Ibadah Abu-Abu! Ketika Tuhan, Selebriti, dan Politisi Bertemu di Dunia Maya

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read

jfid – Di era digital ini, media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, mendapatkan informasi, dan bahkan menyebarkan ajaran agama.

Dalam hal ini, dakwah Islamiyah melalui platform media sosial seperti TikTok dan Instagram telah menjadi fenomena menarik yang patut untuk dieksplorasi lebih lanjut.

Namun, fenomena ini juga membawa tantangan baru. Salah satunya adalah fenomena “Ibadah Abu-Abu” yang melibatkan politisi dan selebriti.

Fenomena ini merujuk pada praktik di mana individu-individu publik memamerkan ibadah mereka di media sosial.

Pamer ibadah atau memperlihatkan amal kebaikan di media sosial termasuk perbuatan riya’ alias syirik kecil.

Riya’ adalah dengan sengaja memperlihatkan atau mempertunjukkan amal kebaikan atau ibadah agar amal tersebut dilihat orang dan mendapat simpati atau pujian orang lain.

Dalam Islam, amal ibadah hanya untuk Allah SWT, tidak usah diperlihatkan kepada orang lain, apalagi di media sosial yang ruang lingkupnya sangat luas. Pahala kebaikan akan hilang jika dipamerkan (riya’).

Pada zaman dahulu, kita pergi ke tempat ibadah untuk berkomunikasi dengan-Nya. Namun, dengan hadirnya media sosial, kita bisa “follow” akun resmi Tuhan di Twitter atau Instagram.

Kita bisa memberikan “like” pada postingan-Nya yang penuh hikmah, atau bahkan meninggalkan komentar seperti “Amin” atau “Tuhan memberkatimu” di kolom komentar.

Kau pikir, Tuhanmu pun jadi selebriti di media sosial. Pamer biar apa? biar orang terinspirasi? dakwah? kau manusia kecil dalam kebesaran tuhan yang maha melihat. Jika Tuhan maha melihat, kau tak butuh kamera, jelas kau ibadah untuk follower saja.

Karena kau politisi? harusnya menangislah di depan ka’bah, karena tak belum mampu membersihkan hartamu yang syubhat yang kau pakai di tanah suci.

Selebriti, di sisi lain, juga menggunakan media sosial untuk memperlihatkan sisi spiritualitas mereka. Mereka sering kali membagikan momen ibadah mereka, seperti pergi ke gereja, masjid, atau kuil.

Mereka menggunakan ibadah sebagai alat untuk meningkatkan popularitas mereka. Mereka memposting foto mereka sedang berdoa dengan pose yang dramatis dan menggunakan caption yang penuh dengan kata-kata bijak.

Tidak jarang pula mereka menambahkan hashtag seperti #Blessed atau #SpiritualJourney untuk menarik perhatian pengikut mereka. Sampah!

Mungkin kau masih cari pembenaran.

Fenomena pamer ibadah tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga dalam konteks ibadah haji dan umrah. Ada jamaah haji yang memamerkan harta mereka setelah menunaikan ibadah haji.

Mereka memamerkan perhiasan emas yang mereka beli di tanah suci sebagai oleh-oleh untuk keluarga mereka. Mereka sering kali memanfaatkan momen ibadah untuk membangun citra yang baik di mata publik.

Media sosial menjadi sarana yang efektif bagi mereka untuk menunjukkan betapa religiusnya mereka. Mereka memposting foto-foto mereka sedang berdoa di depan kamera atau menghadiri acara keagamaan dengan penuh antusiasme.

Hal ini tentu saja membuat banyak orang bertanya-tanya, apakah ibadah mereka tulus atau hanya sekadar strategi politik semata.

Namun, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), perilaku seperti ini sangat disesalkan. Di tanah suci, posisi kita adalah nol di hadapan Tuhan. Kita harus berhati-hati dengan dampak dari ibadah di era digital ini.

Terlalu terfokus pada media sosial bisa mengaburkan tujuan sebenarnya dari ibadah itu sendiri. Kita harus tetap menjaga ibadah kita menjadi momen yang penuh dengan ketenangan dan refleksi, bukan sekadar pencitraan di dunia maya.

Oleh karena itu, harta dan kenikmatan yang kita miliki seharusnya tidak dipamerkan, seolah ingin berkata “ke tanah suci itu murah biayanya dan saya sudah bayar jasanya”.

Meski media sosial telah menjadi platform yang efektif untuk menyebarkan ajaran agama.

Namun, fenomena pamer ibadah di media sosial dan di tanah suci menunjukkan bahwa kita perlu lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial untuk tujuan ibadah. Saya hanya mengingatkan untuk tetap merenung dan mempertahankan tujuan sejati dari ibadah kita

Dengan demikian, kita dapat menjaga kekhusyukan dalam ibadah kita dan memastikan bahwa pahala kebaikan kita tidak hilang karena dipamerkan.

Selain itu, kita juga dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat tentang bagaimana menggunakan media sosial dengan cara yang positif dan bermanfaat.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article