Rempang Eco City: Proyek Strategis Nasional yang Mengancam Nasib Ribuan Warga

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read

jfid – Pulau Rempang, sebuah pulau kecil di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi saksi bisu perjuangan ribuan warga yang tinggal di sana. Mereka berharap bisa tetap bertahan di tanah kelahiran mereka, meski menghadapi ancaman relokasi dari pemerintah.

Pulau Rempang adalah salah satu dari tiga pulau besar yang membentuk konsep Barelang (Batam Rempang Galang), yang dicetuskan oleh BJ Habibie pada tahun 1971. Konsep ini bertujuan untuk mengembangkan kawasan industri, jasa, dan pariwisata di Selat Malaka, yang diharapkan bisa menyaingi Singapura.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, Pulau Rempang mulai dilirik oleh investor swasta yang ingin membangun proyek bernama Rempang Eco City. Proyek ini mencakup pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan renewable energy.

Proyek ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat dan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), yang dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata. Dengan adanya Rempang Eco City, ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Namun, proyek ini juga menimbulkan masalah. Sebab, untuk merealisasikannya, pemerintah harus merelokasi sekitar 7.500 jiwa warga Pulau Rempang yang sudah tinggal di sana sejak lama. Warga ini sebagian besar tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan, karena lahan di pulau tersebut awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sejarah konflik lahan di Pulau Rempang bermula dari pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada swasta oleh KLHK pada tahun 2001. Saat itu, KLHK memberikan HPL seluas 17.000 hektar kepada PT Batamindo Investment Cakrawala (BIC), yang merupakan anak perusahaan dari MEG.

Pemberian HPL ini dilakukan tanpa melibatkan BP Batam dan Pemkot Batam, yang seharusnya memiliki kewenangan dalam pengelolaan lahan di Pulau Rempang. Selain itu, pemberian HPL ini juga tidak memperhatikan hak-hak warga yang sudah tinggal di pulau tersebut.

Akibatnya, terjadi tumpang tindih klaim atas lahan di Pulau Rempang antara BIC dengan BP Batam dan Pemkot Batam. Selain itu, terjadi juga konflik antara BIC dengan warga setempat, yang merasa tanah mereka dirampas oleh perusahaan swasta.

Konflik ini berlangsung selama bertahun-tahun dan memuncak pada September 2023, ketika tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam, dan Satpol PP datang ke Pulau Rempang untuk mengukur lahan dan memasang patok dalam rangka proyek Rempang Eco City.

Ratusan warga menolak kehadiran tim gabungan dan melakukan aksi blokade jalan. Mereka mengibarkan bendera merah putih dan spanduk bertuliskan “Tolak Relokasi” dan “Tolak Proyek Rempang Eco City”. Mereka juga melempari tim gabungan dengan batu dan kayu.

Tim gabungan pun bereaksi dengan menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa. Bentrokan pun tak terhindarkan. Beberapa warga dan aparat terluka akibat bentrokan tersebut. Bahkan, seorang warga meninggal dunia karena terkena peluru karet.

Bentrokan ini menarik perhatian publik dan media nasional. Banyak pihak yang menyayangkan terjadinya kekerasan dalam penyelesaian masalah lahan di Pulau Rempang. Mereka meminta pemerintah untuk menghormati hak-hak warga dan mencari solusi damai.

Pemerintah pun berupaya menangani konflik ini dengan membentuk tim koordinasi yang melibatkan berbagai instansi terkait, seperti Menkopolhukam, KLHK, BP Batam, Pemkot Batam, dan MEG. Tim ini bertugas untuk melakukan dialog dengan warga dan mencari jalan keluar yang adil dan bermartabat.

Salah satu usulan yang diajukan oleh tim koordinasi adalah memberikan ganti rugi kepada warga yang bersedia direlokasi. Ganti rugi ini berupa uang tunai sebesar Rp 300 juta per kepala keluarga atau lahan seluas 200 meter persegi di lokasi lain.

Namun, usulan ini ditolak oleh sebagian besar warga Pulau Rempang. Mereka menganggap ganti rugi tersebut tidak sebanding dengan nilai tanah dan rumah mereka di pulau tersebut. Mereka juga merasa tidak ada jaminan kesejahteraan dan keberlanjutan hidup mereka di lokasi baru.

Warga Pulau Rempang menuntut agar pemerintah menghentikan proyek Rempang Eco City dan mengakui hak-hak mereka atas tanah yang mereka tempati. Mereka juga meminta agar pemerintah memberikan sertifikat kepemilikan lahan kepada mereka sebagai bukti legalitas.

Hingga saat ini, konflik lahan di Pulau Rempang masih belum menemukan titik temu. Warga masih bersikukuh untuk mempertahankan tanah mereka, sementara pemerintah masih berusaha untuk mewujudkan proyek Rempang Eco City. Di tengah-tengah konflik ini, nasib pulau kecil ini pun menjadi tergantung.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article