Denguh Lirih Pada Sehelai Sirih: Problematika Analogi dan Metafora dalam Filsafat Ketuhanan

Heru Harjo Hutomo
7 Min Read
"Autochthony," 60x100 cm, kapur di atas Papan, Heru Harjo Hutomo
"Autochthony," 60x100 cm, kapur di atas Papan, Heru Harjo Hutomo

jfID – Korban mengisyaratkan adanya keikhlasan, sebuah laku yang berat tentu saja, atas tugas yang diamanatkan. Pada kasus Ibrahim dan putranya, Ismail, keikhlasan ini berkaitan dengan tugas dari Tuhan. Anak lanang Bapak monoteisme itu disuruh disembelih, dikorbankan. Tak jelas apa kemauan Tuhan waktu itu.

Keikhlasan dalam kasus Ibrahim dan Ismail adalah semata keikhlasan tanpa adanya hitungan. Tak ada olah nalar, tapi semata iman yang tak membutuhkan pertanyaan. Pada kasus Ibrahim keikhlasan ini berhubungan dengan “kemelekatan.” Adapun pada kasus Ismail berkaitan dengan “keadilan” yang ternyata bukanlah soal proporsi.

Barangkali, lenyapnya rasa kemelekatan Ibrahim inilah yang menjadikannya, secara sufistik, seorang Bapak monoteisme. Berbicara Tuhan adalah berbicara tentang hijab, sesuatu yang pelik, tersebab pembicaraan atasNya pun merupakan hijab tersendiri. Ada satu bait dari Serat Wedhatama terkait hijab ini.

Tan samar pamoring suksma

Sinuksmaya winahya ing ngasepi

Sinimpen telenging kalbu

Pambukaning warana

Tarlen saking liyep layaping aluyup

Pindha pesating sumpena

Sumusup ing rasa jati

Tiada samar kumpulnya suksma

Manunggal dalam keheningan

Dipendam di pusat jantung

Tersingkapnya hijab

Tak ubahnya kantuk yang tak berujung lelap

Mimpi yang melesat

Menghunjam rasa hakiki

Pada sepupuh tembang pangkur itu membicarakan Tuhan dilakukan secara via analogia. Tapi pada kasus Ibrahim dan Ismail adalah secara via purgativa. Rasa kemelekatan Ibrahim pada Ismail merupakan sebentuk hijab yang mesti disingkap. Hal ini menyiratkan bahwa Tuhan tak menyukai adanya hijab. Terkadang, manusia sendiri yang justru menghijabNya.

Ada yang menarik pada titik ini saya kira: perihal maqam. Maqam Ismail terkesan lebih unik daripada maqam Bapaknya. Ibrahim perlu untuk menyembelih obyek kemelekatannya demi kekaribanNya, tapi Ismail mengikhlaskan dirinya sendiri untuk disembelih agar tak menjadi hijab antara kekariban Bapaknya dengan TuhanNya. Terlebih, bagi Ismail, hijab teragungnya adalah dirinya sendiri. Ia rela difanakan demi yang baka.

Problem filsafat ketuhanan pun lahir tepat pada titik ini, pada bentuk via analogia: perihal di mana kemudian letak Tuhan, baik dalam konteks teisme—yang secara umum corak tasawuf yang menganutnya disebut akhlaqi atau ahlus sunah dengan analoginya tentang “Abdullah” atau “Abduhu”—maupun panteisme—yang lazimnya corak tasawuf yang menganutnya dilabeli sebagai wujudiyah dengan analogi di sekitar konsep “manunggaling kawula-Gusti (ittihad) seperti “lautan dan ombaknya.”

