jfid – SUMENEP, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Kalianget, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, masih disegel oleh ahli waris pemilik lahan.
Penyegelan yang sudah berlangsung sejak Minggu (17/9/2023) itu menyebabkan ratusan siswa dan guru tidak bisa melakukan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka.
Penyegelan dilakukan oleh ahli waris Ach. Dahlan yang disebut sebagai pemilik lahan sekolah. Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep untuk membayar ganti rugi lahan sesuai dengan harga saat ini.
Namun, Pemkab Sumenep bersikukuh untuk membayar sesuai dengan harga awal yang sudah ditetapkan oleh putusan pengadilan tahun 2005.
Menurut kuasa hukum ahli waris, Mohammad Arifin, penyegelan sekolah tersebut sepenuhnya adalah hak kliennya.
Ia mengatakan bahwa Pemkab Sumenep telah melanggar putusan pengadilan yang mengharuskan mereka membayar ganti rugi lahan sebesar Rp2,7 miliar dalam waktu 30 hari setelah putusan dijatuhkan.
“Putusan itu kan tahun 2005. Tidak segera dilaksanakan. Nah, kalau sekarang kan harga tanah sudah beda dengan waktu itu. Kalau dibayar menggunakan harga lama, ya itu jelas merugikan pemilik lahan,” ujarnya.
Arifin menambahkan bahwa ahli waris meminta agar dilakukan penghitungan ulang untuk pembayaran ganti rugi, disesuaikan dengan harga saat ini.
Ia mengklaim bahwa harga tanah di lokasi sekolah saat ini mencapai Rp1 juta per meter persegi.
“Jadi kalau dihitung dengan luas lahan 27 ribu meter persegi, maka total ganti rugi yang harus dibayar Pemkab Sumenep adalah Rp27 miliar,” katanya.
Sementara itu, Pemkab Sumenep melalui Kabag Hukum Setkab Sumenep, Hizbul Wathan, menyatakan kesiapan untuk membayar ganti rugi lahan sesuai putusan pengadilan.
Ia mengatakan bahwa Pemkab Sumenep telah menganggarkan dana sebesar Rp2,7 miliar untuk membayar ganti rugi lahan SMKN 1 Kalianget.
“Dalam putusan itu disebutkan bahwa ganti rugi lahan sebesar Rp2,7 miliar. Pemkab siap untuk membayarnya. Kalau harga di atas itu tentu memberatkan kami,” katanya.
Wathan menilai bahwa tuntutan ahli waris untuk menyesuaikan harga tanah dengan kondisi saat ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Ia mengatakan bahwa putusan pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan oleh semua pihak.
“Kalau mereka tidak puas dengan putusan itu, mereka bisa mengajukan upaya hukum lain seperti kasasi atau peninjauan kembali. Tapi sampai sekarang kami tidak pernah menerima surat pemberitahuan dari pengadilan bahwa ada upaya hukum lanjutan dari pihak ahli waris,” ujarnya.
Wathan berharap agar ahli waris dapat bersikap kooperatif dan membuka segel sekolah agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan normal kembali.
Ia juga meminta agar ahli waris tidak mengorbankan hak pendidikan para siswa yang menjadi korban dari sengketa lahan ini.
“Kami sangat menyayangkan penyegelan sekolah ini karena sangat merugikan para siswa dan guru. Kami berharap agar masalah ini dapat diselesaikan secara baik-baik tanpa harus merugikan pihak lain,” tuturnya.
SMKN 1 Kalianget dibangun di atas lahan seluas 27 ribu meter persegi. Lahan tersebut merupakan milik Ach. Dahlan yang merupakan mantan Bupati Sumenep periode 1999-2004.
Pada tahun 2005, Pemkab Sumenep menggugat Ach. Dahlan ke pengadilan untuk membayar ganti rugi lahan yang sudah digunakan untuk membangun sekolah.
Pengadilan Negeri Sumenep memutuskan bahwa Pemkab Sumenep berkewajiban membayar ganti rugi lahan sebesar Rp2,7 miliar dengan harga Rp100 ribu per meter persegi.
Namun, putusan tersebut tidak segera dilaksanakan oleh Pemkab Sumenep hingga saat ini.
Penyegelan SMKN 1 Kalianget itu dilakukan oleh ahli waris Ach. Dahlan yang disebut sebagai pemilik lahan sekolah.
Penyegelan yang dilakukan sejak Minggu (17/9/2023) itu berupa penutupan pagar sekolah dan pemasangan dua spanduk bentang bertuliskan ‘Dilarang Masuk Tanpa Ijin Pemilik Lahan’.
Spanduk kedua bertuliskan, ‘Mohon maaf kepada adik-adik siswa atas terganggunya belajar di sekolah ini. Dilarang membuka segel dan melakukan kegiatan apapun di atas tanah sekolah milik alm. Drs. H. Ach. Dahlan, MSi.
Kami cukup sabar didzolimi sejak tahun 1996 sampai saat ini tanpa mendapatkan ganti rugi satu rupiah pun’.
Akibat penyegelan tersebut, ratusan siswa dan para guru tidak bisa masuk ke sekolah. Proses kegiatan belajar mengajar pun akhirnya dilakukan secara daring, sambil menunggu proses negosiasi antara Pemkab Sumenep dengan pemilik lahan.