jfid– Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengklaim bahwa metode water mist atau penyemprotan air dari gedung tinggi dapat efektif mengurangi polusi udara di ibu kota.
Metode ini didasarkan pada hasil uji coba yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Gedung Pertamina.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan bahwa penyemprotan air menggunakan water mist generator dapat menurunkan kadar partikulat halus atau PM2.5, yang merupakan salah satu sumber polusi udara Jakarta.
“Pada saat minggu lalu kami lakukan uji coba itu dari atap Gedung Pertamina disemprotkan water mist dan di bawahnya diukur oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” ujar Asep.
Asep tidak menjelaskan secara detail hasil uji coba tersebut, namun ia menyebutkan bahwa metode water mist akan lebih efektif jika dilakukan di empat sisi gedung dengan atap berbentuk persegi.
Dia juga berharap bahwa alat penyemprot air tersebut dapat tersedia di setiap gedung di Jakarta, baik milik swasta maupun pemerintahan.
Biaya operasional water mist generator diperkirakan sekitar Rp 50 ribu per hari, sudah termasuk air dan listrik.
Namun, bagaimana sebenarnya metode water mist bekerja dalam mengurangi polusi udara? Apakah ada dasar ilmiah yang mendukung klaim Pemprov DKI?
Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Aerosol and Air Quality Research pada tahun 2020, misters atau alat penyemprot air dapat mendinginkan udara sekitarnya dengan cara menguapkan tetesan air yang dikeluarkannya.
Proses ini bersifat endotermik, artinya menyerap panas dari lingkungan. Ketika tetesan air menguap, PM dapat terbentuk dari sisa-sisa bahan terlarut dalam air yang digunakan untuk penyemprotan.
Oleh karena itu, penggunaan misting systems dapat meningkatkan konsentrasi PM di udara sekitarnya.
Penelitian tersebut dilakukan di Kota Taipei, Taiwan, dengan menggunakan tiga jenis misting systems yang berbeda: high-pressure, medium-pressure, dan low-pressure.
Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan alat penyemprot air, semakin besar pula peningkatan konsentrasi PM di udara. Hal ini disebabkan oleh ukuran tetesan air yang lebih kecil dan waktu menguap yang lebih cepat pada alat penyemprot air bertekanan tinggi.
Penelitian ini juga menyarankan agar penggunaan misting systems harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti kualitas air, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan jarak dari sumber polusi.
Selain itu, penelitian ini merekomendasikan agar misting systems tidak digunakan pada saat kondisi udara buruk atau saat terjadi kabut asap.
Dengan demikian, metode water mist yang diklaim Pemprov DKI sebagai solusi untuk mengurangi polusi udara Jakarta masih perlu diteliti lebih lanjut.
Apakah metode ini benar-benar efektif dan aman bagi kesehatan masyarakat? Atau malah menimbulkan dampak negatif yang lebih besar? Jawabannya masih menunggu bukti ilmiah yang kuat dan valid.