jfid – Seorang politikus tidak lahir dari secarik kupon yang diperdagangkan secara murahan dan di event kan, lalu terpilih sebagai tokoh politik. Hal tersebut, biasa digunakan oleh koran-koran murahan yang secara sengaja membuat tipu muslihat pada publik, demi maksud jahatnya meraup keuntungan.
Beberapa waktu silam, saya bertamu ke salah satu teman karib. Di beranda rumahnya, bertumpuk ratusan ribu oplah koran. Sempat saya tanyakan, untuk apa koran-koran sebanyak ini? Singkat ia menjawab, “koran ini sudah diborong oleh seseorang untuk menjadi tokoh pilihan masyarakat,”
Dua penggal paragraf diatas, adalah contoh kecil konspirasi seseorang untuk menjadi tokoh Politik dengan kekuatan finansial. Tanpa ada ukuran, sejauh mana, jangkauan pengaruh orang tersebut.
Dilain hal, wacana Politik Madura tidak terlepas dari sebuah klasifikasi struktur sosial masyarakat Madura. Kyai dan Pesantren, Blater, Pejabat dan Pengusaha, adalah urutan klaster sosial masyarakat Madura.
Nama politikus Madura pasca tahun 2000 (setelah Mohammad Noer), tidak bisa terlepas dari nama RKH. Fuad Amin (Alm). Fuad Amin, diakui masyarakat luas Madura sebagai tokoh paling berpengaruh di Madura.
Bukan rahasia umum lagi, pengaruh Fuad Amin dikontestasi perpolitikan. Kala dirinya mencalonkan sebagai bupati Bangkalan atau anak dan kerabatnya, kemenangan telak yang diraihnya. Saya tidak sedang berbicara bagaimana Fuad Amin melakukan kecurangan dalam pemilu, tapi, masyarakat seantero Bangkalan hingga pelosok desa, patuh pada titahnya.
Dan saya tidak berbicara bagaimana Fuad Amin menjamin kemenangan seorang Legislator yang memberikan upeti padanya.
Suara Bupati diamini oleh rakyatnya, saya hanya melihat di Bangkalan, kala Fuad Amin masih hidup. Yang pasti, Fuad Amin dikenang sebagai tokoh yang dicintai oleh masyarakat Madura (khususnya Bangkalan).
Apakah orang yang disebut Bapak Politik pernah ditahan KPK? Kacamata saya, Fuad Amin ditangkap KPK hanyalah persoalan politik, walau secara Hukum dirinya terbukti salah. Sebab, Kala itu, dirinya banyak membuat kegaduhan politik. Sebut saja persoalan dukung mendukung di Pilgub, Pilpres, atau menghilangkan suara para Caleg DPR-RI (dugaan saya).
Lalu bagaimana dengan bapak Politik Madura yang lain?
Apakah publik tidak mengenal nama Mahfud MD? Tentu mustahil, nama Mahfud MD dikenal dan populer di Indonesia, apalagi dirinya menjabat sebagai Menteri kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Ia seorang Menteri di Kabinet II Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, namun secara kultur dan kesejarahan Mahfud MD bukanlah seorang Politikus yang kiprahnya di Madura.
Mahfud MD lebih tepat disebut sebagai pakar Hukum dibandingkan Bapak Politik Madura. Afiliasi politiknya adalah PKB, menjadikan dirinya salah satu maskot PKB pengikut Gusdur, walau secara administratif dirinya tergolong independen.
Putra daerah kelahiran Sampang tersebut, masih melekat dihati masyarakat Madura. Terbukti, saat namanya tidak terpilih mendampingi Jokowi di Pilpres 2019, mayoritas masyarakat Madura kecewa, walaupun pribadi Mahfud MD legowo.
Baiklah, jika nama Fuad Amin mengakar di Madura, tentu banyak tokoh yang satu tingkat dibawahnya. Bukan tokoh lama di dunia politik, tapi pengaruh dan kepribadiannya mengakar di Madura. Bagaimana dengan Said Abdullah atau Ahsanul Qosasi? Dua nama tersebut, tidak hanya kesohor di Madura, bahkan se Antero Nusantara. Tapi, sungguh mustahil, jika ke dua nama tersebut, disebut sebagai bapak Politik Madura.
Said Abdullah politikus PDIP yang duduk di DPR-RI sebagai ketua Banggar. Namanya, hanya muncul musiman, saat Pilkada, Pileg, Pilgub, atau saat bulan Puasa. Seperti beberapa hari yang lalu, Said Abdullah membuat geger warga Sumenep dengan Terawih plus-plus (Orang yang berterawih diberi uang 300 ribu). Tapi itu hal yang sangat mulia, membantu perekonomian masyarakat ditengah Pandemi Covid-19.
Selanjutnya, Nama Ahsanul Qosasi, tentu mengharumkan Madura dikancah Nasional. Selain prestasinya memajukan dunia sepakbola Madura, dirinya juga sebagai pejabat berprestasi dengan terpilih dua periode sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, Karir politiknya terhenti saat Ahsanul Qosasi gagal melenggang ke Senayan pada Pileg 2014. Namanya cukup mengakar di Madura, tapi ia tak bisa menjadi bapak Politik Madura sejajar dengan Fuad Amin.