Melalui bentuk via negativa, saya kira kedua macam analogi, baik pada tasawuf ahlus sunah maupun wujudiyah, sama-sama menyisakan pertanyaan yang tak gampang untuk diselesaikan. Analogi manusia sebagai “Abdullah” atau “Abduhu” pada akhirnya tak dapat menjawab pertanyaan di mana letak Tuhan kemudian. Pada istilah dan konsep “Hamba Tuhan” atau “HambaNya,” sesebutan “Tuhan” pun tak jelas benar merujuk pada apa, bagaimana mungkin orang lalu bisa berkesimpulan bahwa ia adalah “HambaNya”? Demikian pula pada corak tasawuf yang dilabeli sebagai wujudiyah, pada analogi “lautan dan ombaknya” yang manakah kemudian “Tuhan”-nya? Bukankah dengan menganalogikan relasi antara Tuhan dan insan laiknya “lautan dan ombaknya” transendensi yang menjadi dalil pertama atau premis awal kedua bentuk filsafat ketuhanan itu, secara logis, menjadi gugur dengan sendirinya yang otomatis akan membuat kesimpulannya cacat?  

Tasawuf ahlus sunah dan wujudiyah kerap pula menggunakan bentuk kata ganti ketiga tunggal untuk menjaga transendensi Tuhan yang laisa kamitslihi sya’iun (tan kena kinaya ngapa) atau layukhayafu (tan kena cinakrabawa). Sehingga, sebagai konsekuensi retoris-logis, pada akhirnya manusia hanyalah sekedar “Hamba.” Di sinilah kemudian saya kira, untuk memanfaatkan kekosongan atau celah itu, ketika istilah “Tuhan” tak jelas benar mengacu pada apa, “Tuhan” pun dianalogikan sebagai “Sang Sultan,” “Sang Raja,” ataupun “Gusti” dan seperti dalam ungkapan “Ngarsa Dalem Allah,” untuk—sebermulanya—agar tak kejauhan dan memudahkan pemahaman. Tapi celakanya, ketika pada konteks politik “Sang Sultan” atau “Sang Raja” di sini adalah seorang tiran dan despotik, maka para hambanya pun terbentuk jiwanya untuk tak punya daya berontak pada ketakadilan, dan akan mengembalikan ketakadilan itu pada bidang teologi jua dengan memaknainya sebagai sebentuk ujianNya.

Pertanyaan tentang letak “Tuhan” dalam berbagai bentuk analogi selama ini memang tak mudah untuk dipetakan apalagi dijawab dengan meyakinkan. Tapi ada satu ungkapan Jawa, dan bukannya analogi, yang saya kira dapat memetakan hal tersebut: “suruh lemah lan kurebe, ginigit tunggal rasane.” Suruh adalah daun sirih yang dalam khazanah budaya Jawa masa silam sering digunakan untuk nginang: mengunyah campuran daun sirih, tembakau atau susur, dan gamping yang membuat mulut tampak memerah dan gigi tumbuh menguat bebas dari segala bakteri.

Pada ungkapan Jawa “suruh lumah lan kurebe, ginigit tunggal rasane,” yang saya kira, terkait dengan filsafat ketuhanan, sama sekali tak bercorak teistik maupun panteistik, “Tuhan” di sini sama sekali tak terletak baik pada sisi muka (lumahe) maupun sisi belakang (kurebe) daun sirih, tapi pada makna atau surasa yang tak mewujud atau mematerialisasi pada sisi muka maupun sisi belakang daun tersebut. Dengan demikian, pada ungkapan ini, dapat dimengerti bahwa “Tuhan” sama sekali bebas dari penisbahan pada sesuatu yang bukan “Dia,” sebagaimana yang dialami oleh pendekatan analogis dan juga metaforis. Itulah kenapa ungkapan perihal suruh atau daun sirih ini tak saya damik sebagai sebentuk analogi dan bahkan pun metafora tentang “Tuhan.” 

Dengan demikian, kembali berkaca pada kasus Ismail, keadilan—dalam hubungannya dengan Tuhan—bukanlah sebentuk keadilan proporsional. Menuntut hak pada Tuhan adalah sebentuk kepongahan, tak tahu adab. Masihkah Ismail pantas menuntut haknya pada Tuhan ketika daya untuk menuntut itu pun adalah kasih dan karuniNya juga?

(Heru Harjo Hutomo/ Penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article