The Nun: Ketika Kebejatan Berbalut Kesucian

Heru Harjo Hutomo
21 Min Read
(sumber wolipop.detik.com)

jfID – Seorang biarawati ditemukan tewas tergantung di depan pintu biara Sint. Carta, Rumania. Jazadnya ditemukan oleh seorang pemuda yang merupakan pemasok bahan makanan. Dikisahkan peristiwa itu meresahkan institusi gereja di Vatikan. Mereka mengirim dua utusan untuk menyelidiki peristiwa tersebut: seorang biarawan, Father Burke (Demián Bichir) dan seorang calon biarawati, Novisiat Irene (Taissa Farmiga).

Berbagai fenomena yang janggal kemudian mereka saksikan. Pertama, mereka menemukan darah segar di tangga pintu masuk biara. Kedua, adalah mayat biarawati yang disimpan oleh Frenchie, sang pemuda pemasok bahan makanan, juga mengalami kejanggalan. Kepada kedua utusan gereja itu ia mengaku jika mayat biarawati yang ia simpan di ruang penyimpanan makanan tiga tahun lalu posisinya berbaring, tapi saat pemeriksaan, posisi si mayat tiba-tiba terduduk.

Sontak hal itu membuat kedua utusan Vatikan merasakan adanya kejanggalan. Sayangnya, proses investigasi tak langsung dapat dilakukan. Hal tersebut terhalang oleh aturan biara, di mana para penghuni biara tak diperkenankan untuk “berbicara.” Aturan itu berlaku untuk semua penghuninya. Suster kepala biara yang misterius, yang mereka temui di balairung biara, menjanjikan bahwa proses investigasi akan dapat dilakukan keesokan harinya. Ia mempersilahkan kedua utusan Vatikan itu menginap di dalam kapel (gereja kecil) yang terletak di luar biara utama.

Malam itu mereka mulai merasakan berbagai pengalaman ganjil sebagai awal dari teror gelap yang telah menghantui biara itu sejak lama. Berbagai peristiwa aneh kemudian dialami oleh kedua utusan Vatikan tersebut. Pertama, Father Burke mengikuti sosok seorang anak lelaki sampai ke makam. Di sana ia tiba-tiba masuk ke dalam sebuah peti mati yang telah lama terkubur. Kedua, adalah Suster Irene yang menyaksikan bayangan sosok biarawati dengan wajah mengerikan di dalam kapel melalui cermin sebelum cermin itu pecah. Demikianlah akhirnya keduanya menyadari bahwa kasus gantung diri biarawati tersebut bukanlah kasus bunuh diri biasa, tapi kasus itu berhubungan dengan kekuatan jahat dan gelap yang menghantui tempat itu sejak lama.

Penyelidikan Biara Sint. Carta dalam Film The Nun

Telisik punya telisik, ternyata kedua utusan Vatikan yang dikirim ke biara Encarta bukanlah biarawan biasa. Father Burkeadalah seorang imam yang ditugaskan sebagai biro penyelidik fenomena supranatural yang berhubungan dengan doktrin Katolik. Ia ditugaskan untuk mendeteksi apakah biara Sint. Carta masih suci atau sudah tercemar. Sementara Novisiat Irene adalah calon biarawati yang oleh pihak gereja dipandang memiliki kemampuan untuk mengenali wilayah (territory) yang akan di datangi. Kemampuan Novisiat Irene terkait pengenalan wilayah berhubungan dengan kemampuannya melihat berbagai fenomena supranatural. Ia mampu bercakap-cakap dengan arwah dan selain itu ia memiliki pula kode untuk menemukan kembali relik kuno “darah Kristus” yang dipercaya dapat menutup kembali gerbang neraka. Sejak kanak-kanak ia selalu bermimpi dan di akhir mimpi itu selalu ada kata-kata yang terdengar sama: “Marry point a way” (Maria menunjukan jalannya).

Biara Sint. Carta memiliki kisah kelam pada masa silam. Novisiat Irene menemukan bahwa di masa lalu tempat itu adalah kastil seorang bangsawan yang melakukan ritual pemujaan setan, yang kemudian ritual itu dilarang oleh pihak gereja. Sang bangsawan kastil (the Duke) melakukan ritual di ruang bawah tanah kastil. Ritual yang dimaksud adalah ritual pengorbanan manusia yang bertujuan untuk membuka “gerbang neraka.”

