Maret dan Tugas-Tugas Revolusi Seorang Jenderal

Margo Teguh Sampurno
6 Min Read

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia hingga saat ini, pada dasarnya telah memberikan banyak pemaknaan khusus dalam menyikapi suatu peristiwa. Setiap disiplin ilmu tentunya memiliki nilai praksis dalam kehidupan manusia, terhadap pemecahan masalah yang begitu kompleks. Termasuk sejarah yang memiliki muatan ideologis dalam pembentukan nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Tulisan ini meninjau secara komparatif peristiwa politik Indonesia hari ini dengan pendekatan historical-comparative, yang mengidentifikasikan pada keunikan persamaan pola peristiwa di masa sekarang dengan peristiwa di masa lalu dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia

***

Judul diatas sebagai upaya analisis ilmiah, setelah beberapa waktu lalu terjadi peristiwa coup (baca: kudeta) yang terjadi pada salah satu partai di Indonesia dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa dalam merebut kepemimpinan partai secara singkat. Penulisan judul tersebut juga terinspirasi dari (Tesis April) tahun 1917 oleh V. I Lenin yang merupakan tokoh revolusioner Rusia, dengan judul “The Task of the Proletariat in the Present Revolution” (Tugas-Tugas Kaum Proletariat dalam Revolusi Sekarang ini) yang diterbitkan dalam majalah Pravda No. 26 tahun 1917.

Bulan Maret dalam perjalanan sejarah awal pembentukan negara Republik Indonesia, menampilkan peristiwa-peristiwa penting sebagai pertarungan kekuatan dalam menjalankan negara dengan berdasar pada Pancasila. Hal tersebut dapat terlihat pada periode pasca Gerakan 30 September (G 30 S) 1965 sebagai tragedi berdarah pembunuhan para jenderal tinggi TNI AD dengan tafsir tunggal penyebabnya adalah Partai Komunis Indonesia yang disinyalir akan mengkudeta kepemimpinan nasional.

Gejolak bulan-bulan berikutnya pun sejak G 30 S, semakin memanas baik di tataran grassroot maupun tataran elit pemerintahan. Hingga awal 1966 pada bulan Maret, Presiden Sukarno memberikan perintah kepada Letjen Suharto untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum yang nantinya dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar). Perintah lainnya yakni agar Letjen Suharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya.

Sejarawan LIPI (Asvi W. Adam) berpendapat bahwa blunder yang dilakukan Presiden Sukarno kepada Letjen Suharto dengan memberikan frasa kalimat “mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu” dalam Supersemar sebagai perintah yang tidak jelas, seorang sipil memberikan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara. Perintah kepada tentara harusnya itu kan jelas, terbatas, dan jelas angka waktunya, ujar Asvi saat wawancara bersama Kompas.com.

Sehari setelah menerima Supersemar, langkah pertama yang dilakukan Letjen Suharto adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanggal 12 Maret 1966 dengan surat Keputusan Presiden No 1/3/1966. Instruksi tersebut dibuat dengan mengatasnamakan Presiden bermodal mandat Supersemar yang ditafsirkan Letjen Suharto sendiri. Supersemar pun dinilai membawa Suharto selangkah lebih dekat dengan kekuasaan.

Hal ini dipertegas pula pada tahun tersebut, MPRS menetapkan TAP MPRS. No. IX/MPRS/1966 tentang Supersemar karena kekhawatiran Supersemar akan dicabut oleh Presiden Sukarno. Puncaknya adalah MPRS menaikkan TAP No.IX/1966 menjadi TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi Presiden apabila presiden berhalangan.

Kemudian Presiden Sukarno membawakan pidato pertanggungjawabannya pada 22 Juni 1966 (judul: Nawaksara) dan “Pelengkap Nawaksara” pada 10 Januari 1967 mengenai peristiwa G 30 S pada Sidang Umum ke-IV MPRS, namun ditolak oleh MPRS. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.

Tidak ada Sejarah yang Baru

Cukup menarik jika kemudian peristiwa masa lampau ditinjau secara komparatif dengan peristiwa di Indonesia hari ini yang melibatkan komponen jenderal dan partai. Karena terdapat teori siklus dalam sejarah yang menyebutkan bahwa sejarah akan terus berputar, tetapi pengulangan tersebut akan menemukan wujud yang berbeda dalam bentuk yang lebih halus. Arnold Toynbee sebagai penganut teori siklus sejarah dalam karyanya A Study of History, melihat proses kelahiran, pertumbuhan, kemandekan, dan kehancuran di dalam kehidupan sosial. Penekannya pada masyarakat atau peradaban sebagai unit studinya.

Sehingga jika melihat peristiwa politik hari ini yang menampilkan seorang Jenderal Purnawirawan melakukan kudeta kepemimpinan partai, dapat secara sekilas tersimpulkan arah geraknya akan kemana. Narasi komparatifnya pun dimulai dari sini, jika tahun 1966 seorang Jenderal membubarkan partai dan penghancurannya untuk kemudian bertahap dalam merebut kepemimpinan nasional, bagaimana jika diperbandingkan dengan tahun 2021 ini yang menampilkan seorang Jenderal Purnawirawan yang merangsek ke dalam kepemimpinan partai dengan kudeta, apakah kesimpulan akhirnya juga sama?. Membubarkan dan merebut partai dapat menjadi sebuah hipotesis yang menarik sebagai tugas-tugas revolusi seorang Jenderal.

Dua pola siklus yang sama (tahun 1966 dan 2021) yang melibatkan partai dan jenderal dengan penghalusan konsep tersebut pun, menarik jika ditinjau secara komparatif. Hal penting untuk diketahui, menurut sejarawan politik Cornell University (Ben Anderson), berpendapat bahwa komparasi bukanlah metode atau teknik akademik; melainkan suatu strategi diskursus.

Point penting ketika hendak melakukan kajian komparasi diungkapkan oleh om Ben (panggilan beliau) dalam autobiografinya A Life Beyond Boundaries (2016) bahwa dalam karya apapun, seseorang harus memutuskan apakah kesamaan dan perbedaan kasus atau peristiwa yang menonjol, dan sejauh mana argumentasinya masuk akal dengan perbandingan yang mencerahkan (perbedaan atau kesamaannya). Sehingga, Maret, Jenderal, dan Partai adalah lahirnya sebuah tragedi (istilah F. Nietzche).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article