Membuat Luka Bangsa yang Terkoyak Sistem Demokrasi Liberal

Herry Santoso
4 Min Read
Ilustrasi era Demokrasi Liberal
Ilustrasi era Demokrasi Liberal

jfid – PASCA sidang MK (sengketa pilpres) 2019 menghadirkan fenomena baru sebagai efek samping dari kontetasi politik. Satu diantaranya yaitu “luka Bangsa” yang menganga. Hal tersebut tidak lepas dari “terlalu lamanya” rangkaian proses pemilu itu sendiri lebih kurang 8 bulan. Ini sungguh merupakan rekor pemilu paling ribet di dunia.

Alhasil rasa persatuan bangsa pun ikut terkoyak lantaran proses demokratisasi yang penuh euforia dan sentimen negatif politik. Sebagai contoh konkret, hanya karena beda pilihan saja dua orang saudara kandung bisa pecah. Terlebih proses pemilu selalu menghadirkan “aura panas” layaknya hoaks, fitnah, maupun intrik lain yang bermuatan adu domba identik dengan the jargon political factory (pabrik jargon politik) yang selama ini jadi produk parpol dan koalisi partai yang paling ikonis.

Ini sebenarnya dampak latens dari demokrasi bebas tak berbatas yang (terlanjur) diadopsi oleh konstitusi kita semenjak zaman reformasi kekinian. Bangsa Indonesia yang dulunya amat toleran dan pandai menghargai perbedaan kini menjadi bangsa yang ekslusif, individualustis, keras kepala, dan penuh muatan Sara. Kebhinekaan yg dulu benar-benar plural dan moderat dalam berbangsa berubah menjadi fanatisme sempit dan anarkis. Pelan namun pasti kepercayaan pada pemimpin pemerintahan pun kian luntur dan memudar, meski sudah ada bingkai konstitusi. Ini benar-benar sesuatu yang patut disesalkan oleh siapapun!

Perlukah Kembali pada Demokrasi Pancasila?

Bentuk konstitusi negara kita adalah negara kesatuan dengan sistem republik dan dalam pemerintahan presidensial. Tetapi yang kita rasakan saat ini adalah negara dengan siatem pemerintahan parlementer yang terbungkus oleh sistem presidensial. Sebab parlemen menjadi lebih kuat dari presiden, serta seolah “dihilangkannya” fungsi MPR karena majelis tersebut bukan menjadi lembaga tertinggi negara lagi. Dari sinilah lahir pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, selain memilih figur “orang” di pileg bukan cukup gambar saja.

Nah, atas fenonena tersebut sentimen pasar negatif lebih mengedepan daripada mencari kebersamaan. Dana untuk melakukan pesta demokrasi akan jauh lebih besar daripada pemilu model dulu, lantaran ekspresi euforia politik lebih kuat ketimbang pemilu sendiri. Besarnya dana bukan saja anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah sekaligus yang ditanggung oleh perorangan / caleg. Belum lagi munculnya kembali wabah baru politik yaitu monney politik menjadi tak dapat dihindari lagi karena selain tak kasat mata juga juga sulit terajustivikasi oleh hukum. Inilah sebenarnya yang pantas direnungkan oleh siapapun : haruskah kita kembali pada sistem Demokrasi Pancasila yang murni dan konsekuen ? Artinya, kita kembali pada Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana sebelum teramanden dulu. Jika kita mau jujur, cenderung sering terkoyaknya persatuan bangsa ini justru setelah amandemen UUD 1945. Memang, undang-undang dasar harus dinamis. Tetapi jika dinamika itu “kebablasan” kita cenderung lebih menikmati remah-remah tragika daripada unsur kemanfaatannya. Nah…

Tentang Penulis : Hery Santoso adalah pemerhati masalah sosial, politik dan budaya tinggal di Blitar Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article