Dikisahkan lama-kelamaan aktivitas itu diketahui oleh pihak gereja Vatikan. Pihak gereja akhirnya mengirimkan tentara dan seorang pendeta untuk menghentikan aktivitas yang dianggap bid’ah tersebut. Mereka lalu mengeksekusi sang bangsawan dan menyegel pintu neraka dengan menggunakan relik darah Kristus. Maka sejak saat itu, untuk menyucikan kastil yang penuh dengan nuansa kegelapan, tempat itu diubah Vatikan menjadi sebuah biara. Proses penyucian dilakukan dengan melakukan doa yang tak kunjung putus oleh para biarawati dalam kehidupan selibat (tak menikah). Mulai saat itu keadaan tanah kastil kemudian berangsur-angsur suci.

Kesucian biara berubah sejak perang dunia II. Peristiwa pemboman pesawat Nazi di sekitar area biara berdampak pada terbukanya gerbang neraka. Demikianlah nuansa teror di masa lalu bangkit kembali. Novisiat Irene dalam investigasinya mendengarkan adanya kisah sosok biarawati yang berjalan di lorong-lorong biara pada malam hari dan menyebarkan teror dan kengerian ke seluruh penghuni biara. Biarawati yang dimaksud digambarkan sebagai sosok yang mengerikan dan tak menampakan kesan suci. Sejak saat itu, satu persatu biarawati yang tinggal dalam biara mengalami berbagai gangguan yang berujung pada kematian. Dengan kata lain, mereka masuk dalam penguasaan sosok yang berwujud biarawati tersebut.

Pada penyelidikan yang lain, Father Burke menemukan kebenaran kisah ketaksucian tanah biara. Ia membaca dan menemukan berbagai informasi tentang ritual pemanggilan iblis, yang kemudian dikenal sebagai Valak, yang dilakukan oleh Duke Encarta dalam dokumen yang  ditemukan di sebuah peti mati. Sang pastor akhirnya menemukan penjelasan tentang apa dan siapa Valak tersebut:  “And out of the ground formed every beast of the field and every birth of the sky. Whatever the man called demon creature, that was is name. Valak the defiler, The profane, the marquis of snake (dan bangkitlah dari dalam bumi dan langit sesuatu yang terbentuk darinya binatang-binatang buas. Apapun yang manusia panggil sebagai iblis, itulah namanya, Valak sang pencemar, sang pangeran ular).”

Struktur Teritori Diskursus “Teror” Dalam Film The Nun

Film, tak pelak lagi, adalah salah satu karya seni yang tak hanya dapat ditonton ataupun diulas. Tapi bagi kami, ia juga sebentuk perkakas (tool) laiknya sebilah pisau yang berguna untuk mengupas sebuah apel. Kami pernah meletakkan film sebagai sebuah perkakas, media untuk membongkar sesuatu, “Vantage Point: Menakar Gerakan Makar ‘12.00’,” Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://www.idenera.com. Dalam film itu, seumpamanya, kami menemukan “cara-cara baru” bagaimana gerakan terorisme kontemporer semacam IS (Islamic State) membangun dan melancarkan aksi-aksinya (“Bertolak Dari Yang Ada,” Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

The Nun, sebuah film yang dibesut oleh Corin Hardi, bagi kami adalah sebentuk racikan bagaimana kebejatan atau keterkutukan yang berbalut kesucian dapat terjadi sehingga pada akhirnya kebejatan itu akan dianggap sebagai sebuah kewajaran, ataupun ketika terbongkar, akan dengan mudahnya mendapatkan pemafhuman. Tak jarang kebejatan yang dibalut dengan topeng-topeng keagamaan akan dapat berlangsung lama, setidaknya itulah yang mereka harapkan. Karena, atas nama agama, atas nama kesucian, anything goes, tak peduli andaikata kebejatan tersebut telah banyak memakan korban, subyek-subyek yang sediam wayang, dan melanggengkan kemapanan kekuasaan bejat tertentu.

