Kecerdasan Buatan dan Kerja di Era Digital

Faidi Ansori
5 Min Read
Ilustrasi kampanye disinformasi lewat internet | Gerd Altmann /Pixabay
Ilustrasi kampanye disinformasi lewat internet | Gerd Altmann /Pixabay

jfID – Kecerdasan buatan (artificial intelligence) adalah produk kemajuan ilmu dan teknologi terkini. Dari hasil pemikiran manusia, lahirlah mesin-mesin, komputer, robot dan lain-lain yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan.

Kecerdasan buatan dimaksudkan sebagai alat bantu pekerjaan manusia di zaman posmodern ini. Namun, kecerdasan buatan tak lepas juga dari pro dan kontra. Di satu sisi, kecerdasan buatan saat ini dianggap sudah melampaui kodrat dan hakikat eksistensi manusia. Contohnya, kebiasaan browsing tugas sekolah atau kuliah sekarang sudah tidak lagi harus bertanya kepada guru, ustad, ataupun dosen. Pelajar atau mahasiswa tinggal meng-klik Google yang dalam hitungan detik bisa memberikan jawaban nyaris atas pertanyaan apapun. Dengan kecerdasan buatan mesin pencari Google, masyarakat kita lebih mudah mengakses apapun yang ia inginkan.

Namun, di sisi lain, kecerdasan buatan juga membawa dampak negatif. Saat ini semakin banyak orang bergantung kepada teknologi dan malas untuk bekerja. Setelah tahun demi tahun kecerdasan buatan bekerja dan memproduksi banyak hal, para ilmuwan pun mulai merasa pesimis dengan praktik kecerdasan buatan yang sudah ada.

Sementara itu, sejumlah pakar kecerdasan buatan menyatakan bahwa ada kemungkinan 50:50, bahwa mesin-mesin akan mengalahkan manusia di semua aktivitas dalam rentang waktu 45 tahun ke depan, atau pada pada 2026 (Lumbantobing, 2017). Apakah ramalan ini akan terjadi?

Ungkapan diatas juga senalar dengan ungkapan ini, “Yang saya takutkan adalah AI akan menggantikan manusia seluruhnya. Jika mereka merancang sebuah virus komputer, orang lain akan merancangnya lebih baik agar dapat mereplikasi dirinya sendiri. Ini akan menjadi bentuk baru kehidupan mengungguli kehidupan manusia” (Anestia, 2017). Di sisi lain, ada peringatakan bahaya kepada kita, bahwa suatu saat nanti sangat mungkin ada era dimana manusia akan teralienasi dengan tugasnya sebagai manusia untuk bekerja atas dirinya sendiri, dan beralih menjadi budak-budak kecerdasan buatan. Jika kemudian hal itu betul-betul terjadi, maka jangan heran jika robot ataupun mesin akan memperalat manusia untuk mencapai tujuannya.

Maka dalam konteks teori sosiologi, apabila kita menemukan kesenjangan interaksi, maka pasti ada sebab dibalik kejadian-kajadian tersebut. Kita ambil contoh bagaimana ketika kita bersilaturahim, sekarang bisa dilakukan cukup dengan chat lewat WhatApps. Sejatinya cara-cara demikian dapat mengikis nilai-nilai budaya yang ada. Bagaimana mungkin esensi silaturrahim akan maksimal, jika interaksi sosial dibatasi oleh kecerdasan buatan dan justru mengalienasi manusia di ruang-ruang produk teknologi?

Interaksi pada hakikatnya adalah proses di mana orang-orang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam fikiran dan tindakan (Hakam & Efendi, 2012). Artinya, interaksi sosial menjadi penghubung antar manusia satu dengan manusia lainnya. Namun, kini seolah manusia sudah diperbudak oleh kecerdasan buatan. Tidak perlu heran jika kedekatan kita bersama teman, keluarga, dan masyarakat bisa terasingkan, bahkan hilang disebabkan munculnya kecerdasan buatan. Selain itu, kita dapat pula menemukan aktivitas permainan game seperti Mobile Legend (ML) yang bisa membuat orang ketagihan dan membuang waktu produktif mereka. Komunikasi dan interaksi kita sudah semakin terkikis dengan munculnya game-game seperti ini.

Contoh-contoh diatas yang jelas cukup merugikan manusia. Karl Marx misalnya, memahami bahwa alienasi adalah proses pemisahan antara manusia satu dengan yang lain. Kecerdasan buatan seharusnya semakin membuat manusia lebih mudah dalam beraktivitas. Misalnya, jika dulu kita memasak nasi harus dengan mengumpulkan kayu, sekarang cukup menggunakan rice cooker. Namun, ironisnya, yang terjadi tidak jarang justru sebaliknya dimana manusia seolah diperalat oleh kecerdasan buatan dalam kehidupan mereka.

Kebijaksanaan kita sebagai manusia haruslah mampu memberikan pengaruh positif terhadap keberlanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Maka ada hal yang perlu dilakukan oleh manusia untuk menghadapi dampak negatif teknologi kecerdasan buatan, yaitu dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dengan bijak agar kita tidak justru teralienasi olehnya.

Penulis: Faidi Ansori

Catatan

Tulisan di atas telah terbit dalam buku Homo Digitalis: Manusia dan Teknologi di Era Digital. Buku tersebut merupakan antologi artikel opini yang ditulis oleh 27 mahasiswa termasuk Faidi Ansori.

Sumber buku:

Medhy Aginta Hidayat, (2018). Homo Digitalis: Manusia dan Teknologi di Era Digital, Yogyakarta: Penerbit Elmatera (Anggota IKAPI).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article