Nasib Penulis, Rakyat dan Jokowi

Citra Dara Trisna
9 Min Read
Gambar Ilustrasi pemerkosaan Intelektual (gambar: sweet.com)
Gambar Ilustrasi pemerkosaan Intelektual (gambar: sweet.com)

Jurnalfaktual.id, – Mengapa sekarang jarang menulis soal kebobrokan Jokowi? Tanya seorang teman. Saya tidak menggubris kata-katanya. Dibayar berapa kamu? Atau kamu sudah jadi buzzer gratisan? Kali ini dia mulai mencecar. Saya tak menjawab tudingannya. Hanya meringis dan membatin.


Menulis soal Jokowi itu mudah. Bahkan teramat mudah. Mungkin hanya butuh waktu beberapa menit untuk dapat bahan untuk menulis kritik soal dia. Apa selalu keburukan? Ya, tidak. Bisa saja kepolosannya.


Soal mantan Wali Kota Solo itu, saya jadi ingat perumpamaan seorang teman. Kalau anak sudah dewasa dan dia berak di celana, kita boleh menempelengnya.


Tentu saja apa yang dikatakan kawan saya dapat diteruskan menjadi seperti ini: kalau dukun tiban yang berak di celana, (mungkin) itu wajar! Orang yang melihat bisa menganggap itu bagian ritual kesaktian atau pancaran cahaya kewalian. Kita juga menganggapnya sebagai bentuk kepolosan balita. Tapi masalahnya, Jokowi itu termasuk balita, dukun tiban atau wali yang berbuat sesuatu tanpa cela? Silahkan menilai sendiri.


Soal Surpres revisi UU KPK, misalnya. Apakah dalam hal ini Jokowi hanya bodoran dalam pentas dangdut perpolitikan Indonesia? Apakah Jokowi hanya anak kecil yang takut dikecilkan ruang geraknya oleh DPR — meminjam istilah Gus Dur — rombongan taman kanak-kanak. Atau mungkin ini hal wajar yang biasa dialami para rombongan pencuci air kaki pemimpin partai?


Terlalu banyak pertanyaan dan spekulasi di tengah kondisi berduka lantaran KPK dikerdilkan. Sementara rakyat sebagai puncak kekuasaan tertinggi (tapi rendah hati); juga bos yang sebenarnya, wajib tahu, mau dibawa ke mana nasib mereka. Mereka harus tahu tudingan macam apa yang pantas disematkan ke mantan Wali Kota Solo ini. Sebelum tudingan disematkan, tentu perlu ada analisis mendalam yang perlu disampaikan agar tudingan itu masuk akal. Mungkin, itu sebabnya para analis dan penulis punya peluang untuk ditunggu dan dinantikan kata-katanya.


Kalau media dan para penulis tak segera punya jawaban, rakyat yang akan bersikap. Dalam hal ini ada tiga jenis rakyat. Yang tidak pro Jokowi akan membuat tudingan sendiri sesuka hatinya.

Sementara yang kedua adalah yang sudah cinta buta pada Jokowi, tentu akan membela mati-matian. Begitu juga orang yang sudah ikut kenduri dan makan uang dari lingkar-lingkar kekuasaan, tentu saja harga diri mereka bisa digadaikan. Nurani bisa disimpan dulu dalam kulkas sejenak untuk membenarkan segala kelakuan Jokowi. Dan yang bahaya adalah kelompok rakyat yang ke tiga: rakyat yang dalam diamnya mereka meratib.


Soal sikap dan tudingan yang pantas untuk Jokowi, kita bisa melacaknya dari serendah-rendahnya indikator zaman: internet. Di sana kita bisa lihat bila caci maki untuknya sudah tak terbilang banyaknya, juga pujian berlebihan.

Kurang apa lagi? Yang ingin saya tanyakan pada kawan saya adalah: apakah pendapat saya juga masih dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan rakyat dalam menilai? Apa pendapat saya juga masih dibutuhkan untuk lebih memantapkan makian ke Jokowi? Terus terang saya khawatir jadi terjebak menggarami lautan.


Kalau yang dicemaskan teman saya adalah rakyat, mungkin itu juga berlebihan. Karena, saya yakin, dizalimi seperti apapun rakyat akan tetap kuat. Semakin teraniaya, semakin manjur doa mereka. Semakin mereka tidak jadi prioritas di hati dan kepala pemimpinnya, maka semakin terlatih mental mereka. Nampaknya, nasib rakyat Indonesia, beberapa periode kepemimpinan tidak akan berubah. Mereka bakal terus dibawa ke mulut jurang perbudakan baik dari berbagai pihak.


