Kemiskinan Ekstrim di Indonesia: Apakah UMR Bisa Menjadi Solusi?

Rasyiqi
By Rasyiqi
7 Min Read

jfid – Indonesia, negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, diprediksi akan mengalami peningkatan kemiskinan ekstrim pada tahun 2024. Menurut Bank Dunia, hampir 7 juta warga Indonesia akan hidup di bawah garis kemiskinan ekstrim, yang ditetapkan sebesar $2,15 per hari.

Angka ini jauh lebih tinggi dari penghitungan pemerintah, yang menggunakan standar kemiskinan ekstrim yang berbeda dari standar dunia.

Pemerintah Indonesia menghitung kemiskinan ekstrim berdasarkan pendapatan harian rata-rata sebesar Rp 13.538, atau sekitar $0,94. Dengan standar ini, hanya sekitar 0,5% penduduk Indonesia yang tergolong miskin ekstrim.

Namun, banyak pihak yang meragukan validitas metode perhitungan pemerintah, yang dianggap terlalu rendah dan tidak mencerminkan kondisi nyata.

Salah satu kritik yang muncul adalah bahwa standar kemiskinan ekstrim pemerintah tidak mempertimbangkan biaya hidup yang bervariasi di berbagai daerah.

Misalnya, biaya hidup di Jakarta jauh lebih tinggi daripada di Papua. Oleh karena itu, pendapatan harian yang sama mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar di daerah yang berbeda.

Sebagai alternatif, ada yang mengusulkan untuk menggunakan Upah Minimum Regional (UMR) sebagai patokan untuk mengatasi kemiskinan.

UMR adalah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan kebutuhan hidup layak di daerah tersebut. UMR bervariasi antara Rp 1.810.350 hingga Rp 4.416.186 per bulan, atau sekitar $126 hingga $308.

Dengan menggunakan UMR sebagai patokan, kita dapat menghitung berapa banyak pendapatan yang diperlukan agar orang tidak tergolong sebagai miskin ekstrim. Misalnya, jika kita menggunakan UMR tertinggi, yaitu Rp 4.416.186 per bulan, maka pendapatan harian minimum yang diperlukan adalah sekitar Rp 147.206, atau sekitar $10,25.

Jika kita menggunakan UMR terendah, yaitu Rp 1.810.350 per bulan, maka pendapatan harian minimum yang diperlukan adalah sekitar Rp 60.345, atau sekitar $4,20.

Dengan menggunakan standar ini, kita dapat melihat bahwa jumlah penduduk miskin ekstrim di Indonesia akan jauh lebih besar daripada angka yang diumumkan oleh pemerintah atau Bank Dunia.

Namun, ada juga faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menghitung kemiskinan, yaitu paritas daya beli (PPP).

PPP adalah konsep yang digunakan untuk membandingkan daya beli antara berbagai negara dengan menggunakan kurs mata uang yang disesuaikan dengan harga barang dan jasa.

Dengan menggunakan PPP, kita dapat mengukur pendapatan riil dari suatu negara dengan mempertimbangkan perbedaan biaya hidup dan tingkat inflasi.

Bank Dunia menggunakan PPP untuk menghitung standar kemiskinan ekstrim dunia. Pada tahun 2024, Bank Dunia akan mengubah standar kemiskinan ekstrim dari $1,9 menjadi $2,15 per hari.

Perubahan ini didasarkan pada data PPP terbaru dari tahun 2017. Namun, Pemerintah Indonesia belum mengubah patokan standar kemiskinan sesuai dengan perubahan Bank Dunia.

Hal ini menyebabkan adanya perbedaan dalam perhitungan data kemiskinan ekstrim antara metode yang digunakan oleh Bank Dunia dan metode yang digunakan di Indonesia.

Perbedaan ini dapat mempengaruhi angka kemiskinan di Indonesia dan menimbulkan kontroversi tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur dan menangani kemiskinan.

Menurut perkiraan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin ekstrim di Indonesia pada tahun 2024 adalah sekitar 6,8 juta orang, atau sekitar 2,5% dari total penduduk. Jumlah ini meningkat dari tahun 2023, yang sekitar 6,2 juta orang, atau sekitar 2,3% dari total penduduk. Sementara itu, menurut perkiraan pemerintah, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia pada tahun 2024 adalah sekitar 1,3 juta orang, atau sekitar 0,5% dari total penduduk. Jumlah ini menurun dari tahun 2023, yang sekitar 1,4 juta orang, atau sekitar 0,5% dari total penduduk.

Dengan adanya perbedaan data kemiskinan ekstrim yang signifikan antara Bank Dunia dan pemerintah, muncul pertanyaan tentang siapa yang lebih akurat dan relevan dalam menggambarkan kondisi kemiskinan di Indonesia.

Apakah Bank Dunia yang menggunakan standar dunia yang lebih tinggi dan mencakup faktor PPP? Atau pemerintah yang menggunakan standar nasional yang lebih rendah dan tidak mempertimbangkan faktor PPP?

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak mudah ditemukan. Namun, yang pasti adalah bahwa kemiskinan ekstrim adalah masalah yang serius dan membutuhkan solusi yang efektif.

Salah satu solusi yang mungkin adalah meningkatkan pendapatan minimum bagi pekerja di Indonesia agar mereka dapat hidup layak dan terhindar dari kemiskinan ekstrim.

Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan minimum adalah dengan menggunakan UMR sebagai patokan.

Dengan demikian, pekerja di Indonesia akan mendapatkan upah yang sesuai dengan biaya hidup di daerah mereka. Selain itu, UMR juga dapat disesuaikan setiap tahun berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, penggunaan UMR sebagai patokan juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana cara menetapkan UMR yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak, baik pekerja maupun pengusaha.

Selain itu, ada juga risiko bahwa UMR yang terlalu tinggi dapat menyebabkan inflasi dan pengangguran.

Oleh karena itu, penggunaan UMR sebagai patokan untuk mengatasi kemiskinan ekstrim membutuhkan kajian yang mendalam dan konsultasi yang luas.

Selain itu, juga diperlukan langkah-langkah lain untuk mendukung peningkatan pendapatan minimum, seperti meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, menciptakan lapangan kerja baru, dan memberantas korupsi.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa kemiskinan ekstrim di Indonesia adalah masalah yang kompleks dan multidimensi. Tidak ada solusi yang mudah dan cepat untuk menghapusnya.

Namun, dengan kerja sama dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil, kita dapat berharap bahwa kemiskinan ekstrim di Indonesia dapat berkurang atau bahkan dihilangkan pada masa depan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article