Pujut Kaya, Berkat Ternak Pejambik!

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
3 Min Read
- Advertisement -

Jf.id,- Refleksi, menjelang terselenggaranya event budaya pesona bau nyale “tangkap cacing laut” sehari setelahnya, di sebelah barat kawasan Taman Wisata Alam (TWA) “gawah tunaq” (Gunung Tunaq), biasanya masyarakat sekitar Gunung tersebut mengadakan upacara yang disebut dengan upacara Pejambik. Minggu, 02/02/2020.

Lebih dari seratus (100) ekor kerbau digiring ke dalam kawasan Gunung oleh pengembalanya sebagai prasyarat dari upacara tersebut dengan beriringan dan ditemani pecut pengembala, sesajen serta alat kelengkapan ritual lainnya.

Ritual ini diceritakan berawal pada zaman dahulu ternak kerbau sering hilang, sakit saat merumput di kawasan “gawah tunaq” (Gunung Tunaq). Situasi ini membuat pengembala gusar dan khawatir atas keberlangsungan ternaknya.

Akibat dari itu, pengembala meminta izin kepada penunggu “gawah tunaq” (Gunung Tunaq) untuk di bebaskan dari musibah tersebut. Ritual ini dimulai dengan cara para pengembala menggiring semua kerbaunya memasuki kawasan “gawah tunaq” (Gunung Tunaq). Rupanya kehilangan kerbau yang sering dialami oleh pengembala diyakini bukan disebabkan oleh pencuri, akan tetapi oleh penunggu “gawah tunaq” (Gunung Tunaq) sajenis Jin dan siluman atau makhluk halus lainnya yang merupakan pemilik kawasan hutan tersebut.

Ad image

Setelah ternak kerbau tersebut sampai di kawasan “gawah tunaq” (Gunung Tunaq), para pengembala berkumpul di bawah pohon “bagik” (asam) yang besar, di yakini sebagai rumah penunggu atau pemilik “gawah tunaq” (Gunung Tunaq) untuk mengadakan ritual berupa do’a dan mantra khusus yang dipimpin oleh ketua adat setempat bernama Amak Arum.

Pengembala, yang menjadi peserta ritual tersebut diwajibkan untuk membawa “motoseo” (sesajen beras), sesajen makanan, untuk kemudian di tebarkan oleh seluruh peserta ritual ke dalam api unggun yang merupakan simbol dimulainya acara ritual dan do’a tersebut.

Sesajen makanan yang di bawa oleh pengembala peserta ritual ini kemudian disantap bersama di bawah pohon asam (bagik) dengan pimpinan ritual tersebut dan ada pula yang sengaja di sisakan untuk persembahan kepada penunggu atau pemilik “gawah tunaq” (Gunung Tunaq).

Ritual ini dilakukan oleh pengembala agar ternak kerbau mereka tidak hilang atau terkena penyakit mematikan, serta musibah lainnya. Ritual ini masih dilakukan sampai sekarang, dan menjadi warisan turun temurun warga setempat yang dilakukan setiap sekali dalam setahun.

Pada dasarnya, kajian ilmiah ata kehilangan ternak kerbau tersebut tidak masuk dalam teori kebenaran, akan tetapi menjaga kearifan lokal sebagai budaya mungkin sulit dihilangkan, oleh karenanya ada pesan yang tak tertulis dari rangkaian peristiwa ritual ini yakni, bagaiman manusia bisa berhubungan dengan alam sekitar, menjaga kelestariannya serta manusia bisa berpikir seribu kali untuk merusak tatanan kehidupan.

M Rizwan

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article