Disorientasi Waktu dan Laskar Berani Malu

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
- Advertisement -

jfid – Dalam khazanah mistisime terdapat dua kecenderungan besar dalam memberikan penekanan pada Tuhan. Dua kecenderungan itu seperti mewakili dua tradisi keagamaan besar: Abrahamik dan non-Abrahamik. Tradisi-tradisi Abrahamik konon meletakkan Tuhan sebagai sosok yang berkepribadian atau yang acap diistilahkan sebagai Tuhan yang personal. Sementara tradisi-tradisi non-Abrahamik meletakkan Tuhan sebagai yang impersonal.

Dalam tradisi sufisme, sebagaimana yang pernah diulas oleh seorang pengkaji sufisme, Reynold A. Nicholson, kedua kecenderungan itu tumbuh dan berkembang di dalamnya. Penekanan impersonalitas Tuhan dalam sebagian sufisme dapat dipahami karena kebanyakan sufisme sistematis yang kemudian membentuk tarekat berkembang di wilayah-wilayah non-Arab.

Sufisme, dalam hal ini, adalah ruang persinggungan antara kondisi geografis Arab yang memungkinkan imajinasi tentang Tuhan dan hal-hal pasca kematian terkesan sebagai pelarian dan kondisi geografis non-Arab yang memungkinkan khusnud dzan dan akhirnya afirmatif terhadap kehidupan. Tak salah ketika kebanyakan sufi meletakkan Tuhan sebagai yang awal (sangkan) sekaligus yang akhir (paran), dan bukannya surga atau neraka. Motivasi pada Tuhan semacam ini tampak, misalnya, pada segurat niat yang terus-menerus dihunjamkan: “Ilahi Anta ma’sudi wa ridhatuka mathlubi.”

Bandingkan motivasi para sufi itu dengan motivasi kalangan radikal keagamaan yang tercekoki surga dan bidadari yang mendasari aksi bom bunuh diri, bukankah ketika untuk sekedar mencicipi representasi keindahan Tuhan, gunung Semeru dan para perempuan cantik ataupun para lelaki tampan berserakan di Bumi ini?

Itulah kenapa kebanyakan tradisi non-Abrahamik ataupun sufisme seolah meletakkan Tuhan juga hadir pula dalam kehidupan ini. Intimasi ini cukup dominan dalam ekspresi-ekspresi kesusastraan sufistik dimana Tuhan kebanyakan diungkapkan dengan kata ganti seperti “Engkau,” “Dia,” dst.—bahkan, konon, bagi yang sudah mencit, tak perlu lagi kata ganti atau bahkan kata-kata itu sendiri.

Dalam kerangka sufisme, impersonalitas pada dasarnya bukanlah Tuhan itu abstrak seperti lukisannya Jakcson Pollock, atau molek seperti lukisannya Basuki Abdullah, atau bahkan naif seperti gambarnya Basquiat. Melainkan, impersonalitas itu adalah tak membutuhkan pembuktian apapun, pembuktian indera sebagaimana imannya para ahli fiqh dan pembuktian nalar sebagaimana imannya kalangan teolog.

Dalam ungkapan Jawa dikenallah istilah “weruh sakdurunge winarah” yang sebenarnya tak mengacu pada kecenayangan atau melek masa depan sebagaimana yang selama ini dipahami. Weruh sakdurunge winarah adalah kemampuan tanggap ing sasmita dimana sebelum disuruh pun sudah ditindakkan. Seperti halnya tipe orang-orang yang wis wani wirang, atau hidup dalam penjara kabar masa lalu, yang kemudian sok-sokan menggurui, atau bahkan celakanya sok maju dan ingin menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang kemrungsung, yang hanya membikin gaduh dan konyolnya segala tertib kehidupan, kalangan yang memperhitungkan impersonalitas itu lazimnya akan nyantai dan tampak biasa-biasa saja.     

- Advertisement -
Share This Article