Ketimpangan Kesejahteraan Pekerja di Indonesia: Analisis UMR, KHL, dan Biaya Hidup Antar Daerah

Rasyiqi
By Rasyiqi
12 Min Read

jfid – Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah besaran gaji terendah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja di setiap provinsi di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah menetapkan besaran UMR berdasarkan pertimbangan kondisi ekonomi, inflasi, dan faktor-faktor lainnya.

Namun, apakah UMR sudah mencerminkan kebutuhan hidup layak bagi pekerja? Apakah UMR sudah sepadan dengan produktivitas dan tanggung jawab pekerja? Apakah UMR sudah memperhatikan perbedaan biaya hidup antar daerah? Dan mengapa ada anggapan bahwa gaji UMR itu besar padahal singkatannya adalah upah minimal rakyat?

UMR dan KHL: Apakah Sudah Sesuai?

Salah satu faktor yang menjadi dasar penetapan UMR adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL). KHL adalah standar kebutuhan minimum yang harus dipenuhi oleh pekerja untuk dapat hidup layak secara fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Komponen KHL terdiri dari tujuh kelompok kebutuhan, yaitu pangan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.

Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI), KHL yang digunakan sebagai acuan penetapan UMR masih jauh dari realitas.

Penelitian tersebut mengambil sampel 14 provinsi di Indonesia dan menemukan bahwa rata-rata KHL di Indonesia pada tahun 2020 adalah Rp 3.512.000 per bulan per orang. Sementara itu, rata-rata UMR di Indonesia pada tahun 2020 hanya Rp 2.491.000 per bulan per orang. Artinya, ada selisih sekitar Rp 1 juta antara KHL dan UMR di Indonesia.

Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa komponen KHL yang digunakan sebagai acuan penetapan UMR masih kurang memadai. Misalnya, komponen pangan dan minuman hanya menghitung kebutuhan kalori minimum tanpa memperhatikan kualitas gizi dan variasi makanan.

Komponen sandang hanya menghitung kebutuhan pakaian dasar tanpa mempertimbangkan musim dan iklim. Komponen perumahan hanya menghitung luas lantai minimum tanpa mempertimbangkan kualitas bangunan dan fasilitasnya. Komponen pendidikan hanya menghitung biaya sekolah formal tanpa mempertimbangkan biaya pendidikan nonformal dan informal.

Komponen kesehatan hanya menghitung biaya pengobatan tanpa mempertimbangkan biaya pencegahan dan promosi kesehatan. Komponen transportasi hanya menghitung biaya angkutan umum tanpa mempertimbangkan biaya transportasi pribadi.

Komponen rekreasi hanya menghitung biaya hiburan minimum tanpa mempertimbangkan kebutuhan sosial dan budaya. Dan komponen tabungan hanya menghitung persentase minimum dari penghasilan tanpa mempertimbangkan tujuan dan jangka waktu tabungan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UMR yang berlaku saat ini masih belum sesuai dengan KHL yang seharusnya. Hal ini berdampak pada rendahnya kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Pekerja yang bergaji UMR seringkali harus berhemat atau berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerja juga sulit untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depannya.

UMR dan Produktivitas: Apakah Sudah Sebanding?

Faktor lain yang menjadi dasar penetapan UMR adalah produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja adalah ukuran efisiensi pekerja dalam menghasilkan barang atau jasa dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.

Produktivitas tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kualitas sumber daya manusia, ketersediaan modal dan teknologi, lingkungan kerja, insentif, dan motivasi.

Secara teori, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula upah yang layak diterima oleh pekerja. Hal ini karena pekerja yang produktif memberikan kontribusi lebih besar bagi perusahaan dan perekonomian. Namun, apakah hal ini berlaku di Indonesia?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produktivitas tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2020 mencapai Rp 143.000.000 per pekerja per tahun atau sekitar Rp 11.900.000 per pekerja per bulan.

Sementara itu, rata-rata UMR di Indonesia pada tahun 2020 hanya Rp 2.491.000 per pekerja per bulan. Artinya, ada selisih sekitar Rp 9 juta antara produktivitas dan UMR di Indonesia.

Selain itu, menurut data International Labour Organization (ILO), produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Pada tahun 2019, produktivitas tenaga kerja di Indonesia hanya mencapai US$ 12.600 per pekerja per tahun atau sekitar US$ 1.050 per pekerja per bulan. Sementara itu, produktivitas tenaga kerja di Singapura mencapai US$ 106.800 per pekerja per tahun atau sekitar US$ 8.900 per pekerja per bulan.

Produktivitas tenaga kerja di Malaysia mencapai US$ 38.400 per pekerja per tahun atau sekitar US$ 3.200 per pekerja per bulan. Produktivitas tenaga kerja di Thailand mencapai US$ 18.300 per pekerja per tahun atau sekitar US$ 1.500 per pekerja per bulan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UMR yang berlaku saat ini masih belum sebanding dengan produktivitas tenaga kerja yang seharusnya. Hal ini berdampak pada rendahnya daya saing pekerja dan perusahaan Indonesia di pasar global.

Pekerja yang bergaji UMR seringkali kurang termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan kualitasnya. Pekerja juga sulit untuk mengembangkan kompetensi dan karirnya.

UMR dan Biaya Hidup, Apakah Sudah Memperhatikan Perbedaan Antar Daerah?

