jfid – Prabowo Subianto, bakal calon presiden (bacapres) yang sudah tiga kali gagal dalam perebutan kursi RI 1, masih unggul dalam survei terbaru dari Poltracking Indonesia.
Namun, apakah ini menunjukkan kekuatan politik Prabowo yang tak terbendung, atau justru kelemahan politik calon-calon lain yang belum mampu menyainginya?
Survei Poltracking Indonesia yang dilakukan pada 3-9 September 2023 dengan melibatkan 1.200 responden menunjukkan bahwa Prabowo berhasil mendapatkan dukungan tertinggi sebesar 51,2 persen jika berhadapan dengan Anies Baswedan yang hanya mendapat 28,3 persen.
Sementara itu, jika berhadapan dengan Ganjar Pranowo, Prabowo juga unggul dengan 46,1 persen berbanding 39,8 persen.
Survei ini seolah mengkonfirmasi bahwa Prabowo masih menjadi tokoh politik paling populer di Indonesia saat ini.
Apalagi, Prabowo baru saja mendapatkan dukungan dari Relawan Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi), sebuah organisasi relawan yang mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Samawi terdiri dari ulama-ulama muda, tokoh agama, dan aktivis Islam.
Prabowo menyatakan rasa terharunya dan kehormatannya atas dukungan dari Samawi. Prabowo juga mengaku tidak menduga dan tidak mengharapkan hal tersebut.
Prabowo berjanji tidak akan mengecewakan Samawi dan seluruh rakyat Indonesia. Prabowo juga menyatakan siap menerima tanggung jawab dan melanjutkan kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi jika terpilih menjadi presiden.
Namun, apakah dukungan Samawi ini benar-benar murni karena kinerja dan visi Prabowo sebagai bacapres? Atau justru ada motif lain di baliknya? Adakah hubungan antara Samawi dengan Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo? Apakah Samawi hanya ingin memanfaatkan popularitas Prabowo untuk mendapatkan keuntungan politik?
Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno mengatakan bahwa alasan Prabowo masih unggul di survei adalah karena ia memiliki tabungan politik 15 tahun.
Prabowo sudah ikut tanding pilpres sejak 2009 sebagai calon wakil Megawati, dan dua kali capres menantang Jokowi.
Selain itu, Prabowo juga nempel ketat dengan Jokowi dengan memasang atribut kampanye ada foto Jokowi bersama Prabowo. Hal ini dianggap sebagai cara untuk merebut hati pemilih Jokowi.
Adi Prayitno juga mengatakan bahwa untuk ukuran Prabowo yang pengalaman tanding pemilunya paling banyak, mestinya ia menang telak dari calon lainnya.
Namun nyatanya tidak begitu. Ia menilai bahwa mesin politik calon lain belum terlihat kerja maksimal dan mungkin akan gaspol setelah penetapan pasangan capres oleh KPU.
Dari penjelasan Adi Prayitno ini, kita bisa melihat bahwa keunggulan Prabowo di survei bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan.
Justru sebaliknya, ini menunjukkan bahwa Prabowo tidak memiliki daya tarik politik yang kuat dan hanya mengandalkan nama besar dan pengalaman lama.
Prabowo juga tidak memiliki program-program konkret yang bisa meyakinkan rakyat Indonesia untuk memilihnya.
Prabowo juga tidak bisa dianggap sebagai sosok yang konsisten dan berprinsip. Ia pernah berseberangan dengan Jokowi dan mengkritik keras kebijakan-kebijakannya.
Namun kini ia malah mengklaim sebagai pendukung Jokowi dan ingin melanjutkan kebijakan-kebijakannya. Ia juga pernah berkoalisi dengan partai-partai Islam seperti PKS dan PAN, namun kini ia malah mendapat dukungan dari relawan-relawan Jokowi yang mayoritas nasionalis.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus cerdas dalam menilai calon-calon presiden yang akan bertarung pada Pilpres 2024.
Jangan mudah terpengaruh oleh hasil survei yang bisa berubah-ubah. Jangan juga mudah terkecoh oleh dukungan-dukungan yang bisa saja bersifat oportunis. Pilihlah calon presiden yang benar-benar memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen untuk memajukan Indonesia.