Radikalisme dan Phobia

Citra Dara Trisna
7 Min Read
Ilustrasi Radikalisme (Gambar: Istimewa)
Ilustrasi Radikalisme (Gambar: Istimewa)

”L’histoire se répète,” kata pepatah Perancis

Jurnalfaktual.id, – Pada awalnya saya menolak hal ini. Mungkin karena saya tak percaya ”pengulangan” itu ada. Karena, bagi saya, yang ada hanya ”pola (yang hampir) sama”. Tapi, pola-pola inilah yang terus muncul dengan caranya yang khas. Seperti lagu lama di kaset baru.

Seperti ketika di suatu siang, seorang kawan mengabari saya: seorang menteri ditusuk, pelakunya tertangkap. Beberapa saat setelah itu, seorang presiden berpidato lantang: berantas radikalisme! Saat itu, Islam, sebagai agama, disebut dengan malu-malu oleh media-media pemakan rilis kepolisian. Bahkan ada berita yang mengkomparasikan dua aspek yang berlawanan: aktivitas sholat dan penusukan. Berita macam apa ini? Bisa ditebak, bagaimana muara berita semacam ini.  

Sebuah momen panas terkadang kerap membuat media jadi ceroboh. Belum lagi ditambah tuntutan keharusan untuk segera tayang membuat jurnalis tak banyak waktu untuk menimbang. Redaktur tak punya banyak waktu untuk ragu dan bijaksana pada sebuah peristiwa. Terlebih dalam konteks jurnalistik, berita jadi timpang. Suara terduga pelaku hilang. Suara mereka hanya diwakili oleh spekulasi dan syak wasangka. Dan pelajaran berharga tentang kekejaman mengaitkan agama dengan ”terorisme” boleh dilupakan sejenak, setidaknya sampai berita itu jadi tak laku lagi. 

Pola-pola semacam ini mengingatkan saya pada tragedi 11/9 di New York City, Amerika. Usai kejadian itu, sebuah bukti ala kadarnya (versi pemerintah) segera ditemukan. Presiden Bush segera menyerukan pesan perang melawan terorisme. Ya, harus sesegera mungkin. Ketika ingatan tentang tragedi belum benar-benar dingin di kepala publik, pidato harus segera disampaikan. Karena, akal publik untuk menalar peristiwa tak boleh dibiarkan mengalir jernih. Untuk itu, corong-corong pemerintah harus kor dengan lagu yang sama, terus menerus, dari satu sumber, dan berulang. Segala spekulasi atas peristiwa harus dikontrol dari satu pintu.  

Pesan itu terus ditayangkan sampai rakyat Amerika percaya dan membenarkan segala hal yang dilakukan pemerintah. Usai teriakan lantang itu Irak digulung. Setelah Irak habis, Islam jadi bulan-bulanan beraneka tudingan. Dan proses selanjutnya adalah Arab spring—sebuah proyek besar—dieksekusi tanpa ragu. Setelah korban jatuh dan negara-negara Islam tinggal ampas, warga Amerika merasa perlu mengambil jarak dari pemerintahnya yang culas. Kemanusiaan dan akal sehat yang sempat terbendung, perlu diberi ruang tersendiri agar berjalan sebagaimana mestinya. 

Di saat-saat seperti itu, protes hanyalah rasa sesal publik yang tak menyelesaikan masalah. Lagi pula serangkaian protes tetap tak meninggalkan diskriminasi atas warga muslim di Amerika. Tentu saja diskriminasi dan phobia ini hanya salah satu sukses besar dari sumber penyeru perang melawan terorisme dan standar ganda istilah radikalisme.

Di berbagai belahan dunia, juga terdapat pola-pola yang sama. Ada kekejaman yang memakan banyak korban. Tak lama berselang, pemerintah sebuah negara menyeru: perang melawan teror dan radikalisme. Sialnya, gambaran atas teror dan radikalisme selalu dapat ditebak hadir dalam bentuk (seolah-olah) islam. Dan sebuah undang-undang disahkan, dana digelontorkan. 

Tentu saja, Indonesia tak boleh ketinggalan. Sebuah bom meledak. Dan pemerintah menyerukan perang melawan teror. Gambaran teror yang diperangi pun sama. Publik tak pernah dijelaskan dengan benar apa itu teror dan radikalisme. Mereka hanya dibiarkan melihat (seolah-olah) simbol islam. Kata radikalisme yang disebut dengan lantang oleh penguasa memang tak boleh berdiri sendiri. Agar kata-kata itu jadi masuk akal, dibutuhkan sebuah dalih. Dalih itu harus tepat dan dapat diterima akal sehat publik. 

Publik pun tak boleh terlalu mempersoalkan apa itu makna radikalisme. Selama ini, pandangan sebelah mata atas kelompok-kelompok islam di pesantren dianggap bukan radikalisme dalam bentuk yang lain. Membiarkan kelompok-kelompok memelihara dendam lantaran tak mendapatkan akses dan hak hidup yang layak juga dianggap bukan bagian dari keculasan pemerintah yang meradikal dan mendarahdaging. 

Kelompok-kelompok semacam ini memang terkesan dipelihara. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diledakkan amuk mereka di momentum yang tepat. Mereka harus diasingkan dengan phobia yang terlanjur ada lantaran seruan pemerintah untuk perang melawan teror.  

Memang tidak sedikit pihak-pihak yang mencoba meluruskan pandangan publik tentang apa itu radikalisme. Tidak sedikit pula pihak yang berupaya menjelaskan bila phobia atas kelompok dan agama tertentu juga bagian dari kekejaman dan sebuah teror—dalam bentuk yang lain—yang dilakukan masyarakat. 

Kalau dulu, usai peristiwa 11/9, kita hanya perlu mematikan televisi dan radio agar phobia dan pandangan tak adil tidak sampai meracuni akal sehat. Tapi, sekarang ajakan berpikir picik dan phobia sudah sampai di smart phone. Dan akal sehat benar-benar tak diberi ruang.

Namun bila seruan atas radikalisme dan ajakan perang melawan teror itu diajarkan di Indonesia, saya tak begitu khawatir. Upaya mendidik dan mengontrol manusia Indonesia itu butuh waktu. Ada proses berliku dan butuh upaya lebih untuk meyakinkan. Kalau ada seorang menteri ditikam dan seruan perang melawan radikalisme disuarakan, mereka bisa dengan tenang menganggap itu sebagai dagelan tak lucu. 

Ada pula yang menganggap setiap penangkapan atas terduga teroris oleh pihak kepolisian hanya sebagai upaya pertanggung jawaban atas dana perang melawan teror yang terlanjur digelontorkan. Itulah mengapa saya katakan butuh upaya lebih. Maka tidak heran bila pihak-pihak yang terang-terangan menganggap penusukan Wiranto adalah drama maha konyol dan murahan ditangkap satu per satu. Mereka dipaksa meminta maaf dan mengklarifikasi kalau tidak ingin dikurung. 

Lalu, saya coba bertanya pada diri saya sendiri: apakah saya percaya dengan apa yang saya lihat berulang-ulang di media soal penusukan Wiranto? Oh, tentu saja saya sangat percaya itu beneran dan bukan guyon. Kasihan kan Pak Wiranto jadi korban seperti itu. Ayo-ayo pemerintah, jangan setengah-setengah dong kalau bikin seruan melawan radikalisme. Hidup pemerintah!

Citra D. Vresti Trisna

Jakarta, Oktober 2019

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article