Kalah, Kediaman dan Rasa Percaya

Citra Dara Trisna
7 Min Read
Ilustrasi gambar (bernas.id)
Ilustrasi gambar (bernas.id)

jf.id – Kata media: Wakil Presiden Jusuf Kalla menasihati dua calon berduel di pilpres 2019 agar lapang dada menerima hasil pilpres. Sebelum Kalla berkata demikian, saya pernah melakukan kesalahan: percaya demokrasi adalah satu-satunya akal sehat di era sontoloyo. Mengapa perlu percaya?

Mungkin ketimbang dikutuk Gramsci lantaran ketidakpedulian. Tapi media tetap menulis, menganalisa, memprediksi politik dan jalannya demokrasi di Indonesia. Tentu saja ada ”pasar”; ada pihak yang peduli. Ada pihak di luar pelaku politik yang butuh percaya. Menganggap demokrasi sebagai jalan lurus, juru selamat dan mensyukurinya sebagai puncak pencapaian manusia.

Apa Indonesia butuh Sokrates yang berakhir dengan racun rezim demokrasi di Athena? Lalu orang-orang mengambil jarak dari ilusi optik yang diciptakan demokrasi? Sudah berapa Sokrates yang mati di Indonesia dan dihabisi dingin tembok penjara? Kalau dalam konteks Indonesia, berapa banyak pihak oposisi pemerintah yang disublimkan penjara? Apa lantas rakyat jadi sadar? Dan sementara ini saya anggap rakyat Indonesia adalah penonton yang mudah terbelah dan tak peduli. Bila benar orang sekaliber Kalla berkata demikian, mungkin saya perlu meralat keyakinan saya. Dan pada akhirnya politik dan demokrasi tidak lebih dari bualan yang dikira serius.

Mungkin sekelas mahasiswa tingkat menengah pun tahu: menerima hasil pilpres adalah sebuah proses panjang. Di tengah bercak-bercak kecurangan yang tak diakui kedua belah pihak dan netralitas penyelenggara pemilu yang koyak, menerima keputusan kekalahan bukan hal yang mudah.

Seperti halnya kekalahan, pemilu di negara demokrasi bukan sesuatu yang sederhana pula. Ada spekulasi dan judi. Balas budi yang membuat rakyat kian jauh dari cita-cita yang diperjuangkan. Rakyat kian terasing dan tak lebih hanya sekedar diatasnamakan. 

Di tanggal 21 Mei, seperti yang sudah saya duga. Keputusan KPU sudah datang sejak dini hari. Dan badai olok-olok terjadi. Namun, yang membedakan adalah satu pihak yang aktif menyerang dan satu pihak diserang, dibully habis. Tiba-tiba mulut jadi seragam: kotor seperti tak kenal sekolah. Tapi, mungkin ini wajar: tugas capres adalah menang, tugas KPU adalah panitia penyelenggara ala kadarnya. Hanya itu saja, tidak lebih.

Sedangkan tugas Bawaslu adalah jadi centeng yang gagah sambil setengah mati menahan ngantuk karena kekenyangan. Apa badai pasti berlalu usai pemilihan? Tidak!  Badai berikutnya datang dari pihak yang kalah. Dalam hal ini ada dua pihak yang terluka: capres yang gagal dan separuh rakyat. Saya ingat senyum Prabowo usai mendengar putusan MK. Di sana saya lihat kengerian di balik kediaman yang sunyi. Mungkin saya lebih senang Prabowo ”marah”. Soal bagaimana ia melampiaskan kemarahannya, itu urusan dia. Mengapa marah? Kemarahan itu mudah ditakar. Sebagaimana orang yang turun ke jalan lantaran kesal dengan kecurangan pemilu. Sisa-sisa energi dari rasa marah akibat kecurangan pemilu dan penolakan hasil dari KPU—sesuatu yang dianggap people power sebagaimana yang dicemaskan rezim—telah berhasil dipadamkan pemerintah.