Secara sederhana kami melihat ketika agama sudah jatuh pada wilayah yang profan, pada wilayah politik misalnya, ketika itu pula ia sudah kehilangan sakralitasnya. Ketika sudah menginjak pada ranah politik dalam arti machiavellian (baca: peraihan kekuasaan), ulama atau biarawan/wati sealim apapun, kyai atau romo sesaleh apapun, ustadz atau pastor seberpengaruh apapun, bahkan wali atau santo sesakti apapun, tak ada lagi yang suci. Setiap hujah yang keluar dari mulut basahnya, secara dekonstruktif, hanyalah semacam teks yang menyembunyikan motif bejat tertentu: peluhuran diri sendiri dan perendahan terhadap liyan. Tak pelak lagi, bencana dan memudarnya kewibawaan agama bermula dari hal-hal seperti ini: “masturbasif,” sok benar, sok suci, dan dumeh—hingga saking gobloknya mereka lupa bahwa tanpa sesuatu yang mereka liyan-kan tersebut, mereka sendiri tak ada artinya. Karena itu, segala sesuatunya akan berbalik pada saatnya, ketika seseorang berada pada titik ekstrim, selangkah lagi ia akan membunuh dirinya sendiri.

Dari perspektif Deluzian, wilayah (territory) tak hanya terkait dengan wilayah sebagai bentuk fisik, melainkan juga menyangkut wilayah sebagai bentuk mental dengan karateristik yang khusus. Kata wilayah atau teritori mengandung makna surface atau bentangan suatu keadaan yang mencakup ruang yang memunculkan nuansa tertentu terhadap lingkungan. Dalam hal ini ruang yang dimaksud memiliki berbagai kualitas yang menimbulkan berbagai tindakan yang sifatnya sangat kualitatif. (“Chaos Cosmos, territory, Architecture,” Gilles Deleuze, dlm. Chaos, Territory, Art: Deleuze and the Framing of the Earth, (ed.) Elizabeth Grosz, Colombia University Press, Hlm: 11-13).

Sedangkan dari perpektif Foucaultian, teritori di sini adalah semacam tata ruang sekaligus tata pengetahuan dan tata kekuasaan. Ketika, seumpamanya, mihrab sebagai ruang khusus sang imam pada bangunan masjid atau langgar. Ia tak hanya mencerminkan ruang atau tempat di mana sang imam memimpin para jemaatnya yang berada di ruang belakangnya. Tapi mihrab tersebut adalah juga sepetak ruang di mana sang imam memiliki kekuasaan atas jemaatnya yang berada di ruang belakang, kanan dan kirinya. Segala kata-kata yang ia ucapkan akan diamini dan segala gerakan tubuhnya akan diikuti. Sebodoh, sepintar ataupun sebejat apapun orang yang bersangkutan, ketika ia berada di mihrab itu, jemaatnya akan mengikutinya tanpa reserve. Batal atau tak batalnya sang imam akan menentukan batal atau tak batalnya keseluruhan jemaatnya dan tidak pernah yang sebaliknya. Inilah contoh sederhana bagaimana teritori fisik (tata ruang) mencerminkan pula teritori mental (tata pengetahuan/kekuasaan) dan sebaliknya.

Dalam film The Nun biara Encarta di Rumania adalah sebuah teritori di mana berbagai teror yang dilakukan sang pangeran ular, Valak, bekerja. Ia memanfaatkan seluruh ruang di wilayah biara tersebut untuk menciptakan teror “mental” pada manusia-manusia yang terjebak pada formasi ruang biara. Dapat kita lihat dalam film itu berbagai ruang di mana ia biasa menampakkan keberadaannya, dari mulai kapel yang terletak di luar kastil sampai dengan ruang doa utama di dalam biara. Dengan kata lain, Valak menciptakan habitat tempat dirinya hidup dan berkembang di lingkungan biara Rumania.

Film The Nun mengambarkan sosok Valak sebagai representasi diskursus teror yang memanfaatkan berbagai simbol keagamaan yang dianggap sakral (suci). Diskursus kengerian yang berwujud suara-suara gaib dan penampakan-penampakan yang bertujuan untuk meneror dan “memakan” jiwa-jiwa manusia yang telah terperangkap dalam jejaring teritori yang telah terbentuk. Dalam hal ini, ruang bawah tanah bekas kastil menjadi pusat segala teror dan horor. Sebagaimana yang tersaji di awal film di mana dua orang biarawati yang mencoba masuk ke dalam ruang bawah tanah untuk mengambil relik. Kita dapat menyaksikan pada pintu masuk ruang bawah tanah tersebut terdapat penggalan kalimat: “Finit Hit Deo (Tuhan berakhir di sini).” Kalimat tersebut akhirnya memiliki makna yang ganda. Di satu sisi, bahwa di balik pintu itu terdapat sebuah neraka yang tak seorang pun mampu menolong. Tapi di lain sisi, tempat itu pun adalah tempat di mana relik darah Kristus yang mampu mengalahkan kebejatan dan kekuasaan teror sang pangeran ular disimpan.

