Hikmah dari Sepetak Tanah

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
"The Plague (bluk)", 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"The Plague (bluk)", 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Ki Gedhe Bringin merupakan nama Ki Ageng Suryamentaram saat menjadi seorang petani di Dukuh Kroya, Bringin, Salatiga. Hasil dari pencariannya selama ini seperti mengantarkannya pada profesi tani, yang bagi sementara orang, kurang memiliki nilai gengsi. Tak hanya sekarang, profesi tani memang kerap dianggap kurang berwibawa, kurang nggaya dibandingkan wong pangkat semacam pegawai—apalagi sandang penganggo atau busana keprofesiannya yang kurang parlente: celana pendek selutut, kaos tipis, singlet atau bahkan telanjang dada dan nyeker (tak bersepatu).

Tapi, dengan melihat asal-usul Ki Ageng Suryomentaram (KAS), yang merupakan seorang pangeran putra HB VII, citra petani seolah-olah cukup membuat wirang para orang yang masih meyakini bahwa “orang besar” adalah yang parlente tampilannya, tak peduli seandainya sekedar casing yang ketika suatu waktu terbongkar akan mendatangkan wirang yang berkepanjangan.

Hubungan antara wejangan-wejangan KAS, yang dikenal sebagai kawruh beja ataupun pangawikan pribadi, dengan aktifitas mengolah tanah atau sawah memang selama ini belum ada yang mengurainya secara tuntas. Adakah korelasi antara kebahagiaan, nama lain dari istilah beja pada kawruh beja-nya KAS, dengan mengolah tanah?

Ketika kebahagiaan itu diukur dengan tercapainya sebuah keinginan, maka mengolah tanah tak ada kaitannya dengan kebahagiaan. Tapi, sesuai dengan wejangan KAS, ketika kebahagiaan itu diartikan sebagai beja atau untung, maka jelas terdapat korelasi antara mengolah tanah dengan kebahagiaan.

Dalam pandangan putra HB VII itu kebahagiaan atau keberuntungan tak terletak pada tercapainya sebuah keinginan. Tapi kebahagiaan itu adalah terletak pada sejauh mana seseorang mampu mengawasi gerak-gerik keinginannya sendiri yang sangat berpusparagam (nyawang karep).
Dengan demikian, bertani dan cara hidup para pelakunya yang serba dibatasi, rupanya cukup efektif untuk digunakan sebagai media dalam nyawang karep.

Taruhlah kegiatan bertani yang di Jawa cukup menggantungkan diri pada keadaan musim yang tentu saja tak ada seorang pun yang mampu mengendalikannya secara permanen. Dengan segala keterbatasannya itu, maka kegiatan nyawang karep akan lebih dapat terstruktur sehingga manajemen resiko, yang dalam kawruh beja mampu mengantarkan para pelakunya untuk tak terhanyut pada bungah-susah atau suka-duka, akan lebih dapat disigapi.

Tak sebagaimana profesi lainnya yang tak menggantungkan diri pada keadaan musim atau alam. Bertani atau mengolah tanah, secara paradigmatik, sebenarnya memang sebuah profesi yang tak pernah menempatkan para pelakunya untuk berhadapan atau bahkan menundukkan alam. Karena sudah pasti ketika alam itu tertundukkan lambat-laun manusia pun akan terancam keberadaannya.

Tentu, pada dasarnya, terkait dengan kegiatan nyawang karep tak melulu dapat diterapkan pada aktifitas mengolah tanah atau sawah. Namun yang pasti, melalui kiprah Ki Gedhe Bringin yang pernah tanpa gengsi bertani, citra profesi tani pernah dan barangkali akan terus dapat membuat wirang para pendamba gebyar kehidupan, tampilan parlente dan omong besar. Wis wani wirang?

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article