jfid – Seekor kucing betina tiba-tiba menggigit leher anak-anaknya satu persatu dan kemudian membawanya ke tempat yang lebih tersembunyi. Perilaku kucing betina ini adalah salah bentuk mekanisme untuk mempertahankan kehidupan anak-anaknya dari incaran kucing-kucing pejantan. Mekanisme perlindungan dan pertahanan diri semacam ini merupakan naluri yang bersifat innate yang untuk terjadinya tak perlu pengajaran di baliknya.
Dalam bahasa agama perilaku-perilaku kucing itu disebut sebagai bagian dari sunatullah. Secara sepintas lalu, perilaku kucing tersebut seperti halnya mematahkan pandangan bahwa binatang itu bersifat liar. Sementara banyak fakta yang menyajikan bahwa binatang ternyata cukup mengerti untuk tak bersikap liar sebagaimana yang kita angankan. Seekor kucing tiba-tiba bersikap manja dan menyentuhkan tubuhnya ke kaki tuannya yang sedang makan. Kalau kucing itu liar, kenapa ia tak langsung saja mencakar tuannya dan langsung merebut makanannya? Apakah perilaku kemengertian si kucing itu dalam bahasa agama dapat pula dikatakan sebagai sebentuk akhlak? Seandainya apa yang dilakukan oleh si kucing dapat dikatakan sebagai sebentuk akhlak lantas kenapa manusia mesti dituntut untuk belajar atau diajari, sementara para binatang seolah dapat berperilaku demikian secara alamiah?
Nabi Muhammad konon diutus untuk menyempurnakan akhlak dimana sebelum ia terang-terangan mengubah masyarakatnya banyak perilaku disekitarnya yang barangkali lebih liar dari perilaku para binatang, taruhlah salah satu kasus dimana sahabatnya pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Jelas, perilaku salah satu sahabat nabi itu akan dikategorikan sebagai tak berakhlak yang baik. Ketika ada istilah akhlak yang baik, maka ada pula akhlak yang buruk. Dengan demikian, misi kenabian Nabi Muhammad tentu saja adalah mentransformasikan akhlak-akhlak yang dianggap buruk untuk menjadi baik.
Namun, di hari ini, seperti tak ada pemilahan pada istilah akhlak. Ketika orang ingin berbicara tentang perilaku yang baik tanpa berpikir panjang ia pun langsung berkotbah tentang akhlak atau mengajari tentang pelajaran akhlak. Ada anggapan bahwa istilah akhlak dengan sendirinya berarti perilaku yang baik, padahal ada juga perilaku yang dianggap buruk.
Sangat berbeda ketika membedah persoalan akhlak dengan perspektif budaya. Dalam khazanah budaya Jawa istilah akhlak itu sepadan dengan istilah budi pekerti. Istilah budi sendiri tak semata berarti nalar (reason) sebagaimana dalam kultur Barat modern. Seperti dalam Paguyuban Sumarah, istilah budi cukup terpilah dengan istilah angen-angen atau pikiran yang dekat dengan nalar yang bersifat berubah-ubah atau ragu. Hal ini menandakan bahwa budi bukanlah akal pikiran sebagaimana yang kita pahami. Dapat dikatakan bahwa budi adalah pikiran yang sudah bening dimana angan (angen-angen) sudah tak bertingkah.
Dari pengertian budi tersebut, maka istilah budi pekerti kemudian dapat diartikan sebagai perilaku atau pekerti yang terbit dari pikiran yang bening dan stabil. Dari pengertian budi pekerti ini seolah ada sesuatu yang bersifat innate atau tanpa bentukan dimana ketika manusia dapat mencapai budi atau pikiran yang bening tersebut secara otomatis output perilaku yang muncul akan terasa pas dengan keadaan yang melingkupinya. Sehingga manusia itu akan disebut sebagai manusia yang berbudi-pekerti, berbudi, atau orang budiman—atau dalam bahasa agama disebut sebagai orang yang ber-akhlaqul karimah.
Di sinilah kemudian misteri akhlak sebagai jembatan antara makhluk dan khalik dari Ibn ‘Arabi terpecahkan. Bahwa orang yang disebut berbudi adalah orang dimana segala perilakunya, baik luar maupun dalam, sudah menyatu dengan budi-nya sehingga segala hal yang keluar darinya, segala perilakunya, seolah selaras dengan kehendak alam maupun kehendak Tuhan. Jadi pada akhirnya, berbicara akhlak adalah berbicara tentang bagaimana menyelaraskan kehendak manusia (mikrokosmos), yang merupakan bagian dari alam (makrokosmos), dengan kehendak Tuhan. Bukankah dalam bahasa agama, konon Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri mengubahnya? Bukankah bencana-bencana alam maupun kemanusiaan yang terjadi—banjir, longsor, gunung meletus, ketegangan sosial, perang, dst.—sering secara klise dilukiskan sebagai ulah manusia sendiri yang tak selaras dengan tertib sosial maupun tertib kosmos? Dan bukankah makna istilah Arab al-Din tak semata berarti agama, namun juga perilaku yang baik?