Diskursus Kengerian dan Teror Dalam Film The Nun

Dalam film The Nun, digambarkan bahwa Valak berusaha untuk menguasai jiwa-jiwa manusia. Ia memakai biara Sint. Carta sebagai jebakan agar mendapatkan tubuh yang tepat untuk dirasuki. Pada titik ini ditunjukkanlah bagaimana diskursus teroristik—karena menciptakan kengerian dan ketakutan—Valak membentuk subyek-subyek yang patuh (the docile bodies). Bentuk teror yang dihadirkan dalam film ini meliputi tiga tahap: mengganggu, menekan, dan merasuki. Setiap tahap memperlihatkan bagaimana Valak berusaha mencari tubuh-tubuh yang dapat ia pakai sebagai “inang” dalam menjalankan berbagai aksi dan kepentingannya.

Pertama, adalah tahap mengganggu manusia yang menjadi targetnya. Kita dapat melihat bagaimana Valak memilih target yang sesuai dengan standarisasinya. Aktivitas mengganggu yang muncul dalam film ini dapat dilihat dari berbagai “trik” pada bebagai peristiwa yang membingungkan si target. “Trik” yang dimaksud muncul dalam berbagai “tanda”: suara tanpa rupa, bayangan hitam yang tiba-tiba menghilang, wajah yang tiba-tiba muncul, lampu yang tiba-tiba padam, atau kemunculan berbagai obyek yang sekilas melampaui nalar. Trik itu tampak pada berbagai adegan yang berlatar ruang bawah tanah (catacombe) kastil. Father Burke, Novisiat Irene dan Frenchie mengalami berbagai perjumpaan dengan berbagai objek misterius yang sifatnya visual (penampakan roh-roh mengerikan) ataupun auditif (teriakan, perendahan, dan tekanan). Pada tahap ini teror yang berlangsung, karena sifatnya diskursif, adalah sejenis teror kejiwaan yang bersifat mendikte dan menjatuhkan mental si target agar menjadi budak-budaknya, tubuh-tubuh yang sediam wayang.

Kedua, adalah tahap menekan si target dengan cara-cara fisik. Dalam film The Nun, teror fisik Valak terlihat dalam berbagai adegan di mana si target mengalami pengalaman fisik yang sangat khusus, seperti Novisiat Irene yang tiba-tiba menerima luka cambukan berbentuk “pentagram” saat ia dipaksa oleh para biarawati yang sudah menjadi para “inang” si Valak untuk berdoa dan melayani apapun yang diminta. Aktivitas dalam film tersebut dapat direprentasikan sebagai proses menekan secara fisik yang dilakukan oleh si pangeran ular dengan cara mengurung si perempuan calon biarawati itu dengan “drama” yang mengesankan bahwa Valak sungguhlah kuat dan berkuasa seperti halnya Tuhan. Melalui drama itu, Valak hendak membangun logika yang mengarahkan Novisiat Irene untuk melakukan penyerahan diri atau untuk tak melawan kebejatan yang berbungkus kesucian (agama). Dari perspektif ini, maka cara kerja si pangeran ular dalam menjaring targetnya adalah melalui para biarawati yang telah lebih dulu menjadi “inang”-nya, atau dalam bahasa jejaring dan pergerakan, menjadi agen-agennya. Para inang tersebutlah, dengan bahasa-bahasa keagamaan yang terkesan suci, yang kemudian menyuguhkan si target pada si pangeran ular untuk di-“makan” (diinisiasi).

