Mahasiswa, Antara Kritik dan Kebabblasan Etik

Syahril Abdillah
5 Min Read
Artinya, yang Penting Negara Tidak menaikkan harga Tuak (minuman keras), (Foto: Muh Rizwan)
Artinya, yang Penting Negara Tidak menaikkan harga Tuak (minuman keras), (Foto: Muh Rizwan)

Nusa Tenggara Barat,- Ragam Pristiwa dan cara pandang mahasiswa di Nusa Tenggara Barat perlu dipertanyakan. Pertanyaan mengenai cara pandang ini bukan untuk menjustifikasi bahwa Mahasiswa tersebut tidak mempunyai etika dalam menyampaikan pendapat, akan tetapi sebagai Mahasiswa, menyampaikan pendapat mesti dengan cara terdidik dan terukur, sebab mahasiswa dalam fungsinya sebagai agen of change dan agen of control, tentu harus bisa mengontrol diri, bukan malah menyebutkan atau menulis kata-kata dan kalimat kotor dalam menyampaikan pendapat.

Hal itulah yang terjadi dengan Mahasiswa di Nusa Tenggara Barat pada saat menggelar aksi di depan Gedung DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kamis, 26/09/2019.

Menyampaikan pendapat itu sah secara hukum dan dilindungi oleh Undang-Undang, akan tetapi tidak ada salahnya dengan cara yang lebih baik, serta lebih bijak. Di depan Kantor DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tampak, Mahasiswa yang sedang membawa sebuah tulisan dalam bahasa Suku Sasak yang ditulis “Nganc*t Yakm Larangkh, Mok Pirankh Yak Bedoe Anakh” yang artinya “berhubungan sex negara larang, lalu kapan saya punya anak”.

Dari tulisan yang dipegang oleh dua Mahasiswi tersebut, jika dipandang dalam sudut narasi, sungguh, nama mahasiswa dalam perspektif yang miring merupakan tulisan yang tidak mencerminkan sikap insan terdidik dan edukative.

Dalam tulisan lain yang dibawa oleh Mahasiswa yang demonstrasi juga menyebutkan “Pepek Kance Betok Ndekn Negare Epekn”, artinya “Penis dengan Vagina bukan negara yang punya”. Dari tulisan ini, tampak jelas, bahwa mainstream berfikir Mahasiswa patut kita dipertanyakan, apakah mahasiswa hanya berfikir tentang isi resleting celana atau mau mengkritik, atau hanya sekedar iseng?

Moral mahasiswa dari tulisan-tulisan yang dipampang, yang menyebutkan kata-kata yang kurang pas untuk dibaca, jelas khalayak masyarakat sudah bisa menerka dan menebak bahwa, terdapat stigma dan cara berfikir mahasiswa yang menulis kalimat tersebut yang konslet, bukankah lebih indah jika kata-kata #Bet*ok# diganti dengan alat kelamin ? Atau hanya menyebutkan tentang keberatan Mahasiswa terhadap RUU KUHP yang mereka rontak?

Sebagai catatan, sebelum mahasiswa yang “menulis kalimat” tersebut, menjalankan peranannya sebagai agen of change dan agen of control, terlebih dahulu mesti bisa merubah “change” dan mengkontrol “control” dirinya sebelum merubah dan mengkontrol negara.

Sebagai analisis bersama, sepertinya di tatanan kemahasiswaan diperlukan lagi adanya pendidikan etika bagi mahasiswa. Sejauh ini, Mahasiswa secara mutlak bebas mengeluarkan pendapat, akan tetapi Mahasiswa juga sepantasnya diberikan batasan etik dalam kebebasannya menyampaikan pendapat.

Dari sudut pandang Lapangan, jelas ini sudah menciderai perjuangan Mahasiswa, tempo dulu, mahasiswa menyanyikan Yel-yel “Buruh Tani Mahasiswa”, sekarang Mahasiswa hanya sekedar bercerita dan menulis narasi seolah-olah Aksi yang mereka gaungkan “aksi menolak RUU KUHP” terkesan tidak beretika sama sekali.

Manusia yang dipandang sebagai pembawa perubahan jelas ada pada mahasiswa, akan tetapi jika yang disebut hanya pada tatanan Gendre yang menjadi slogan aksinya, maka perubahan arah bangsa dipastikan downstairs bukan upstairs. Tempo dulu, mahasiswa demonstrasi karena kebijakan Presiden yang dirasa tidak pro terhadap kepentingan kebangsaan yang cendrung otoriter, sekarang, Negara Republik Indonesia di protes hanya karena RUU KUHP tentang “selangkangan” kata demonstran.

Lucu bukan? Jika kejadian yang demikian terus berjalan, patut dipertanyakan, apa yang bisa dirubah oleh mahasiswa sebagai agen of Change? Serta apa yang bisa di kontrol oleh mahasiswa sebagai agen of control?

Menurut Muhammad Shalihin, aktivis Mahasiswa NTB menyayangkan adanya pamflet yang terkesan mempunyai narasi “Prn” ketika menyampaikan pendapat.

“sebagai orang yang terlahir dari gerakan jalanan, saya sangat menyayangkan teman-teman mahasiswa yang melakukan gerakan menyampaikan pendapat dengan tulisan yang terkesan “Prn“, tentu menurut perspektive saya, tindakan ini sudah menciderai gerakan jalanan dalam menyampaikan pendapat, karena dalan hal menyampaikan pendapat dimuka umum, kita juga terikat dengan aturan-aturan main, bukan seenak jidat” tutur Shalihin.

Terkait dengan Pamflet serta perangkat aksi yang kurang tepat dalam pandangan etik. Muhammad Shalihin meminta kepada Korlap dan Kordum Aksi untuk mempertanggung jawabkan agenda aksi tersebut.

“mekanisme aksi jelas, pamvlpet dan apapun atribut aksi itu sudah di sepakati dalam settingan aksi, sebab termasuk dalam perangkat aksi, sehingga apapun yang terjadi, Korlap dan Kordum yang bertanggung jawab penuh, akan tetapi kayaknya, pamvlet dan poster-poster tersebut dianulir oleh Korlap dan Kordum”. cetus Shalihin.

Muh Rizwan

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article