Menggugat Pembangunan Rempang Eco City: Kisah Warga yang Terancam Digusur

Ningsih Arini
8 Min Read

jfid – Pulau Rempang, salah satu pulau di Kepulauan Riau, menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 7 September 2023. Pada hari itu, ribuan warga yang menolak digusur dari tanah leluhur mereka bentrok dengan pasukan gabungan dari kepolisian, TNI, dan Satpol PP. Mereka berusaha mempertahankan hak hidup dan hak atas tanah mereka yang terancam oleh proyek pembangunan Rempang Eco City, sebuah kawasan investasi terpadu yang dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).

Proyek Rempang Eco City merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Proyek ini ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080. Namun, proyek ini juga menimbulkan kontroversi karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) warga Pulau Rempang, khususnya hak atas tanah dan hak atas lingkungan hidup yang layak.

Warga Pulau Rempang, sebagian besar berasal dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat, telah bermukim di pulau tersebut sejak 1834. Mereka memiliki hubungan historis, budaya, dan spiritual dengan tanah leluhur mereka. Mereka juga menggantungkan hidup dari hasil pertanian, perikanan, dan pariwisata di pulau tersebut.

Namun, sejak tahun 2016, BP Batam dan PT MEG mulai melakukan pengukuran lahan dan pemasangan patok di Pulau Rempang tanpa melibatkan partisipasi warga. Warga merasa tidak mendapatkan informasi yang jelas dan transparan tentang rencana pembangunan, dampak sosial dan lingkungan, serta kompensasi yang akan diberikan kepada mereka. Warga juga merasa tidak dihargai sebagai pemilik tanah adat yang memiliki hak ulayat.

Salah satu warga Pulau Rempang yang menjadi korban penggusuran paksa adalah Pak Samsul (nama samaran), seorang petani kelapa yang tinggal di Kampung Tanjung Piayu. Pak Samsul menceritakan pengalaman traumatisnya ketika pasukan gabungan datang ke rumahnya pada 7 September 2023.

“Kami tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja ada ratusan polisi dan tentara yang datang dengan mobil dan motor. Mereka membawa senjata dan peralatan lainnya. Mereka bilang kami harus segera angkat kaki dari sini karena tanah ini sudah menjadi milik negara. Kami tidak mau pergi. Ini tanah leluhur kami. Kami sudah tinggal di sini sejak nenek moyang kami,” kata Pak Samsul dengan suara tercekat.

Pak Samsul mengatakan bahwa dia dan warga lainnya mencoba melakukan perlawanan dengan cara damai. Mereka membentuk barisan manusia dan membawa spanduk-spanduk yang menolak penggusuran. Namun, pasukan gabungan tidak peduli dengan protes warga. Mereka malah menyerang warga dengan gas air mata, pentungan, dan peluru karet.

“Kami tidak punya senjata apa-apa. Kami hanya punya batu, ketapel, dan parang untuk membela diri. Kami tidak mau menyerah begitu saja. Kami berjuang untuk hak kami. Tapi mereka kejam sekali. Mereka memukuli kami tanpa ampun. Banyak warga yang luka-luka dan pingsan. Bahkan ada yang meninggal dunia,” ujar Pak Samsul.

Pak Samsul sendiri mengalami luka di kepala akibat terkena pentungan polisi. Dia juga kehilangan rumahnya yang dibakar oleh pasukan gabungan. Dia kini tinggal di tenda darurat bersama istri dan tiga anaknya.

“Kami tidak tahu mau kemana lagi. Kami tidak punya tempat tinggal lagi. Kami tidak punya pekerjaan lagi. Kami tidak punya masa depan lagi. Kami merasa dikhianati oleh negara. Kami merasa tidak dianggap sebagai manusia,” ucap Pak Samsul dengan mata berkaca-kaca.

Pak Samsul bukan satu-satunya warga yang mengalami nasib tragis akibat penggusuran paksa. Menurut data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada sekitar 16.000 warga Pulau Rempang yang terdampak oleh proyek Rempang Eco City. Dari jumlah tersebut, sekitar 8.000 warga sudah digusur secara paksa, sementara sisanya masih berjuang untuk mempertahankan tanah mereka.

YLBHI juga mencatat ada sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi dalam proses penggusuran paksa, antara lain: penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat, penangkapan sewenang-wenang terhadap warga, pembakaran rumah dan fasilitas umum, pengrusakan tanaman dan hewan ternak, serta pemutusan akses air dan listrik.

“Kami mengecam keras tindakan represif aparat terhadap warga Pulau Rempang. Ini adalah bentuk pelanggaran HAM berat yang tidak bisa ditolerir. Kami mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek Rempang Eco City dan menghormati hak-hak warga sebagai pemilik tanah adat. Kami juga mendesak pemerintah untuk memberikan pemulihan bagi korban, termasuk ganti rugi, rehabilitasi, dan kompensasi,” kata Muhammad Isnur, Ketua YLBHI.

Muhammad Isnur menambahkan bahwa proyek Rempang Eco City juga bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan keseimbangan antara people, planet, dan profit. Menurutnya, proyek ini hanya mementingkan kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya.

“Proyek Rempang Eco City akan merusak ekosistem pulau yang kaya akan keanekaragaman hayati. Pulau ini memiliki hutan mangrove, hutan bakau, terumbu karang, dan biota laut yang perlu dilestarikan. Proyek ini juga akan menghilangkan identitas budaya dan sejarah warga Pulau Rempang yang merupakan bagian dari warisan bangsa. Proyek ini tidak sesuai dengan visi Indonesia sebagai negara maritim yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” tutur Muhammad Isnur.

Namun, pihak BP Batam dan PT MEG membantah bahwa proyek Rempang Eco City melanggar HAM dan merugikan warga. Mereka mengklaim bahwa proyek ini telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat dan daerah, serta telah melalui proses kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Mereka juga mengklaim bahwa proyek ini akan memberikan manfaat bagi pembangunan Batam dan Kepulauan Riau secara keseluruhan.

“Proyek Rempang Eco City adalah proyek yang visioner dan futuristik. Proyek ini akan menjadikan Pulau Rempang sebagai kawasan wisata bahari yang modern dan ramah lingkungan. Proyek ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan daerah, dan menarik investasi asing. Proyek ini adalah proyek yang pro rakyat dan pro kemajuan,” ujar Edi Gunawan, Direktur Utama BP Batam.

Edi Gunawan menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi dan komunikasi intensif dengan warga Pulau Rempang sebelum melakukan pengukuran lahan dan pemasangan patok. Dia mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan penawaran kompensasi yang adil dan layak kepada warga yang bersedia mengosongkan tanah mereka.

“Kami telah memberikan dua pilihan kepada warga: pertama, kami akan memberikan uang tunai sebesar Rp300 juta per hektare; kedua, kami akan memberikan lahan pengganti,” jelas Edi Gunawan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article