Cokekan, Menyerah oleh Kepungan Zaman

Syahril Abdillah
5 Min Read
Para pemain Cokekan yang masih bertahan ditengah arus Globalisasi (Foto: Herry Santoso)
Para pemain Cokekan yang masih bertahan ditengah arus Globalisasi (Foto: Herry Santoso)

Mengintip Kisi-kisi Kehidupan

Laporan : Herry Santoso

Jurnalfaktual.id, – GLOBALISASI, ditengarai acapkali mengepung berbagai tradisi. Wajar jika beberapa kesenian tradisional pun turut tersungkur di bilik zaman. Satu di antaranya adalah cokekan.

“Satu dua tahun lalu kami masih bertahan. Akhirnya, menyerah ketimbang mati terengah-engah. Betapa tidak, rupanya masyarakat lebih asyik nanggap dangdut keliling daripada cokekan, Mas…” tutur Pranoto (65) pada Jurnalfaktual.id di rumahnya, Kelurahan Sukorejo Kota Blitar.

Pranoto — yang biasa disebut Mbah To — terkenal lantaran jemarinya piawai memetik siter. Gending apapun bisa dilayani, apalagi gending klasik laiknya : Puspawarna, Kutut Manggung, Sinom, Uler Kambang, dan lain-lain semua terampil dimainkannya.

Modal Mulut dan Dengkul

Cokekan sendiri adalah pagelaran “karawitan mini”. Bukan gamelan lengkap pelok- sekendro, tetapi hanya terwakili oleh siter (sebangsa kecapi), gendang, dan (yang paling unik) gong sebul, yakni salah satu gamelan berupa gong yang terbuat dari bambu (bumbung) dan cara membunyikannya ditiup ( disebul ).

Sungguhpun demikian, cokekan sangat eksis di kalangan penggemar seni gamelan. Pemainnya cukup 5 orang. Peniup gong, penggendang, penyiter, dan 2 orang pesinden. Kadang agar lebih asyik ditambah rebab.

Perbabak

Untuk menanggap cokekan dengan cara “perbabak”. Tiap babak 3 lagu, dengan ongkos Rp 5.000,-

“Saya sudah lebih 40 tahun nyindhen. Dulunya sih, sinden tayup. Dengan semakin bertambahnya usia, demi berburu sesuap nasi, ya, nyokek, Mas, ” kata Misnarti (65) pada jurnalfaktual.id. Disinggung masalah keluarga (baca : suami), Misnarti mengaku pernah menikah sampai 3 kali.

“Suami pertama, panjak (penabuh gamelan), cerai dengan warisan 2 anak. Suami kedua, ulu-ulu (pengatur/pembagi air di sawah petani, dan terakhir, tuh, orangnya !” ia menunjuk tukang siter.

Lain Misnarti, lain pula dengan Subinar (40). Sinden yang masih energik ini lebih baik menjanda, dengan 1 orang anak.


“Anakku sudah menikah kok Mas. Sekarang jadi guru GTT di sebuah SMP. Dia sarjana. Semua itu aku perjuangkan dengan memeras keringat sebagai sindhen. Sungguh. Yang penting tidak neko-neko Gusti Allah pasti nemberi, kok. ” akunya setius pada penulis.

1 Juta Selepas Dini Hari

Pertunjukan cokekan dimulai sejak sehabis salat isya’. Kalau ramai, kadang hingga jam 2.00 selepas dini hari.
“Joget terus sampai lempoh,. Mas…” kata Subinar.

Ia tukang membagi sampur, (selendang) pada tamunya. Harus jeli. Sebab, jika antreannya disalip akan marah. Umumnya laki-laki merasa puas dengan layanan Subinar yang mahir melenggak-lenggok seiring gendang yang mendetap-detap.

“Apakah melibatkan miras ?” tanya penulis.
” Dulu, iya. Tapi sekarang dilarang. Pak Polisi, dan Pol PP setiap patroli selalu nimbrung, kok. Mereka juga suka menyumbang joget dan selalu nyawer. Ya, lumayan, sampai dini hari dapat 1 juta rupiah, ” ujarnya serius.

Depan Pasar Legi sampai Hotel Berbintang

Semakin malam pertunjukan cokekan kian semarak. Biasanya mangkal di kawasan kuliner depan Pasar Legi Kota Blitar. Suara sindhen terdengar mendayu seiring dengan irama gamelan cokek yang ritmis dan syahdu, menjadi barang langka yang ikonis di Kota Proklamator tersebut. Tak jarang seni unik itu ditanggap dari hotel ke hotel berbintang laiknya di Tugu Sri Lestari Hotel, Puri Perdana, atau di Patria Hotel bahkan juga di Istana Gebang (rumah Bung Karno semasa kecil dan remaja).

“Itu namanya rejeki, Mas. Ada orang yang peduli pada kami manggung di hotel berbintang, tapi juga tak jarang lho, semalam keliling kota hanya dapat nyeri dan pegal di kaki.” imbuh Mbah To.

Mustahil Regenerasi

Mustahil kesenian congkekan mengalami regenerasi.
“Mana mungkin anak muda mau nyokek. Melihat saja, mungkin merasa geli. Mereka lebih gandrung musik modern…” ucap Mbah To sembari menerawang lampu-lampu mercury sepanjang jalan raya. Matanya nanar lantaran tak seorang pun yg minat menanggapnya. Kadang bermain sendiri, menghabiskan malam, lalu rombongan itu pun pulang dengan langkah gontai. Mungkin dalam otaknya selalu bertanya : sampai kapan bisa bertahan. Ya, sampai kapan… (Herry Santoso, Jurnalfaktual.id)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article