jfid – Singapura, negara yang dikenal sebagai salah satu yang paling berhasil dalam menangani pandemi COVID-19, kini menghadapi tantangan baru dengan munculnya varian baru virus corona yang lebih menular dan berpotensi lebih berbahaya.
Varian EG.5 dan HK.3, yang merupakan turunan dari varian XBB Omicron, kini mendominasi lebih dari 75 persen kasus harian di Singapura.
Pada bulan Oktober 2023, Singapura mencatat lonjakan kasus tertinggi sepanjang tahun, dengan rata-rata sekitar 2.000 kasus per hari.
Lonjakan kasus ini menimbulkan pertanyaan, apakah Singapura akan kembali menerapkan lockdown atau pembatasan sosial yang ketat seperti yang pernah dilakukan pada tahun 2020 dan 2021? Pada saat itu, Singapura menerapkan konsep “circuit breaker”, yaitu penghentian sementara kegiatan sosial dan ekonomi yang tidak esensial untuk mencegah penularan virus.
Kebijakan ini berhasil menekan angka infeksi dan kematian akibat COVID-19, namun juga berdampak negatif pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, situasi saat ini berbeda dengan situasi sebelumnya. Singapura kini memiliki tingkat vaksinasi yang sangat tinggi, dengan lebih dari 90 persen penduduknya telah menerima dua dosis vaksin COVID-19.
Vaksinasi ini telah terbukti efektif dalam melindungi orang-orang dari penyakit berat dan kematian akibat COVID-19, meskipun tidak sepenuhnya mencegah infeksi.
Selain itu, Singapura juga telah mengembangkan sistem perawatan dan isolasi yang lebih fleksibel dan efisien, termasuk dengan memanfaatkan teknologi telemedisin dan tes antigen cepat.
Oleh karena itu, pemerintah Singapura tidak berencana untuk mengambil langkah drastis seperti lockdown, melainkan menganggap COVID-19 sebagai penyakit endemik yang harus ditangani dengan cara hidup berdampingan dengan virus.
Hal ini sesuai dengan strategi jangka panjang Singapura untuk mencapai normal baru, di mana masyarakat dapat kembali beraktivitas secara normal dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan melacak kontak.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa Singapura akan lengah atau abai terhadap ancaman COVID-19.
Pemerintah Singapura tetap melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap situasi pandemi, dan siap mengambil tindakan pencegahan atau pengetatan jika diperlukan.
Misalnya, pada bulan Agustus 2021, Singapura sempat menurunkan batas pertemuan sosial dari lima orang menjadi dua orang, dan melarang makan di tempat di restoran, sebagai respons terhadap peningkatan kasus lokal². Kebijakan ini kemudian dilonggarkan kembali setelah situasi membaik.
Singapura juga terus berupaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan ketahanan masyarakatnya dalam menghadapi COVID-19.
dengan cara meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan, mengedukasi dan mengajak partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi dan tes, serta memberikan bantuan dan insentif bagi individu dan sektor yang terdampak oleh pandemi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Singapura tidak akan lockdown lagi, kecuali jika terjadi situasi darurat yang mengancam nyawa masyarakat.
Singapura lebih memilih untuk mengadaptasi diri dengan COVID-19, dengan cara mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan teknologi, serta menjaga kedisiplinan dan solidaritas masyarakat.
Singapura percaya bahwa dengan cara ini, negara dan masyarakatnya dapat bertahan dan bangkit dari krisis pandemi, serta mencapai normal baru yang lebih baik dan lebih aman.