jf.id – Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Cina pada akhir Juli 2023 menimbulkan berbagai reaksi di dalam negeri. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kesepakatan kerja sama pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Banyak pihak yang mengkritik kesepakatan tersebut sebagai bentuk ketergantungan Indonesia terhadap Cina, yang dapat membahayakan kedaulatan dan kepentingan nasional Indonesia.
Namun, apakah sudah mempertimbangkan agenda strategis penguatan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara RI dan Cina? Apakah sudah memperhatikan konteks geopolitik global yang menghadapkan Indonesia pada pertarungan strategi antara Amerika Serikat (AS) dan Cina? Apakah sudah mencermati konfigurasi kekuatan delegasi pemerintah yang mendampingi Jokowi ke Cina, yang mencerminkan faksi-faksi dengan agenda berbeda dalam politik luar negeri bebas aktif Indonesia?
Pendulum menggambarkan gerakan politik luar negeri Indonesia yang dipandu oleh kepentingan pro-Amerika dan pro-Cina, dengan Jokowi sebagai presiden yang bergerak mengikuti naik-turunnya kepentingan kedua kubu. Papan catur menggambarkan posisi Jokowi sebagai pemimpin nasional yang harus menghadapi berbagai faksi dengan agenda berbeda dalam politik luar negeri bebas aktif, dengan Jokowi bukan sebagai boneka, melainkan sebagai faktor penentu yang kerap bergerak ke kiri atau ke kanan tergantung pada perkembangan global.
Pendulum Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Politik luar negeri bebas aktif Indonesia memiliki sejarah panjang sejak masa kemerdekaan. Prinsip dasarnya adalah menjaga kemandirian dan netralitas Indonesia dalam hubungan internasional, serta berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah global. Namun, dalam praktiknya, politik luar negeri bebas aktif tidak selalu konsisten dan seringkali dipengaruhi oleh kemampuan pemimpin nasional dalam menggariskan kepentingan nasional sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu faktor yang mempengaruhi politik luar negeri bebas aktif adalah konstelasi kekuatan global, terutama antara AS dan Cina. AS adalah sekutu strategis Indonesia sejak masa Orde Baru, yang memberikan dukungan politik, ekonomi, dan militer kepada Indonesia. AS juga merupakan mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai perdagangan mencapai 27 miliar dolar AS pada 2020. Namun, hubungan Indonesia-AS juga mengalami pasang surut tergantung pada isu-isu sensitif seperti HAM, Papua, dan radikalisme.
Cina adalah mitra strategis komprehensif Indonesia sejak 2005, yang memberikan kerja sama dalam berbagai bidang seperti infrastruktur, investasi, teknologi, dan pariwisata. Cina juga merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, dengan nilai perdagangan mencapai 31 miliar dolar AS pada 2020. Namun, hubungan Indonesia-Cina juga menghadapi tantangan terkait klaim Cina atas Laut Cina Selatan, isu etnis Tionghoa di Indonesia, dan persepsi negatif masyarakat terhadap Cina.
Dalam menyikapi hubungan dengan kedua negara besar tersebut, Jokowi sebagai presiden cenderung condong ke Washington saat kubu pro-Amerika mengalami pasang naik, dan ke Beijing saat kubu Cina mengalami pasang naik.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh berikut:
Pada 2015, Jokowi melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke AS dan bertemu dengan Presiden Barack Obama. Jokowi menyatakan bahwa Indonesia dan AS adalah mitra global yang berbagi visi dan nilai, serta menandatangani sejumlah kesepakatan kerja sama di bidang maritim, energi, lingkungan, pertahanan, dan pendidikan.
Pada 2016, Jokowi melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke Cina dan bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Jokowi menyatakan bahwa Indonesia dan Cina adalah mitra strategis komprehensif yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan kerja sama di bidang infrastruktur, perdagangan, investasi, dan pariwisata. Jokowi juga menyambut inisiatif Belt and Road (BRI) yang merupakan proyek ambisius Cina untuk membangun jaringan infrastruktur global.
Pada 2017, Jokowi kembali mengunjungi AS dan bertemu dengan Presiden Donald Trump. Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia dan AS adalah mitra strategis yang dapat bekerja sama dalam mengatasi isu-isu global seperti terorisme, perdagangan bebas, dan perubahan iklim. Jokowi juga menawarkan sejumlah proyek infrastruktur senilai 91 miliar dolar AS kepada investor AS.
Pada 2018, Jokowi kembali mengunjungi Cina dan bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia dan Cina adalah mitra strategis komprehensif yang dapat meningkatkan kerja sama di bidang infrastruktur, investasi, teknologi digital, dan industri kreatif. Jokowi juga menandatangani sejumlah kesepakatan kerja sama di bawah BRI, termasuk kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Pada 2019, Jokowi menghadiri KTT G20 di Osaka, Jepang, dan bertemu dengan Presiden Trump. Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia dan AS adalah mitra strategis yang dapat memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan. Jokowi juga menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.
Pada 2020, Jokowi menghadiri KTT ASEAN-Cina secara virtual dan bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia dan Cina adalah mitra strategis komprehensif yang dapat bekerja sama dalam penanganan pandemi COVID-19. Jokowi juga menyambut kerja sama vaksin antara Indonesia dan Cina, serta mendukung upaya Cina untuk mempromosikan multilateralisme.
