Peti Mati Demokrasi

bramadapp
4 Min Read
Keranda Demokrasi, Foto: Asrul Firga/tempo
Keranda Demokrasi, Foto: Asrul Firga/tempo

jfid – Pak Karni mengumumkan ILC akhirnya pamit dari layar kaca pemirsah. Ini mungkin paku terakhir yang ditancapkan pada peti mati demokrasi di Indonesia.

Sayangnya, bagi sebagian orang tampaknya tak begitu. Saya melihat komentar di beberapa postingan banyak juga yang menyambutnya dengan gembira. Bagi mereka, ILC adalah acara sampah tempat orang saling menyebarkan kebencian.

Sepintas, itu mungkin benar. Tapi apa yang menakutkan saya adalah orang-orang menerima matinya demokrasi dengan riang gembira.

Ini tepat, seperti tesis yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku mereka How demoracies Dies. Di masa sekarang, demokrasi tidak mati karena istana kepresidenan dibakar, tank-tank militer di jalanan, dan undang-undang darurat diberlakukan.

Di masa sekarang, demokrasi bisa mati justru karena pemimpin yang dipilih oleh rakyat membajak demokrasi. Ia berusaha mengkondisikan lembaga legislatif dan yudikatif. Memakai lembaga penegak hukum sebagai senjata, menggencet pers dan lembaga swasta pengontrol lainnya.

Paradoks tragisnya adalah para pembunuh demokrasi menggunakan lembaga-lembaga demokratis itu sendiri: pelan-pelan, halus, sehingga orang-orang tak terasa atau mengira mereka masih hidup di negara demokrasi.

Polarisasi yang sangat tajam sejak Pilpres 2019 lalu memungkinkan hal ini terjadi. Preferensi politik diadu begitu keras hingga merasuk menjadi konflik eksistensial terkait agama dan ideologi versus hyper-nasionalism.

Pemerintah terpilih kemudian memanfaatkan aspirasi yang terbelah itu, untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan. Di sepanjang patahan garis politik, mereka mengambil salah satu sisi, membangun karung pasir, dan mengarahkan senjata ke kubu yang berseberangan di sisi yang lain.

Intimidasi ini membuat rakyat ketakutan. Tidak ada lagi yang leluasa untuk melakukan kritik. Karena mereka tahu, sewaktu-waktu logika hukum bisa ditekuk untuk memenjarakan mereka. Dalam norma demokrasi yang mulai tenggelam, semua mencari pegangan untuk bertahan.

Kita pernah berharap kepada Prabowo dan Gerindra, namun, mengabaikan semua retorika sebagai oposisi saat pemilu lalu, mereka bergabung dengan kekuasaan. Mereka melecehkan kepercayaan yang diberikan rakyat.

Rakyat yang sebagian besar umat Islam kemudian bersandar pada tokoh yang paling mereka percaya, yang akrab secara budaya dan agama. Namun ini rupanya membawa kerumitan tersendiri, karena menyandarkan misi demokrasi kepada seorang ulama, akan kembali menyuburkan narasi klasik tentang radikalisme.

Kini rakyat tinggal berharap pada pilar demokrasi keempat: pers. Namun usaha untuk menghormati kebebasan pers telah lama hilang dari pemerintah kita. Mereka yang tersisa mendapatkan tekanan dari pemilik perusahaan, sementara yang lainnya melakukan self-sensor atas pemberitaan. “Gelombang terlalu besar,” kata Karni Ilyas, pada suatu waktu.

Anda bisa membayangkan bagaimana demokrasi kita mungkin tidak bisa diselamatkan lagi: partai politik tidak lagi menjadi oposisi yang didengar, atau terdengar. Para intelektual publik menghibur diri sendiri dengan berbagai wacana yang mengolok-olok intelektualitas mereka. Orang-orang sudah ketakutan karena mereka diintai dan bisa dilaporkan dengan alasan seremeh menceritakan mimpi saat tidur.

Saya kira, hanya satu yang tersisa, tempat kita menaruh harapan: Tuhan. Berdoalah semoga erosi demokrasi ini segera berlalu, dan hukum besi sejarah akan tiba. Mereka yang dizalimi akan mendapatkan keadilan, mereka yang menzalimi akan mendapatkan pembalasan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article