Politik Gentong Babi: Menjamu Rakyat dengan Ampas Kekuasaan

ZAJ
By ZAJ
4 Min Read
Politik Gentong Babi: Menjamu Rakyat dengan Ampas Kekuasaan
Politik Gentong Babi: Menjamu Rakyat dengan Ampas Kekuasaan

jfid – Politik gentong babi, frasa jenaka bernuansa pahit. Ibarat babi yang berebut makanan di dalam gentong, frasa ini menggambarkan praktik politik busuk yang mengumbar janji dan proyek demi meraup suara rakyat. Sebuah ironi di tengah cita-cita demokrasi yang luhur.

Asal-usulnya berakar dari sejarah kelam perbudakan di Amerika Serikat. Para politisi menjamu para pemilih dengan minuman keras dan daging babi untuk mendapatkan suara mereka.

Tradisi barbar ini, meskipun telah berevolusi, masih hidup subur di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Politik gentong babi menjelma menjadi berbagai bentuk, bagaikan monster berkepala banyak. Iming-iming proyek pembangunan yang tak jelas juntrungannya, suap terselubung, hingga korupsi yang menggerogoti uang rakyat menjadi santapan politikus rakus.

Politisi bagaikan pesulap ulung, menjanjikan bulan dan bintang demi kursi kekuasaan. Realitanya, rakyat hanya disuguhi ampas janji dan realitas pahit.

Lihatlah Pak Lurah yang getol membangun taman di setiap sudut desa, namun tak kunjung menyelesaikan jalan berlubang yang menghambat aktivitas warga.

Atau Ibu Camat yang rajin bagi-bagi sembako menjelang pemilihan, namun setelah terpilih, rakyat kembali dilanda kelaparan.

Politik gentong babi mereduksi makna demokrasi menjadi pertarungan perut, bukan adu gagasan dan ide.

Politik gentong babi bagaikan virus yang menjangkiti tubuh demokrasi, menggerogoti kepercayaan rakyat dan mereduksi makna demokrasi itu sendiri.

Politisi yang terjebak dalam lingkaran setan ini tak ubahnya parasit yang hidup dari inang, menghisap darah rakyat demi kepentingan pribadi. Mereka bagaikan serigala berbulu domba, menipu rakyat dengan janji-janji manis.

Survei Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia masih terjerat dalam lingkaran korupsi yang tinggi.

Politik gentong babi menjadi salah satu faktor utama yang menghambat kemajuan bangsa. Sebuah penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi.

“Politik gentong babi adalah bentuk penipuan terhadap rakyat,” kata Fahri Hamzah, politisi yang dikenal kritis.

“Rakyat diiming-imingi dengan janji-janji manis, namun setelah terpilih, para politisi hanya memikirkan perut mereka sendiri.”

“Politik yang baik adalah politik yang mementingkan rakyat, bukan politik yang mementingkan kepentingan pribadi,” kata Nelson Mandela, ikon demokrasi Afrika Selatan.

Politik gentong babi bukan sekadar permainan politik yang kotor. Dampaknya merembes ke berbagai aspek kehidupan.

Pembangunan terhambat, rakyat termiskinkan, dan demokrasi tercederai. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah runtuh, digantikan oleh rasa frustrasi dan apatisme.

Sudah saatnya rakyat bangkit dan melawan praktik busuk ini. Kita harus menuntut politisi untuk bertanggung jawab atas janji-janjinya dan memastikan bahwa suara rakyat tidak dibeli dengan ampas kekuasaan.

Pendidikan politik bagi rakyat dan kontrol yang ketat dari lembaga-lembaga terkait menjadi kunci untuk membasmi politik gentong babi.

Kita perlu membangun budaya politik yang sehat, di mana rakyat menjadi aktor utama, bukan objek yang dieksploitasi.

Hanya dengan membasmi politik gentong babi, kita dapat membangun demokrasi yang adil dan sejahtera, di mana rakyat menjadi tuan atas nasibnya sendiri.

Politik gentong babi adalah penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi. Namun, dengan kesadaran dan tekad rakyat, penyakit ini dapat disembuhkan.

Mari kita bersama-sama membangun demokrasi yang sehat dan bebas dari politik gentong babi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article