Politik Tahu Diri; Tentang Kemungkinan Membudayakan Kontrak Politik

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jf.id – Di pedesaan Jawa umumnya berkembang sebuah kebiasaan yang dinamakan “pulihan.” Masyarakat lazimnya memandangnya sebagai sesuatu yang negatif atau secara moral buruk. Sebab, pulihan tersebut merupakan syarat tak tertulis agar seorang pemimpin memiliki kinerja sebagaimana mestinya. Adakalanya masyarakat yang merasakan bahwa desanya tak begitu berkembang sebagaimana mestinya, padahal desa di masa sekarang—dengan adanya UU Desa dan dana desa—lebih mudah untuk dikembangkan, akan menggerutu bahwa lurah dan jajarannya sedang mencari pulihan.

Memang, secara kalkulatif, biaya politik di negeri ini tak murah. Paling tidak, seorang lurah mesti menghabiskan biaya politik yang tak sebanding dengan pendapatan mereka andaikata nanti terpilih. Tapi budaya pulihan ini memang tak melulu sebuah “kesalahan” para pemimpin. Di banyak pedesaan, sedari dulu pola pikir yang berkembang adalah selalu bahwa suara mereka bukanlah gratisan.

Setali tiga uang dengan pemilihan legislatif (pileg) yang, ketika diberlakukannya sistem proporsional terbuka, seorang caleg mesti menghabiskan biaya politik yang tak sedikit. Sungguh berbeda ketika, saya masih ingat, (alm.) Bapak saya, H. Eko Suprayitno, mencalonkan diri sebagai anggota DPRD II di mana masih menggunakan sistem proporsional tertutup, ia tak banyak mengeluarkan biaya politik. Sebab, kelebihan dari sistem proporsional tertutup ini adalah dijadikannya kapabilitas dan kiprah seorang caleg selama ini sebagai salah satu bahan penilaian dan sempitnya ruang bagi adanya money politic sebagaimana pada sistem proporsional terbuka. 

Ada anggapan bahwa seorang politisi memang harus berorientasi pada kekuasaan. Tapi yang menjadi masalah adalah setelah ia meraih kekuasaan itu bagaimana kemudian ia mesti bertanggungjawab pada, khususnya, konstituennya. Tentu, dengan biaya politik yang terbilang tak banyak ketika mencalonkan diri, (alm.) Bapak saya ketika berhasil menjadi seorang anggota dewan berupaya sebaik mungkin memberdayakan, khususnya, konstituennya yang mayoritas dari kalangan koperasi, PKB dan nahdliyin. Kala itu, lewat anak-anak muda di kalangan PKB dan nahdliyin, ia membentuk bidang-bidang usaha yang selama ini menjadi wilayah garapannya: koperasi. Di tingkat kepengurusan NU kecamatan kebetulan ia juga mengurusi masalah perekonomian. Artinya, dalam pertanggungjawabannya sebagai seorang yang didukung dan berhasil meraih dukungan itu, ia memberikan semacam kompensasi pada basis masanya sesuai dengan kapasitas dan keahliannya. Di bidang koperasi (alm.) Bapak saya telah memiliki pengalaman selama 19 tahun yang cukup, ketika ia masih menjabat, membuat berbagai program pemberdayaannya pada konstituennya berkelanjutan.

Ad image

Pada titik ini, yang ingin saya katakan, adalah tentang kemungkinan dibudayakannya sebuah kontrak politik untuk menghilangkan budaya pulihan dan meminimalisir biaya politik sekaligus potensi-potensi terjadinya korupsi. Sehingga secara etis, karena kontrak politik itu, ketika para pemimpin dipandang gagal ia mesti tahu diri untuk mundur dan memberikan kesempatan pada yang lainnya untuk memimpin. Secara etis pula, karena kontrak politik itu, mundurnya seorang pemimpin yang dipandang gagal bukanlah sebentuk hal yang memalukan. Justru, sikap konsekuen ini secara moral-kultural akan menunjukkan kebesaran hati dan jiwa keksatriannya. Dan secara personal, karena kontrak politik yang meminimalisir biaya politik, tak perlu ada yang disesali. Sebab ia, dalam paradigma ini, semata menjalankan amanah.

Budaya yang berlaku di Indonesia sebenarnya adalah budaya kesatriaan. Seumpamanya saja seorang yang merasa bersalah, dinyatakan bersalah, dan secara jantan mengakui kesalahannya tersebut, secara moral-kultural ia justru akan lebih dihormati daripada yang terus-menerus berkilah dan bersilat lidah. Logikanya sama pula dengan seorang pemimpin atau politisi, ketika ia tak cakap dalam bekerja atau tak mampu memenuhi kontrak politiknya alias dinyatakan gagal dan kemudian memilih sikap etis untuk tahu diri, maka sejarah justru akan meninggikannya daripada sebelumnya.

- Advertisement -
Share This Article