Terlihat bahwa Jokowi berusaha menjaga keseimbangan hubungan dengan AS dan Cina sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Namun, hal ini juga menunjukkan bahwa Jokowi tidak memiliki visi jelas tentang arah politik luar negeri bebas aktif Indonesia di tengah persaingan global antara AS dan Cina. Jokowi lebih banyak bereaksi terhadap perkembangan global daripada mengambil inisiatif untuk membentuk agenda global.
Papan Catur Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Jika pendulum menggambarkan gerakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia yang dipandu oleh kepentingan pro-Amerika dan pro-Cina, maka papan catur menggambarkan posisi Jokowi sebagai pemimpin nasional yang harus menghadapi berbagai faksi dengan agenda berbeda dalam politik luar negeri bebas aktif. Faksi-faksi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar: faksi pro-kekuatan global mapan (pro-status quo) dan faksi pro-kekuatan global baru (pro-perubahan).
Faksi pro-kekuatan global mapan adalah faksi yang mendukung hubungan dekat dengan kekuatan global mapan seperti AS dan Uni Eropa. Faksi ini meliputi sebagian besar elite politik, militer, bisnis, media, akademisi, dan LSM yang memiliki hubungan historis, ideologis, ekonomi, atau keamanan dengan kekuatan global mapan. Faksi ini cenderung memandang Cina sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kepentingan nasional Indonesia.
Faksi pro-kekuatan global baru adalah faksi yang mendukung hubungan dekat dengan kekuatan global baru seperti Cina dan Rusia. Faksi ini meliputi sebagian besar elite politik, militer, bisnis, media, akademisi, dan LSM yang memiliki hubungan pragmatis, oportunis, ekonomi, atau keamanan dengan kekuatan global baru. Faksi ini cenderung memandang Cina sebagai peluang bagi pembangunan dan kesejahteraan nasional Indonesia.
Dalam menghadapi faksi-faksi tersebut, Jokowi bukan sebagai boneka, melainkan sebagai faktor penentu yang kerap bergerak ke kiri atau ke kanan tergantung pada perkembangan global. Jokowi memiliki keleluasaan untuk menentukan arah politik luar negeri bebas aktif Indonesia, namun juga harus mempertimbangkan dukungan sistemik dan perang agenda dari faksi-faksi tersebut.
Salah satu contoh yang menunjukkan posisi Jokowi sebagai papan catur adalah konfigurasi kekuatan delegasi pemerintah yang mendampingi Jokowi ke Cina. Dari 17 menteri dan pejabat tinggi yang ikut serta dalam kunjungan tersebut, terdapat perwakilan dari kedua faksi. Di satu sisi, ada menteri-menteri yang dikenal sebagai pro-kekuatan global mapan, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Di sisi lain, ada menteri-menteri yang dikenal sebagai pro-kekuatan global baru, seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Dengan demikian, Jokowi harus bermain catur dengan faksi-faksi tersebut dalam menentukan kebijakan kerjasama dengan Cina. Jokowi harus memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menguntungkan salah satu faksi saja, melainkan juga mengakomodasi kepentingan nasional Indonesia secara keseluruhan. Jokowi juga harus menjaga keseimbangan hubungan dengan negara-negara lain yang mungkin memiliki pandangan berbeda atau bersaing dengan Cina.
Salah satu isu yang menjadi tantangan bagi Jokowi dalam hal ini adalah keterlibatan Indonesia dalam organisasi-organisasi internasional yang diprakarsai oleh Cina atau Rusia. Misalnya, Iran bergabung sebagai anggota terbaru dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO), sebuah organisasi kerja sama regional yang didominasi oleh Cina dan Rusia. Sementara itu, Indonesia belum memutuskan apakah akan bergabung sebagai anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) yang ditawarkan oleh Cina dan Rusia.
Jika Indonesia bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut, maka Indonesia dapat meningkatkan kerja sama dengan kekuatan global baru dalam bidang ekonomi, perdagangan, investasi, teknologi, dan keamanan. Namun, jika Indonesia tidak bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut, maka Indonesia dapat menjaga kemandirian dan netralitasnya dalam hubungan internasional, serta menghindari konflik dengan kekuatan global mapan seperti AS dan Uni Eropa.
Dalam menyikapi isu-isu tersebut, Jokowi perlu melakukan kajian strategis yang mendalam dan menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti geopolitik, geoekonomi, geokultur, geosains, dan geoteknologi. Jokowi juga perlu melakukan diplomasi cerdas dan imajinatif dengan negara-negara lain yang memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan Cina atau Rusia. Beberapa contoh negara-negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Turki, dan Arab Saudi.
Akhirnya, kunjungan Jokowi ke Cina bukan hanya sekadar kunjungan kenegaraan biasa, melainkan sebuah telaah strategis yang membutuhkan keterampilan diplomasi dan manajemen yang tinggi dari pihak Indonesia. Kunjungan ini membuka peluang-peluang baru bagi Indonesia untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan politik dengan Cina, tetapi juga menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian dari Indonesia dalam menghadapi tantangan dan risiko yang mungkin timbul.