jfid – Gaza, sebuah wilayah yang terkepung oleh Israel dan Mesir, menjadi saksi bisu atas tragedi kemanusiaan yang terjadi akibat agresi militer Israel. Sejak 6 Oktober 2023, pasukan Israel telah melancarkan serangan udara dan artileri yang menghancurkan infrastruktur, rumah, sekolah, masjid, dan fasilitas kesehatan di Gaza.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, hingga Rabu (11/10/2023), jumlah warga Gaza yang tewas akibat serangan Israel mencapai 1.055 orang, termasuk 253 anak-anak dan 76 perempuan. Jumlah korban luka-luka mencapai 5.184 orang, termasuk 1.419 anak-anak dan 917 perempuan. Juru bicara kementerian tersebut, Ashraf al-Qidra, mengatakan bahwa pasukan Israel juga sengaja menargetkan tim medis, institusi kesehatan, dan ambulans.
Sementara itu, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB bagi Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) melaporkan bahwa sekitar 250.000 warga Gaza harus mengungsi dan mencari perlindungan di dalam wilayah mereka sendiri. Mereka kebanyakan menempati sekolah-sekolah milik UNRWA dan harus bertahan dalam kondisi kehidupan yang sangat sulit, terutama masalah air, makanan, obat-obatan, dan perawatan medis.
Salah satu warga Gaza yang mengungsi di sekolah UNRWA adalah Umm Muhammad, seorang ibu dari lima anak. Dia mengatakan bahwa dia dan keluarganya harus meninggalkan rumah mereka di Khan Yunis setelah mendapat peringatan dari Israel untuk mengosongkan daerah tersebut. “Kami tidak punya pilihan selain lari dengan membawa apa yang bisa kami bawa. Kami tidak tahu apakah rumah kami masih utuh atau sudah hancur,” katanya.
Umm Muhammad mengaku khawatir dengan nasib anak-anaknya yang harus hidup dalam ketakutan dan trauma akibat serangan Israel. “Anak-anak saya tidak bisa tidur dengan tenang. Mereka selalu menangis dan ketakutan setiap mendengar suara ledakan atau pesawat tempur. Mereka juga tidak bisa bermain atau belajar seperti biasa. Mereka kehilangan masa kecil mereka,” ujarnya.
Selain menghadapi ancaman serangan Israel, warga Gaza juga menghadapi krisis listrik yang parah. Pembangkit listrik utama di Gaza telah berhenti beroperasi karena kekurangan bahan bakar. Akibatnya, warga Gaza hanya mendapat pasokan listrik selama tiga sampai empat jam per hari. Hal ini berdampak pada layanan air bersih, sanitasi, komunikasi, dan kesehatan.
Di tengah kondisi yang mencekam ini, warga Gaza tetap berusaha untuk bertahan dan bersatu. Mereka saling membantu dan berbagi sesama pengungsi. Mereka juga tetap menjaga semangat perlawanan dan solidaritas dengan saudara-saudara mereka di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang juga mengalami penindasan dari Israel.
Salah satu bentuk solidaritas yang dilakukan oleh warga Gaza adalah dengan menggelar shalat ghaib untuk para syuhada yang gugur di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan tanpa kehadiran jenazah secara fisik. Shalat ini merupakan penghormatan bagi para syuhada yang tidak bisa dimakamkan secara layak karena diculik atau ditahan oleh Israel.
Warga Gaza juga menyuarakan tuntutan mereka agar komunitas internasional segera mengambil tindakan untuk menghentikan agresi Israel dan memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina. Mereka mengecam sikap Amerika Serikat yang terus mendukung Israel dan menghalangi upaya gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB. Mereka juga menolak rencana Amerika Serikat untuk mendirikan zona perbatasan isolatif dengan Gaza sebagai tempat pengungsian bagi warga Gaza.
“Kami tidak mau diungsikan dari tanah kami. Kami tidak mau dipisahkan dari saudara-saudara kami di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Kami tidak mau menjadi pengungsi selamanya. Kami ingin hidup dengan damai dan merdeka di tanah kami sendiri,” kata Umm Muhammad.
Warga Gaza berharap bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia dan bahwa mereka akan segera merasakan kemenangan dan kebebasan. Mereka juga berharap bahwa dunia tidak akan membiarkan mereka sendirian dan akan terus mendukung hak-hak mereka sebagai manusia.