Faktor lain yang menjadi dasar penetapan UMR adalah biaya hidup antar daerah. Biaya hidup adalah jumlah uang yang dibutuhkan oleh seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Biaya hidup dapat bervariasi antar daerah tergantung pada faktor-faktor seperti harga barang dan jasa, tingkat inflasi, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas publik, tingkat pendapatan, dan gaya hidup.

Secara teori, semakin tinggi biaya hidup di suatu daerah, semakin tinggi pula upah minimum yang harus diberikan kepada pekerja di daerah tersebut. Hal ini karena pekerja harus dapat menutupi biaya hidupnya agar dapat hidup layak dan sejahtera. Namun, apakah hal ini berlaku di Indonesia?

Menurut data BPS, biaya hidup antar daerah di Indonesia sangat bervariasi. Pada tahun 2020, indeks harga konsumen (IHK) tertinggi terjadi di Papua Barat dengan angka 107,85. IHK terendah terjadi di Jawa Timur dengan angka 99,97.

IHK adalah ukuran yang menggambarkan perubahan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Semakin tinggi IHK suatu daerah, semakin tinggi pula biaya hidup di daerah tersebut.

Namun, jika dibandingkan dengan besaran UMR antar daerah di Indonesia, tidak selalu ada korelasi positif antara biaya hidup dan upah minimum antara biaya hidup dan upah minimum.

Misalnya, Papua Barat yang memiliki IHK tertinggi hanya memiliki UMR sebesar Rp 3.100.000 per bulan per pekerja pada tahun 2020. Sementara itu, DKI Jakarta yang memiliki IHK sebesar 104,32 memiliki UMR sebesar Rp 4.276.000 per bulan per pekerja pada tahun 2020. Jawa Timur yang memiliki IHK terendah memiliki UMR sebesar Rp 1.768.000 per bulan per pekerja pada tahun 2020.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UMR yang berlaku saat ini masih belum memperhatikan perbedaan biaya hidup antar daerah yang seharusnya. Hal ini berdampak pada ketimpangan kesejahteraan antara pekerja di daerah-daerah yang berbeda.

Pekerja yang bergaji UMR di daerah dengan biaya hidup tinggi seringkali harus mengorbankan kualitas hidupnya. Pekerja yang bergaji UMR di daerah dengan biaya hidup rendah seringkali tidak mendapatkan insentif untuk meningkatkan keterampilan dan mobilitasnya.

Mengapa Gaji UMR di Bilang Besar?

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gaji UMR di Indonesia masih jauh dari ideal. UMR masih belum sesuai dengan KHL, belum sebanding dengan produktivitas, dan belum memperhatikan perbedaan biaya hidup antar daerah. Lalu, mengapa ada anggapan bahwa gaji UMR itu besar padahal singkatannya adalah upah minimal rakyat?

Salah satu alasan yang mungkin adalah karena adanya perbandingan yang tidak tepat antara gaji UMR dengan gaji pekerja informal atau pekerja harian lepas. Pekerja informal atau pekerja harian lepas adalah pekerja yang tidak memiliki hubungan kerja tetap dengan pengusaha, tidak mendapatkan perlindungan sosial, tidak mendapatkan jaminan kesehatan, dan tidak mendapatkan tunjangan kerja.

Menurut data BPS, jumlah pekerja informal atau pekerja harian lepas di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 74,04 juta orang atau sekitar 55,8% dari total angkatan kerja.

Menurut data BPS juga, rata-rata penghasilan pekerja informal atau pekerja harian lepas di Indonesia pada tahun 2020 hanya Rp 1.723.000 per bulan per orang.

Jika dibandingkan dengan rata-rata UMR di Indonesia pada tahun 2020 yang sebesar Rp 2.491.000 per bulan per orang, maka terlihat bahwa gaji UMR lebih besar sekitar Rp 768.000 per bulan per orang.

Namun, perbandingan ini tidak tepat karena tidak memperhitungkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan pekerja, seperti perlindungan sosial, jaminan kesehatan, tunjangan kerja, dan lain-lain.

Pekerja informal atau pekerja harian lepas tidak mendapatkan manfaat-manfaat tersebut sehingga harus menanggung sendiri risiko-risiko yang terkait dengan pekerjaannya, seperti kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, pengangguran, dan kemiskinan.

Pekerja informal atau pekerja harian lepas juga tidak memiliki kepastian penghasilan dan seringkali harus bersaing dengan sesama pekerja informal atau pekerja harian lepas untuk mendapatkan pekerjaan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gaji UMR tidak bisa dibandingkan dengan gaji pekerja informal atau pekerja harian lepas tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan pekerja.

Gaji UMR bukanlah ukuran absolut dari kesejahteraan pekerja formal melainkan ukuran relatif dari upah minimum yang harus diberikan oleh pengusaha kepada pekerja formal.

Kesimpulan

Gaji UMR di Indonesia masih jauh dari ideal. UMR masih belum sesuai dengan KHL, belum sebanding dengan produktivitas, dan belum memperhatikan perbedaan biaya hidup antar daerah.

Anggapan bahwa gaji UMR itu besar padahal singkatannya adalah upah minimal rakyat juga tidak tepat karena tidak memperhitungkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan pekerja.

Oleh karena itu, perlu adanya revisi dan reformasi dalam penetapan UMR di Indonesia agar dapat mencerminkan kebutuhan, kontribusi, dan kesejahteraan pekerja secara adil dan layak.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article