Ganjar Pranowo dan Azan Magrib: Taktik Politik atau Kebetulan Murni?

Noer Huda
4 Min Read

jfid – Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin kompleks, istilah politik identitas telah menjadi bagian tak terhindarkan dalam perbincangan sehari-hari. Kita hidup dalam zaman di mana identitas—ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, dan karakteristik lainnya—dipergunakan sebagai instrumen penting dalam upaya memobilisasi dukungan politik.

Sementara politik identitas seringkali dihubungkan dengan ketegangan, perpecahan, atau bahkan eksploitasi, kita juga harus mengakui bahwa dalam beberapa kasus, politik identitas memiliki potensi untuk membawa dampak positif dengan mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas.

Salah satu contoh terbaru yang muncul adalah kemunculan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang mendapat dukungan dari beberapa partai besar, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Puncak dari perbincangan ini adalah, siaran azan di mana Ganjar tampil dalam latar belakang masjid dengan suara azan magrib sebagai latar belakang di salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia. Siaran ini memicu reaksi beragam dan perdebatan mengenai apakah ini merupakan bentuk politik identitas yang disamarkan.

Ada yang berpendapat bahwa tindakan Ganjar dalam video tersebut hanyalah upaya untuk mengingatkan umat Islam akan kewajiban sholat magrib, bukan untuk memperoleh dukungan politik berdasarkan identitas agama.

Pandangan ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PPP, Sandiaga Uno, yang melihat kemunculan Ganjar dalam video azan sebagai hal yang positif dan bermakna dalam konteks spiritual.

Namun, pertanyaan muncul: apakah kita sebenarnya memerlukan seorang figur politik untuk mengingatkan kita akan kewajiban agama? Emang haruskah para politis berpura-pura jadi pemuka agama, ustadz, kyai, atau apalah itu. Bukankah Kewajiban keagamaan seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi yang tidak harus digantungkan pada politik.

Ini membawa kita pada pertanyaan lebih mendalam: mengapa politik identitas seringkali lebih menonjol dalam konteks agama mayoritas, seperti Islam, daripada mengakui keberagaman Indonesia yang mencakup kelompok minoritas seperti orang Papua, Tionghoa, atau kelompok agama lainnya?

Selain itu, kita harus menggali lebih dalam lagi untuk memahami motif di balik tindakan politik yang berkaitan dengan isu Palestina yang diambil oleh Ganjar Pranowo.

Misalnya, penolakan terhadap timnas Israel untuk berlaga di Piala Dunia U20 di Indonesia, yang dikaitkan dengan isu Palestina. Apakah tindakan ini merupakan tindakan tulus atau hanya upaya politik untuk memperoleh dukungan umat Muslim? Pertanyaan ini menyoroti pentingnya melihat setiap tindakan politik secara kritis, jauh dari sekadar sebagai pencitraan diri.

Kesimpulannya, dalam dinamika politik identitas yang semakin membudaya di Indonesia, kita harus tetap waspada dan kritis. Politik identitas bukanlah alat yang semestinya digunakan untuk mengambil keuntungan politik semata. Politik seharusnya melayani kepentingan nasional dan rakyat secara adil dan merata, tanpa membedakan identitas.

Untuk mencapai ini, kita semua memiliki tanggung jawab untuk memahami konteks dan nuansa di sekitar setiap tindakan politik agar dapat membuat penilaian yang seimbang dan berpikir jernih. Dengan begitu, kita dapat berkontribusi pada pembangunan politik yang lebih inklusif dan adil di Indonesia.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article