Dan memang begitu tugas pemerintah yang cerdik: sigap memberantas kemarahan yang prematur. Tapi, sepertinya tidak dengan kediaman. Kemarahan memang sebuah puncak, tapi selalu dapat diprediksi alternatif untuk meredakannya. Kediaman akibat diliputi rasa marah itu sebaliknya dan selamanya akan menjadi jurang yang gelap dan dalam. Jalan tiada ujung yang mengerikan.Sekali lagi, kita perlu menengok arti ”diam” dalam sejarah berbangsa-bernegara kita. Dalam hal ini, politikus, aktivis dan rakyat telah belajar banyak di masa orde baru: 32 tahun dipecundangi ”kediaman” Soeharto; tanpa perlawanan, tanpa sempat minta ampun. Bila ada aktivis yang mengata-ngatai Soeharto sebagai orang bodoh, saya ingin katakan: hanya orang maha bodoh yang dipimpin orang bodoh.  Terus terang, saya sudah tak sabar menunggu apa yang terjadi lima tahun mendatang. Apakah kelak rakyat yang sudah kapok dengan ”pemanis buatan” Jokowi bakal mempercayakan Indonesia pada Prabowo.

Atau mungkin saat ini sudah banyak yang berpikir demokrasi macam apa yang memenangkan pihak yang justru anti demokrasi dan tidak pro pada kebebasan bicara—yang ironisnya dari partai dengan label demokrasi. Bagi saya, baik Jokowi atau Prabowo yang menang, tetap mengingatkan saya pada tahun 1933 di Jerman. Hitler menang dari sebuah pemilihan umum yang demokratis. Pada saat itu rakyat Jerman membiarkan Hitler memimpin dan mendapat holoclaust sebagai tulah dari kecerobohan.  

Saya pun tak dapat memastikan apakah separuh rakyat yang juga mengolok-olok Prabowo berpikir dan mengandaikan bagaimana bila lima tahun mendatang Prabowo menang. Siapa yang pertama kali ia urusi: pelampiasan dendam atau kemakmuran rakyat?  Lalu, bagaimana dengan Jokowi? Sudahlah, saya tak bisa membayangkan dia serius berpikir soal keterbelahan, soal dendam sejarah, kecuali dagelan formalitas salam tiga jari sebagaimana 2014 silam. Dia bisa berjuang untuk tidak lagi jadi ”anak mama” yang penurut saja sudah bagus. Dan saran saya untuk pemenang: jadilah pegadaian yang baik. Bila tak bisa menyelesaikan masalah, minimal jangan menambah masalah.Bila selamanya sejarah rakyat Indonesia harus dipimpin rezim bebodoran, lalu bagaimana dengan saya yang terlanjur tidak percaya?

Bagaimana nasib separuh rakyat yang terlanjur catu hatinya? Jika demokrasi masih sesuatu yang perlu dianggap suci dan mesti dipercaya, bagaimana mesti mempertahankan tatanan demokrasi yang menjamin hak bersuara? Atau setidaknya mempertahankan kontrol pihak oposisi tetap ada dan tidak berakhir di penjara. Bisakah kita berharap rechtsstaatlichkeit—pengakuan bila hukum berlaku sama bagi semua pihak dan adanya penegak hukum yang berwibawa—diselenggarakan? Tapi, bila pihak yang melantik aparat penegak hukum—yang seharusnya paling banyak mengawasi pemerintah—masih dilantik oleh pemerintah itu sendiri, saya tidak pernah berharap banyak. Setelah gagal, dimungkinkan untuk terus maju dan gagal dengan lebih baik; alih-alih, ketidakpedulian semakin menjerumuskan kita ke dalam rawa bodoh, kata Zizek. Ketidakpedulian adalah bobot mati sejarah, kata Gramsci. Ah, itu kan menurut anda. Kalau saya terus tidak percaya, kamu mau apa, hah? 


Senin Wage, 8 Juli 2019

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article