Warga Pulau Rempang ‘Tetap Menolak’ Relokasi, tapi Bahlil Klaim ‘Setuju’

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read
Pemandangan Pulau Rempang dengan kontras antara desa tradisional dan proyek pembangunan modern
Pemandangan Pulau Rempang dengan kontras antara desa tradisional dan proyek pembangunan modern

jfid – Pulau Rempang, sebuah pulau di wilayah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi sorotan publik karena rencana pengembangan proyek Rempang Eco City yang menimbulkan konflik antara warga dan pemerintah. Proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080 itu mengancam keberadaan ribuan warga yang telah menempati pulau tersebut sejak lama.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa masyarakat di Pulau Rempang “setuju” untuk “digeser” sepanjang tidak dipindahkan ke luar pulau itu. Namun, sejumlah warga terdampak justru menyatakan “tetap menolak” dipaksa pindah dari kampung mereka saat ini.

Apa alasan di balik penolakan warga Pulau Rempang? Bagaimana sikap pemerintah dalam menyelesaikan konflik ini? Dan apa dampaknya bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat?

Sejarah Konflik Lahan

Konflik lahan di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum terbentuknya Badan Pengusahaan (BP) Batam pada tahun 1971. Namun, masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selama ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Ini karena sebagian besar lahan di pulau tersebut awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

BP Batam, sebagai otoritas yang mengelola wilayah Batam, Rempang, dan Galang (Barelang), kemudian memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada PT Makmur Elok Graha (MEG), sebuah perusahaan yang dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, untuk mengembangkan proyek Rempang Eco City. Proyek ini bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat.

Rencana pembangunan proyek ambisius itu rupanya tidak berjalan lancar, sebab ribuan masyarakat adat Melayu Tua yang telah menempati Pulau Rempang sejak puluhan tahun menolak untuk direlokasi. Mereka mengaku memiliki hak ulayat atas tanah yang mereka tempati dan merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan proyek.

Bentrokan pun terjadi antara warga Pulau Rempang dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam, dan Satpol PP. Warga melakukan aksi protes dengan membakar ban, memblokir jalan, dan melempari petugas dengan batu. Petugas pun membalas dengan menembakkan gas air mata, water cannon, dan peluru karet.

Solusi Relokasi

Untuk menyelesaikan konflik ini, pemerintah pusat turun tangan dengan mengutus Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk menemui warga Pulau Rempang pada Senin (18/9). Bahlil mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan ganti rugi tanah dan bangunan kepada warga yang terdampak, serta memberikan lahan baru untuk relokasi.

Bahlil mengklaim bahwa warga Pulau Rempang “setuju” untuk “digeser” sepanjang tidak dipindahkan ke luar pulau itu. Dia mengajak perwakilan masyarakat setempat dalam pemilihan lokasi lahan di wilayah Rempang itu. “Nanti untuk lokasi lahan Rempang di mana, kita juga minta masukan dari perwakilan bapak-ibu. Kita buka peta wilayah Rempang bersama-sama,” ucapnya.

Namun, sejumlah warga terdampak justru menyatakan “tetap menolak” dipaksa pindah dari kampung mereka saat ini. Mereka menganggap bahwa ganti rugi yang ditawarkan tidak sebanding dengan nilai historis, sosial, dan budaya yang mereka miliki di pulau tersebut. Mereka juga meragukan kualitas dan kuantitas lahan baru yang akan diberikan.

“Kami kompak tidak mau dipindah. Kami sudah hidup di sini sejak nenek moyang kami. Kami punya makam, masjid, sekolah, dan sawah di sini. Kami tidak mau pindah ke tempat yang tidak jelas dan tidak layak huni,” kata Suardi, juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Pulau Rempang.

Dampak Pembangunan

Proyek Rempang Eco City diharapkan mampu meningkatkan investasi, pertumbuhan ekonomi, dan lapangan kerja di wilayah Batam dan sekitarnya. Proyek ini juga dianggap sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap Singapura sebagai mitra dagang utama.

Namun, proyek ini juga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. Pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata di pulau tersebut berpotensi merusak ekosistem hutan, laut, dan mangrove yang menjadi sumber kehidupan warga. Selain itu, proyek ini juga mengancam hak-hak masyarakat adat yang telah lama menempati pulau tersebut.

Oleh karena itu, diperlukan solusi yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan dalam menyelesaikan konflik lahan di Pulau Rempang. Pemerintah harus menghormati hak-hak masyarakat adat dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa proyek ini tidak merugikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article