Pulau Rempang: Tempat Lord Membangun Mimpi, Warga Mempertahankan Realita

Rasyiqi
By Rasyiqi
12 Min Read

jfid – Pulau Rempang, salah satu pulau yang terhubung dengan jembatan Barelang di Batam, Kepulauan Riau, menjadi sorotan publik akhir-akhir ini.

Pasalnya, pulau yang memiliki luas sekitar 17.000 hektare ini akan dikembangkan menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.

Proyek ini digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik pengusaha nasional Tommy Winata, yang juga dikenal sebagai Lord.

Namun, rencana pembangunan Rempang Eco City tidak berjalan mulus. Sejak awal, proyek ini mendapat penolakan dari sebagian besar warga Pulau Rempang, yang mengklaim memiliki hak atas tanah yang mereka tempati.

Warga menuding pemerintah dan pengembang tidak menghargai hak-hak mereka sebagai masyarakat adat Melayu, yang sudah menetap di pulau tersebut sejak zaman Belanda. Mereka juga menolak relokasi yang ditawarkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam, yang mengelola lahan di pulau tersebut.

Konflik antara warga, pemerintah, dan pengembang memuncak pada Kamis (7/9/2023), ketika tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam, dan Satpol PP melakukan pembebasan lahan dengan memasang patok di sejumlah lokasi.

Aksi ini mendapat perlawanan keras dari warga, yang berusaha menghalangi dan merusak patok-patok tersebut. Bentrokan pun tak terhindarkan, yang mengakibatkan sejumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak.

Bentrokan ini menarik perhatian media nasional dan internasional, yang meliput dengan berbagai sudut pandang. Ada yang menyebut proyek Rempang Eco City sebagai mimpi besar untuk mengubah wajah Batam menjadi kota modern yang ramah lingkungan, sekaligus menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja.

Ada pula yang mengkritik proyek ini sebagai bentuk penindasan terhadap hak-hak masyarakat adat, yang diabaikan demi kepentingan bisnis dan politik.

Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Rempang? Bagaimana sejarah dan latar belakang konflik lahan yang terjadi di sana? Dan bagaimana nasib warga Pulau Rempang di tengah rencana pembangunan Rempang Eco City?

Sejarah Pulau Rempang

Pulau Rempang merupakan salah satu dari tiga pulau besar yang terhubung dengan jembatan Barelang, yaitu Batam, Rempang, dan Galang. Nama Barelang sendiri merupakan singkatan dari ketiga pulau tersebut. Jembatan Barelang dibangun pada tahun 1992, sebagai bagian dari konsep pengembangan kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK), yang diinisiasi oleh BJ Habibie, mantan Presiden RI dan mantan Menteri Riset dan Teknologi.

Pulau Rempang memiliki luas sekitar 17.000 hektare, yang sebagian besar merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pulau ini juga memiliki potensi sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, dan pasir kuarsa.

Selain itu, pulau ini juga memiliki kekayaan budaya dan sejarah, seperti makam-makam leluhur masyarakat Melayu, situs-situs peninggalan Belanda dan Jepang, serta kearifan lokal dalam mengelola lingkungan.

Pulau Rempang sudah dihuni oleh masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum terbentuknya BP Batam pada Oktober 1971, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. BP Batam merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan di pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan BBK, termasuk Pulau Rempang.

BP Batam memiliki hak pengelolaan lahan (HPL) di pulau tersebut, yang berarti dapat memberikan izin kepada pihak ketiga untuk mengembangkan lahan di sana.

Namun, masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang selama ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Mereka hanya mengandalkan surat keterangan dari kepala desa atau camat, yang menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli atau pendatang yang sudah lama menetap di pulau tersebut.

Surat keterangan ini dianggap sebagai bukti adanya hak ulayat, yaitu hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam di wilayahnya.

Rencana Pembangunan Rempang Eco City

Rencana pembangunan Rempang Eco City sebetulnya sudah berjalan sejak tahun 2004, yang ditandai dengan adanya nota kesepahaman antara Pemkot Batam dan Otorita Batam dengan PT MEG.

Nota kesepahaman ini terkait rencana pembangunan kota wisata di Rempang dan Galang. PT MEG, yang merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tommy Winata, mendapatkan konsesi kerja selama 80 tahun.

Sayangnya, rencana tersebut harus tertunda lantaran adanya masalah pembebasan lahan. Warga Pulau Rempang menolak untuk melepaskan tanah yang mereka tempati, dengan alasan bahwa tanah tersebut sudah menjadi warisan turun-temurun dari leluhur mereka.

Warga juga merasa tidak mendapatkan kompensasi yang layak dari pemerintah dan pengembang. Selain itu, warga juga khawatir akan dampak negatif dari pembangunan kota wisata, seperti kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan terancamnya identitas budaya.

Rencana pembangunan Rempang Eco City kembali mengemuka pada tahun 2023, setelah proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat.

PSN merupakan proyek-proyek yang dianggap penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PSN juga mendapatkan prioritas dalam hal perizinan, pendanaan, dan pengawasan.

Proyek Rempang Eco City memiliki nilai investasi sebesar Rp 381 triliun sampai dengan tahun 2080, dan ditargetkan dapat menyerap 306.000 orang tenaga kerja. Proyek ini akan mengubah permukaan Pulau Rempang menjadi kawasan pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan (EBT).

