


“Iya. Kami dari Roterdam. Sudah hampir sepekan di sini,” ujarnya. Yang paling mengejutkan, ia mengaku ibunya orang Penataran, Blitar. Adof Fegan (82), nama lelaki tua pensiunan serdadu itu datang ke Karanganyar khusus untuk bernostalgia, dan berkunjung ke segenap familinya, dari pihak ibu.

Ratusan Jenis Kopi

Ratusan jenis bubuk kopi dari berbagai belahan bumi ada di De Karanganjar Koffie Plantage. Ada kopi Gayo, Toraja, bahkan Brasil, Jamaika, Sandakan, Peru, dan Surinane.


“Pikir-pikir, ini tempat, sebagai surganya kopi,” imbuh Adof Fegan.

Sajian Musik Barat Klasik sampai Keroncong

Semakin dalam berbaur dengan bule-bule dan para penggemar kopi itu, semakin asyik dan nostalgik. Betapa tidak, ada grup band khusus yang mahir mengakses lagu-lagu barat klasik, dan musik keroncong.

Laiknya lagu-lagu Moonlight (Sonata Ludwig Van Beethoven ) My Lady from Amesterdam, (Gouglas Emirt), hingga Keroncong Morisku, Bandar Jakarta, semua dimainkan dengan apik dan ritmis. Yang membuat penulis tertegun, seorang nenek (buke) dengan fasihnya melantunkan Yen Ing Tawang Ana Lintang…., waow, semua pengunjung berdiri memberi aplus !

Cenil dan Kicak

Jajanan tradisional yang lestari sejak zaman bahulea yang disukai para bule di antaranya : cenil, kicak, lemper, atau gethuk singkong.

This is my favorite cake. Neterland doesn’t exist !” (Inilah kue kesukaan saya. Di Belanda tidak bisa ditemui) – kata Annie (42) yang tidak menolak makanan apapun yang disodorkan pramusaji.

Udara yang dingin, rata-rata 16 derajad celsius, membuat orang barat betah berlama-lama di kawasan wisata nostalgia itu.


“Sekarang kami lengkapi dengan sarana permainan tradisional, maupun modern, Mas,” pungkas Herry Nugroho pemilik obyek wisata itu, mengakhiri pertemuan dengan penulis.

Laporan: Herry Santoso

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article