Siapakah Bapak Politik Madura pasca Fuad Amin? Bagaimana nama Badrut Tamam? Bupati Pamekasan itu, sungguh tidak mungkin, digelari Bapak Politik Madura. Karena beberapa waktu lalu, demonstrasi masyarakat Pamekasan menghadiahkan celana dalam pada Bupati yang masih muda itu.
Siapakah Bapak Politik Madura Pasca Fuad Amin? Bagaimana dengan Slamet Ariyadi? Tentu nama Slamet Ariyadi secara struktur sosial jauh berbeda dengan Fuad Amin yang dikenal sebagai Kyai dan Blater (Baca: Pengakuan Fuad Amin dalam berceramah, mendaulat dirinya seorang Kyai dan Blater).
Slamet Ariyadi adalah seorang Intelektual yang lahir dari keluarga seorang petani. Ia tak memiliki trah keturunan Kyai maupun Blater. Dirinya dibesarkan di pesantren sebagai santri, anak muda yang sederhana itu, diyakini sebagai Satrio Piningit dari Desa Gunung Rancak, Robatal, Sampang.
Slamet Ariyadi adalah politisi masa depan Madura yang memiliki kekuatan akar rumput. Suaranya terbesar ke 5 PAN secara Nasional melampaui suara Ketum Partainya sendiri. Slamet Ariyadi menembus batas-batas stratifikasi sosial masyarakat Madura. Ia berhasil melenggang ke Senayan hanya bermodalkan kepercayaan dari masyarakat Sampang.
Politikus berpengaruh di Madura pasca Fuad Amin, hanya Slamet Ariyadi yang hadir dan meyakinkan. Selain masih muda, Slamet Ariyadi menjadi representasi rakyat kecil di Madura. Dan di periode ke dua Zulkifli Hasan (Ketum PAN) memimpin partai berlambang matahari tersebut, Slamet Ariyadi diberikan kepercayaan diposisi strategis sebagai Wakil Sekertaris Jendral DPP Partai Amanat Nasional.
Sebelumnya, saya menyebut Slamet Ariyadi sebagai Sintesa Gusdur muda dan Amin Rais muda.
Sintesa Gusdur Muda dan Amin Rais Muda
Madura yang secara kultural mayoritas NU, adalah realitas nyata. Namun, mengagetkan banyak orang, Slamet Ariyadi yang berangkat dari kendaraan PAN (Muhammadiyah) dan melenggang mulus ke Senayan.
Slamet yang masih muda dan bukan dari keluarga priyai, dipertanyakan banyak orang soal keseriusan pencalonannya. Namun hal itu terbantahkan dengan sendirinya, ketika suara sah Slamet Ariyadi mencapai 133.495.
Kompas.com merilis, jika perolehan suara Slamet Ariyadi melebihi ketua umum PAN. Zulkifli Hasan dengan urutan kelima terbanyak PAN ada nama Zulkifli Hasan. Ketua Umum PAN yang juga Ketua DPR ini maju lewat daerah pemilihan Lampung.
Besan Amien Rais ini meraih 132,039 suara di dapil yang meliputi Kab. Lampung Barat, Kab. Lampung Selatan, Kab. Pesawaran, Kab. Pesisir Barat, Kab. Pringsewu, Kab. Tanggamus, Kota Bandar Lampung, dan Kota Metro. Dilansir dari Kompas.com (6/10/2019).
Sungguh sangat sulit, Madura yang secara kultural Nahdiyin dan Slamet Ariyadi yang berangkat dengan Alat politik PAN bisa melenggang mulus.
Bagaimana tidak, Ruba’i anggota DPR-RI periode 2009-2014 gagal untuk melenggang kembali ke Senayan pada periode 2014-2019 melalui PAN. Dan Slamet Ariyadi yang dibesarkan dari lingkungan pesantren, ia secara pribadi melebur dan membangun kekuatan politik di jalur yang sulit.
Slamet Ariyadi adalah sintesa dari Gusdur Muda dan Amin Rais muda. Pandangan politik Slamet Ariyadi yang kritis terhadap sesuatu seperti terlihat sebagai Amin Rais muda yang bicara panjang soal Reformasi.
Semasa mahasiswa, Slamet tercatat sebagai Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura. Mahasiswa yang lantang bicara soal ketidakadilan. Mengingatkan kembali pada seorang Amin Rais muda.
Dan Slamet Ariyadi yang lahir dari latar pendidikan pesantren, kepatuhannya pada Ulama dan Kiyai, Slamet seperti menjelma sosok Gusdur muda. Konstruksi berfikir Nahdiyin itulah, Slamet tampak seperti Gusdur muda.
Saya sangat menyukai, bagaimana kesederhanaan seorang Gusdur. Kala itu Gusdur muda, dengan berpakaian sarung, Gusdur bertemu dengan tokoh-tokoh Dunia. Dan aura itu, saya melihat dalam diri Slamet Ariyadi.
Deni Puja Pranata