Proyek ini juga mengusung konsep ramah lingkungan, dengan mengedepankan penghematan energi, pengelolaan sampah, dan pelestarian ekosistem.

Untuk merealisasikan proyek ini, BP Batam berencana merelokasi sekitar 7.500 jiwa penduduk Pulau Rempang, yang tersebar di 11 desa.

Relokasi ini dilakukan dengan memberikan pilihan kepada warga, yaitu menerima uang tunai sebesar Rp 150 juta per kepala keluarga, atau mendapatkan rumah susun (rusun) di lokasi lain. BP Batam juga menjanjikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sosial bagi warga yang bersedia direlokasi.

Konflik dan Kontroversi

Namun, rencana relokasi ini tidak diterima oleh sebagian besar warga Pulau Rempang. Mereka menilai bahwa pilihan yang diberikan oleh BP Batam tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka.

Mereka juga meragukan kualitas dan kelayakan rusun yang ditawarkan, serta mengkhawatirkan nasib mereka di tempat baru. Mereka menuntut agar pemerintah dan pengembang menghormati hak-hak mereka sebagai masyarakat adat, yang sudah memiliki ikatan emosional dan spiritual dengan tanah dan lingkungan di Pulau Rempang.

Warga Pulau Rempang juga menolak untuk mengakui kewenangan BP Batam sebagai pengelola lahan di pulau tersebut. Mereka menganggap bahwa BP Batam tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengklaim lahan di Pulau Rempang, karena tidak pernah melakukan pengukuran dan pendaftaran tanah secara resmi.

Mereka juga menuding BP Batam telah melakukan pemalsuan dokumen dan pemerasan terhadap warga, dengan memaksa mereka untuk menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa mereka bersedia melepaskan tanah mereka.

Warga Pulau Rempang mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, seperti LSM, aktivis, akademisi, tokoh agama, dan politisi. Mereka membentuk aliansi bernama Forum Masyarakat Peduli Pulau Rempang (FMPPR), yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak warga dan menolak pembangunan Rempang Eco City.

FMPPR juga menggugat BP Batam dan PT MEG ke pengadilan, dengan mengajukan gugatan perdata dan pidana terkait sengketa lahan di Pulau Rempang.

Di sisi lain, pemerintah dan pengembang tetap bersikukuh untuk melanjutkan proyek Rempang Eco City. Mereka berpendapat bahwa proyek ini merupakan salah satu upaya untuk memajukan Batam, yang saat ini mengalami perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Mereka juga menegaskan bahwa proyek ini sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, dan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka juga menjanjikan bahwa proyek ini akan memberikan manfaat bagi warga Pulau Rempang, baik secara ekonomi maupun sosial.

Pemerintah dan pengembang juga mengklaim bahwa mereka sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi publik dengan warga Pulau Rempang sebelum memulai proyek ini. Mereka mengatakan bahwa sebagian warga sudah menyetujui rencana relokasi, dan sudah menerima kompensasi yang disepakati.

Mereka juga membantah bahwa ada pemaksaan atau intimidasi terhadap warga, dan menyebut bahwa aksi penolakan yang dilakukan oleh sebagian warga adalah provokasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah dan pengembang juga mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, seperti asosiasi pengusaha, kamar dagang, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat.

Mereka membentuk aliansi bernama Forum Masyarakat Peduli Pembangunan Pulau Rempang (FMPPPPR), yang bertujuan untuk mendukung pembangunan Rempang Eco City. FMPPPPR juga menggugat FMPPR ke pengadilan, dengan mengajukan gugatan perdata dan pidana terkait tindakan penolakan dan perusakan yang dilakukan oleh sebagian warga.

Nasib Warga Pulau Rempang

Konflik lahan di Pulau Rempang masih berlangsung hingga saat ini, tanpa ada titik temu yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Warga Pulau Rempang terus melakukan perlawanan, dengan melakukan aksi unjuk rasa, menggugat ke pengadilan, dan mengadakan pertemuan dengan pihak terkait.

Mereka juga terus menjaga tanah dan rumah mereka, dengan menolak untuk pindah atau menerima kompensasi.

Pemerintah dan pengembang juga terus melakukan upaya, dengan melakukan sosialisasi, negosiasi, dan mediasi dengan warga. Mereka juga terus melakukan pembebasan lahan, dengan memasang patok, merobohkan bangunan, dan membersihkan lahan.

Mereka juga terus mempersiapkan pembangunan Rempang Eco City, dengan melakukan studi kelayakan, perencanaan, dan pengadaan.

Sementara itu, nasib warga Pulau Rempang menjadi semakin tidak jelas. Mereka hidup dalam ketidakpastian, ketakutan, dan kesedihan.

Mereka merasa tidak dihargai, tidak didengar, dan tidak diperhatikan. Mereka merasa kehilangan tanah, rumah, dan identitas mereka. Mereka merasa terancam oleh proyek yang tidak mereka inginkan, dan tidak sesuai dengan kearifan lokal mereka.

Apakah ada harapan bagi warga Pulau Rempang? Apakah ada solusi yang adil dan bijak bagi konflik lahan di pulau tersebut? Apakah ada jalan tengah yang dapat mengakomodasi kepentingan dan aspirasi semua pihak? Apakah ada mimpi yang dapat menjadi kenyataan bagi Pulau Rempang?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung di udara, menunggu jawaban yang belum terlihat. Pulau Rempang, antara mimpi dan realita.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article