Ketiga, adalah tahap merasuki si target. Tahap ini terdapat pada adegan menit 1:23:08 di mana Novisiat Irene berhasil dirasuki oleh Valak. Novisiat itu pun kerasukan di tengah lingkaran pentagram. Tubuh yang telah kerasukan akhirnya digambarkan memperoleh kekuatan-keuatan tertentu, seumpamanya novisiat Irene yang dapat melemparkan tubuh si Frenchie tanpa harus menyentuhnya. Hal ini tentu saja tak mungkin dilakukan dalam kondisi normal. Adegan tersebut adalah sebentuk pengambaran bagaimana diskursus telah berhasil menguasai manusia secara keseluruhan, mulai dari menciptakan ketakutan dan kecemasan pada wilayah mental hingga tekanan-tekanan fisik pada tubuhnya. Tubuh-tubuh yang telah dikuasai, subyek-subyek yang patuh, pada akhirnya adalah penampakan si pangeran ular sebagai sebentuk diskursus yang telah mengusai jiwa manusia. Karena itulah kenapa dari berbagai kasus, orang yang telah teradikalisasi diskursus keagamaan tertentu sangat tak mudah untuk dideradikalisasi hingga ketika berbaju apapun tetap tampak sifat “masturbasif”-nya: dumeh, sok suci, dan sok benar sendiri. Secara jejaring dan pergerakan, orang-orang yang telah menjadi para “inang” si pangeran ular akan mendapatkan priveledge atau keistimewaan tertentu sebagai kompensasi atas segala teror, pelecehan dan perendahan yang mereka terima selama proses penargetan dan inisiasi.

Dari tiga tahap di atas, diskursus teror Valak terletak pada kemampuannya memperlihatkan tarik-menarik antara diskursus “kesucian” dan “keterkutukan.” Melalui berbagai teror mental itu, sesungguhnya iblis-iblis tersebut berusaha memperlihatkan eksistensinya. Teror adalah bahasa si iblis untuk menegaskan kekuasaannya atas wilayah yang ia kuasai. Wilayah yang dimaksud tak hanya pengambaran ruang fisik tapi secara mental (wilayah pengetahuan). Valak adalah representasi imaji diskursus “masturbasif” yang bersifat radikal, intoleran, dan teroristik berbasis keagamaan. Dengan kata lain, Valak dalam film The Nun dapat dilihat sebagai representasi ideologi terorisme berbalut keagamaan (kesucian) layaknya IS. Kelompok ini mengemas sedemikian rupa berbagai simbol dan bahasa keagamaan yang sifatnya sakral atau suci untuk kepentingan kelompok mereka sendiri yang sifatnya bejat atau profan (“Hikayat Binatang Beragama,” Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Pengambaran Valak melalui wujud para biarawati yang telah menjadi “inang”-nya dapat menyadarkan kita tentang kebejatan yang berbalut kesucian, sekumpulan orang yang secara sekilas alim dan saleh justru berbuat kebejatan dan kebusukan dengan menyembunyikannya di balik klaim-klaim keagamaan yang bersifat suci. Hal-hal seperti ini dapat terjadi di setiap agama dan sekte keagamaan apapun. Senantiasa terdapat titik radikal yang bersifat “masturbasif” dalam setiap golongan. Watak “masturbasif” yang sok suci, sok benar sendiri, sepertinya menjadi faktor yang memudahkan diskursus kekerasan dan terorisme merasuk.

Demikianlah film The Nun yang dirilis pada tahun 2018 dapat dibaca sebagai representasi cara kerja diskursus yang sifatnya profan atau bahkan teroristik dalam membangun eksistensi wilayah terornya. Valak, sang pangeran ular, yang merupakan representasi dari tata pengetahuan, mindset atau bahkan ideologi tertentu, berusaha untuk menguasai jiwa manusia agar dapat dipakai sesuai dengan kepentingannya yang tak selamanya bersifat suci dan mulia. Basa-basi dan penipuan semua ini tentu saja membutuhkan kecerdasan, kepekaan dan ilmu yang luas agar dapat terdeteksi. Benarlah kemudian di sini apa yang dikatakan oleh Foucault bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Kebejatan yang berbalut kesucian, eksploitasi dengan mengatasnamakan agama, penipuan berkedok ajaran-ajaran yang sekilas mulia, hanya dapat dilawan dengan akal sehat, pengetahuan dan wawasan.

(Esai kolaboratif Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi)

Heru Harjo Hutomo

Penulis, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme, menggambar dan bermain musik. Alumnus fakultas filsafat dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Ajeng Dewanthi

Peneliti lepas budaya, sejarah dan politik. Alumnus Jurusan Ilmu Sejarah, fakultas Sastra dan Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article