Sedangkan untuk penulis, nasib mereka memang tidak pernah jelas. Kalau dulu, penulis hanya berhadapan dengan karung goni. Berani macam-macam dan menulis yang tidak dikehendaki, tinggal tunggu waktu dimasukkan dalam karung lalu dibuang. Kalau sekarang, keadaan serba membingungkan.


Jokowi memang punya bakat untuk jadi Orba, meski tidak sepenuhnya. Kalau dia punya peluang memimpin lebih lama lagi, ia baru bisa total jadi Orba. Tapi, di sisi lain, di sebalik sikapnya yang sebenarnya anti kritik, ia juga punya bakat untuk pura-pura tuli. Ia merasa masih diuntungkan oleh keterbelahan rakyat yang dulu membelanya. Diuntungkan oleh kuatnya rakyat yang tak bergeming meski diperlakukan tidak adil.


Meski begitu, para penulis dan media juga bakal mengalami ancaman pembungkaman. Sikap taik kucing semacam ini pun bakal dituangkan ke dalam pasal: penghinaan presiden, pemerintah, pengadilan, agama, kekuasaan umum atau lembaga negara, hasutan melawan penguasa, penyiaran berita bohong dan tidak pasti, pencemaran nama baik dan orang mati. Beragam hal tidak masuk akal ini bakal menjerat para penulis dan media. Padahal, pada dasarnya penulis dan awak media juga bagian dari rakyat yang sialnya tidak dapat menuntut pemerintah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan.


Meski begitu, saya tidak pesimis dengan beragam upaya pembungkaman ini. Karena, bagi saya, ancaman paling ngeri yang bakal dialami penulis adalah kelimpahruahan informasi, berita buruk dan beraneka sandiwara taik kucing. Bila kelimpahruahan objek menjadikan manusia konsumtif, lantas kelimpahruahan informasi bakal membuat penulis jadi apa?


Salah satu tragedi mengerikan bagi penulis adalah menyaksikan banyak hal berlalu begitu saja tanpa sempat ditulis. Bukan karena penulis itu telah jadi tumpul dan tidak kritis. Tapi, lebih mengerikan dari itu! Ibaratnya, bila seseorang dipaksa makan kotoran ia akan muntah, tapi lambat laun ia akan bisa menerima kotoran itu sebagai hidangan yang lezat. Dan saya pikir, penulis-penulis satir lahir dari kondisi semacam ini.


Terus terang, saya sedikit lega makin banyak penulis-penulis satir di Indonesia. Karena, bagi saya pribadi, penulis-penulis semacam inilah yang membuat rakyat tetap tenang. Penulis semacam ini semakin membantu rakyat guna memantapkan dirinya menjadi sebenar-benarnya manusia Indonesia. Ya, manusia Indonesia adalah jenis manusia yang mampu menganggap enteng persoalan dan bahkan melihatnya sebagai kelucuan. Kalau dalam istilah Jawa: mupus.


Terlebih lagi, saya percaya, baik-buruk yang menimpa Indonesia adalah anugerah sesuatu yang Tuhan anggap paling baik. Para pembaca tenang saja, saya tidak bermaksud menuduh Jokowi sebagai trouble maker paling lucu yang diberikan untuk rakyat Indonesia. Sejenis manusia yang dilahirkan untuk menghibur manusia Indonesia. Sedangkan rakyat Indonesia, adalah penonton dagelan yang terkadang ikut terbawa emosi. Meski, untungnya mereka tidak sampai turun ke panggung dan mengganti para pemainnya.


Dalam penerawangan saya, begitulah nasib Jokowi: terus jadi tontonan. Menghadirkan beragam kejutan tak menyenangkan di panggung drama. Dia bakal jadi aktor (pencitraan) yang baik, karena masih merasa separuh rakyat Indonesia mencintainya. Dan separuh rakyat yang benci padanya dianggap sebagai hatters yang kapan-kapan perlu dibungkam mulutnya yang menganggur.


Dan penulis, mereka memang terlahir untuk menghadirkan kembali dimensi-dimensi lain dari pertunjukan. Agar, usai pertunjukan drama, rakyat dapat membaca lagi apa yang baru mereka tonton lalu sejurus kemudian tersenyum, mengambil hikmah, menjadi lebih kuat kuat dan bijaksana.


Baiklah, besok akan saya buat lagi kritikan untuk Jokowi! Semoga teman saya puas. Amin.

Jakarta, Sepetember 2019
Tentang Penulis: Citra D. Vresti Trisna, Jurnalis Lepas, Esais Indonesia.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article