Genjer-Genjer Menggugat Sejarah dan Memori Bangsa

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read
Slamet Menur salah satu penyintas Tragedi 65 sekaligus pencipta tarian Genjer-Genjer (BBC)
Slamet Menur salah satu penyintas Tragedi 65 sekaligus pencipta tarian Genjer-Genjer (BBC)

jfid – Tarian Genjer-Genjer, yang selama puluhan tahun terlarang dan terstigma karena dianggap sebagai simbol komunisme, kembali ditampilkan oleh penciptanya, Slamet Abdul Radjat, yang lebih dikenal sebagai Slamet Menur. Dalam sebuah acara yang digelar di Banyuwangi, Jawa Timur, pada bulan September 2023, Slamet Menur bersama dengan sejumlah penari profesional muda memperagakan tarian yang ia ciptakan pada tahun 1964.

Tarian Genjer-Genjer adalah sebuah tarian yang menggambarkan kehidupan rakyat Banyuwangi yang menderita akibat penjajahan Jepang. Tarian ini mengambil nama dari tanaman genjer (Limnocharis flava), yang menjadi makanan alternatif bagi rakyat yang kelaparan. Tarian ini juga diiringi oleh lagu Genjer-Genjer, yang diciptakan oleh Muhammad Arief, seorang seniman Banyuwangi yang berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi seni dan budaya yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Slamet Menur, yang saat itu berusia 24 tahun, terinspirasi oleh lagu Genjer-Genjer untuk menciptakan tarian yang menggabungkan unsur-unsur tradisional dan modern. Ia mengatakan bahwa tarian ini adalah bentuk ekspresi seni yang tidak ada hubungannya dengan politik. “Saya mengenalkan Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi seni yang sebenarnya,” katanya.

Namun, nasib tarian Genjer-Genjer berubah drastis setelah terjadinya Peristiwa G30S pada tahun 1965, yang merupakan sebuah upaya kudeta yang gagal oleh sekelompok perwira militer yang diduga berhaluan kiri. Peristiwa ini kemudian dimanfaatkan oleh Jenderal Soeharto, yang mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno dan membentuk rezim Orde Baru. Dalam rangka menumpas PKI dan segala bentuk kekiri-kirian, rezim Orde Baru melakukan pembantaian massal, penangkapan, penahanan, dan pengasingan terhadap jutaan orang yang dicurigai sebagai anggota, simpatisan, atau terkait dengan PKI.

Salah satu korban dari kekejaman rezim Orde Baru adalah Slamet Menur, yang ditangkap pada bulan Oktober 1965, bersama dengan rekan-rekan senimannya di Sekretariat Seni Rakyat Indonesia (SRI) Muda, sebuah organisasi seni yang berafiliasi dengan Lekra. Slamet Menur mengatakan bahwa ia diselamatkan oleh seorang tokoh agama yang mengenalnya dan membujuk aparat untuk melepaskannya. Namun, banyak rekan-rekannya yang tidak seberuntung itu. “Banyak yang dibunuh, dibuang ke laut, atau dibuang ke pulau-pulau terpencil,” katanya.

Tidak hanya itu, tarian dan lagu Genjer-Genjer juga menjadi sasaran dari kampanye hitam rezim Orde Baru, yang mengaitkannya dengan kekejaman PKI. Rezim Orde Baru menyebarkan propaganda bahwa tarian dan lagu Genjer-Genjer dipentaskan oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organisasi perempuan yang dianggap sebagai sayap PKI, saat mereka menyiksa dan memutilasi enam jenderal dan seorang perwira yang diculik dan dibunuh oleh G30S di Lubang Buaya, Jakarta. Propaganda ini juga ditampilkan dalam film-film propaganda seperti Pengkhianatan G30S/PKI dan Pengantin Revolusi, yang wajib ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September dan 1 Oktober.

Akibat dari propaganda ini, tarian dan lagu Genjer-Genjer menjadi terlarang dan terstigma di mata masyarakat. Slamet Menur mengatakan bahwa ia tidak pernah menyangka bahwa karya seninya akan disalahgunakan dan difitnah sedemikian rupa. “Saya merasa sedih dan marah. Ini adalah fitnah yang sangat keji. Tarian dan lagu Genjer-Genjer tidak ada hubungannya dengan PKI atau G30S. Ini adalah seni rakyat yang murni,” katanya.

Slamet Menur mengatakan bahwa ia sempat berhenti menari dan menyanyi Genjer-Genjer karena takut akan ancaman dan intimidasi dari rezim Orde Baru. Ia juga mengalami kesulitan ekonomi dan sosial karena dicap sebagai komunis. Ia mengatakan bahwa ia hanya bertahan hidup berkat dukungan keluarga dan teman-temannya. “Saya tidak pernah menyerah. Saya tetap berjuang untuk hidup dan berkesenian,” katanya.

Setelah rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, Slamet Menur mulai kembali menari dan menyanyi Genjer-Genjer, meskipun masih mendapat tentangan dari sebagian masyarakat yang masih mempercayai propaganda Orde Baru. Ia mengatakan bahwa ia ingin menghapus stigma negatif yang melekat pada tarian dan lagu Genjer-Genjer, dan mengembalikan makna asli dari karya seninya. “Saya ingin mengajak masyarakat untuk mengenal dan menghargai Genjer-Genjer sebagai seni budaya yang berasal dari Banyuwangi. Saya juga ingin mengajak generasi muda untuk belajar dan melestarikan Genjer-Genjer sebagai warisan budaya bangsa,” katanya.

Slamet Menur juga mengatakan bahwa seni dan budaya yang dipolitisasi oleh rezim Orde Baru perlu mendapat ruang rehabilitasi. Ia mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 65-66, dan berharap agar pemerintah dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi para korban dan seniman yang terdampak. “Saya berharap agar pemerintah dapat mengakui dan menghormati hak-hak kami sebagai warga negara dan seniman. Saya juga berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan dan fasilitas bagi kami untuk berkarya dan berkesenian,” katanya.

Slamet Menur mengatakan bahwa ia tidak pernah membenci atau dendam kepada siapa pun yang pernah menyakiti atau menzalimi dirinya dan rekan-rekannya. Ia mengatakan bahwa ia hanya ingin hidup damai dan harmonis dengan semua orang. “Saya tidak mau balas dendam. Saya hanya mau damai. Saya mau semua orang bisa saling menghormati dan menghargai, tanpa membeda-bedakan ideologi atau latar belakang. Saya mau semua orang bisa menikmati seni dan budaya tanpa prasangka atau diskriminasi,” katanya.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article