Mungkin Pengemis itu Kekasih-Nya

Citra Dara Trisna
6 Min Read
Ilustrasi pengemis, gambar newsgram.com
Ilustrasi pengemis, gambar newsgram.com

Jurnalfaktual.id, – Ia habiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengembara dan puasa. Tak ada yang tahu pasti nama pemuda itu. Konon ia biasa dipanggil Zamiyal. Hanya karena penampilannya yang nampak seperti gelandangan membuat tak seorang pun percaya dia adalah kekasih Tuhan. Mungkin itu juga yang membuatnya hidup terlunta-lunta dan terus mengembara.


Di suatu malam yang lapar, Zamiyal muda berjalan dengan gontai ke rumah Nabi Yaqub. Ia ketuk pintu rumah Yaqub dan memelas minta makan. Yaqub yang kebetulan usai makan bersama seluruh keluarganya mengacuhkan ratapan Zamiyal. Padahal Yaqub masih punya sisa makanan yang sebenarnya bisa diberikan. Merasa diacuhkan, ia meninggalkan rumah Yaqub dalam keadaan lapar. Dalam keteraniayaan itu, ia terus berjalan di tandusnya padang gurun.


Setelah kedua lututnya menyentuh tanah, ia menangis dan mengadu pada Tuhan. Aku datangi Nabi-Mu dan meminta sisa makan dan ia mengacuhkanku. Malam ini aku tidur dengan perut kosong, sementara Nabi-Mu tidur dengan kenyang.


Mungkin karena suara kekasih selalu terdengar lebih keras, lebih nyaring. Kekasihnya yang maha mendengar semua suara, bahkan yang tersimpan di dalam hati, menjawab doa Zamiyal.


Tuhan menegur Yaqub. Seperti halnya suara kekasih, hukuman untuk kekasih-Nya selalu datang lebih cepat dan (terasa) berat. Beberapa tahun usai kejadian itu, hukuman pun tiba.

Hukuman tetap harus diterima Yaqub, yang juga kekasih-Nya. Ia dipisahkan dari putra kesayangannya, Yusuf. Rasa kehilangan ini membuatnya larut dalam kesedihan mendalam. Hampir setiap malam ia habiskan waktunya menangisi putra tercintanya. Bertahun-tahun menangis membuat matanya memutih dan buta.


Harus sedemikian beratkah hukuman untuk kekasih Tuhan? Lalu hukuman macam apa yang bakal diberikan pada yang bukan kekasih?


Berdasarkan hitungan mripat saya yang tingkat kebenarannya hanya nol koma sekian persen, kesalahan Yaqub ada dua: membiarkan seseorang kelaparan dan melihat seseorang berdasarkan pakaian. Dan mungkin di mata Tuhan, kesalahan Yaqub bisa lebih dari dua.
Puluhan tahun terpisah dengan anak kesayangan bukanlah hukuman yang ringan. Bahkan Yaqub harus menebus kehilangan itu hingga buta. Sekali lagi, untuk kesalahan yang — mungkin bagi kita — ringan: mengacuhkan orang kelaparan. Sesuatu yang mungkin begitu biasa kita lakukan dan terkadang dengan perasaan bangga.


Masih muda kok ngemis! Dia itu masih kuat mengayuh becak! Atau dengan kata-kata semacam ini: Memberi pengemis bocah itu tidak mendidik, menjadikan mereka malas.


Apa ada jaminan kita bisa memastikan dari berpuluh, beratus dan ribuan seseorang yang memelas minta sedekah makan pada kita itu, salah satu di antara mereka bukan kekasih-Nya? Kalau mengacuhkan satu orang kekasih harus diganjar derita sebagaimana yang dialami Yaqub, bagaimana dengan hukuman mengacuhkan tiga, empat, sepuluh dan seratus kekasih-Nya?


Mari diam-diam kita hitung, berapa orang yang pernah kita remehkan dan kita nilai dengan tidak adil hanya dari melihat penampilannya? Apakah derita seumur hidup cukup untuk menebus kelalaian yang kita lakukan dengan bangga?


Sudah tidak memberi, kita masih menghina dan bahkan menguliahi orang yang hendak memberi. Menuduh orang-orang yang hendak memberi gelandangan dengan tuduhan menjerumuskan dan tidak mendidik.


Kita memang tak dapat mengacuhkan adanya pengemis yang berangkat dari kemalasan hidup. Meski ada saja riset yang menyebut pengemis di Indonesia bukan murni karena faktor ekonomi. Kita juga sering mendengar ada orang yang berkata begini: mengapa harus memberi pengemis, di kampung rumah mereka megah.


Tapi, riset tetaplah riset. Riset hanya mampu menembus dan mendata di kulit luar. Ia terbatas untuk masuk sampai ke ruang paling sepi di hati manusia. Riset dan pengalaman hidup manusia yang paling empiris tak akan menembus wilayah-wilayah suwung spiritualitas manusia.


Sampai hari ini saya masih ingat wejangan orang kampung: hidup manusia hanya serangkaian perjalanan menuju satu tingkat ke tingkat lainnya. Di tiap tingkat itu, manusia akan bertemu dengan Khidir. Sedangkan untuk orang Jawa, di tiap pencapaian itu mereka akan ditemui Gatholoco. Konon, pertemuan dengan mereka selalu dengan wajah yang paling kita benci dan tidak kita inginkan.


Lagi-lagi kita tak dapat memastikan apakah pengemis dan gelandangan yang hadir di hidup kita bukan Khidir, bukan Gatholoco dan bukan kekasih Tuhan yang sedang ingin mengujimu. Tapi, mungkin manusia modern hari ini menganggap kisah Yaqub hanya dongeng. Dan ini terbukti dengan berinisiatif DPR mengesahkan RUU KUHP.


Apakah upaya pemiskinan jutaan rakyat sama sadisnya dengan membiarkan seorang kekasih terlunta-lunta kelaparan? Apakah memeras gelandangan yang tak jelas hidupnya juga punya potensi mendatangkan tulah mengerikan di kemudian hari?

Seandainya dari sekian gelandangan yang kelaparan itu ada puluhan dan bahkan ratusan kekasih-Nya, tapi nyatanya saya tak kunjung melihat hukuman tiba. Atau memang dari sekian ratus juta rakyat, tak satu pun dari kita adalah kekasih-Nya?


Entahlah! Kali ini mripat saya tak sampai ke sana.

Jakarta, September 2019
Tentang Penulis: Citra D. Vresti Trisna, Esais Indonesia dan Jurnalis lepas.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article