Seremonial: Gemerlap Tanpa Makna, Kebohongan Sosial yang Tersembunyi!

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read

Seremonial, oh seremonial, kegiatan yang terasa begitu sakral dan penting bagi kelompok atau masyarakat tertentu. Berbagai ritual, simbol, musik, tarian, pakaian, dan hiasan khas menjadi bumbu utama acara seremonial yang tak terlupakan. Bagaimana tidak, seremonial bisa jadi cara ampuh untuk mengekspresikan rasa syukur, menguatkan ikatan sosial, menghormati tradisi, atau bahkan sekadar memenuhi kewajiban.

Namun, terlalu banyak seremonial juga memiliki “kelebihan” yang mungkin tidak diinginkan. Seperti adegan pemborosan sumber daya yang seolah menjadi pemandangan lumrah di seremonial Indonesia. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, puluhan juta ton makanan dibuang setiap tahunnya dari acara-acara seremonial seperti pernikahan adat. Seremonial juga menjadi momen dimana orang-orang gemar meninggalkan sampah plastik sebagai kenang-kenangan bagi lingkungan.

Beban keuangan juga menjadi musuh seremonial berlebihan. Biaya peralatan, makanan, pakaian, dan hiasan yang harus dipersiapkan seringkali melampaui batas anggaran yang wajar. Lihat saja, rata-rata biaya pernikahan adat di Indonesia yang mencapai Rp 116 juta, sementara pendapatan per kapita hanya sekitar Rp 60 juta per tahun. Tidak jarang hal ini memaksa orang-orang terjerat dalam utang atau bahkan mengorbankan kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Namun, yang paling menarik perhatian adalah dampak sosialnya. Seremonial kadang menimbulkan ketidaksetaraan gender dan sosial yang menetap dalam kehidupan berkelompok. Dalam beberapa acara seremonial di organisasi masyarakat, ada pembagian kerja yang tidak adil antara anggota yang kaya dan miskin. Yang kaya flexing perhiasan, yang miskin pura-pura kaya. Ironisnya, yang miskin memaksakan diri mengadakan acara seremonial besar, padahal kebutuhan pokok keluarga mereka belum terpenuhi.

Efek samping seremonial berlebihan juga bisa dirasakan dalam produktivitas dan ekonomi. Indonesia memiliki jumlah hari libur nasional dan cuti bersama paling banyak di dunia, yaitu 23 hari per tahun. Kebanyakan dari hari libur ini terkait dengan seremonial keagamaan atau nasional. Inilah yang menyebabkan penurunan produktivitas dan pendapatan bagi pekerja dan pengusaha. Anak-anak sekolah pun sering absen karena harus mengikuti seremonial adat yang berlangsung berhari-hari, sehingga akses dan kualitas pendidikan menjadi terganggu.

Tak hanya itu, tekanan sosial dalam seremonial seringkali membuat orang-orang terpaksa melanggar nilai dan keyakinan pribadi mereka. Mereka merasa terpaksa untuk mengikuti norma seremonial tertentu, dan jika tidak, akan dihadapkan pada stigma sosial atau merasa rendah diri. Siapa yang tidak pernah merasakan beban seperti itu?

Selain masalah sosial, seremonial berlebihan juga dapat menjadi penghalang bagi solusi riil atas masalah yang mendesak. Miskinnya tingkat pendidikan dan kesehatan masih menjadi persoalan serius di Indonesia, namun seremonial sering mengalihkan perhatian orang dari masalah-masalah ini. Ketimbang meningkatkan kesejahteraan atau menerapkan protokol kesehatan dan vaksinasi, orang lebih memilih menghabiskan uang dan waktu untuk seremonial.

Dalam seremonial yang membosankan dan tidak relevan dengan tugas, orang-orang cenderung hanya menjadi penonton pasif. Efisiensi dan produktivitas organisasi atau birokrasi terganggu, dan rapat-rapat formal seringkali hanya pemborosan waktu dan sumber daya. Transparansi dan akuntabilitas juga bisa menjadi korban, karena seremonial yang tertutup membuat informasi penting disembunyikan dari publik.

Seiring dengan zaman, kesenjangan generasi pun tak terhindarkan. Nilai-nilai dan tradisi seremonial seringkali diturunkan dari generasi ke generasi, tapi generasi muda yang lebih terbuka terhadap pengaruh global dan modern mungkin merasa jauh dari seremonial tradisional. Kesenjangan ini bisa menimbulkan konflik antar-generasi.

Selain itu, seremonial yang tidak memiliki dasar ilmiah atau etika dapat memunculkan keraguan terhadap keaslian budaya. Masyarakat mungkin bertanya-tanya apa makna sebenarnya dari ritual-ritual aneh yang dipraktikkan dalam seremonial. Dan bahkan lebih serius lagi, seremonial berlebihan dapat menjadi pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan, menyuburkan korupsi, dan memicu konflik dan diskriminasi.

Terakhir, seremonial yang tak terkontrol juga bisa menimbulkan masalah lingkungan. Bahan-bahan yang digunakan dalam seremonial, jika tidak didaur ulang dengan benar, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Sampah organik dan anorganik menumpuk di tempat pembuangan sampah tak terkelola dengan baik, menyebabkan kerusakan ekosistem dan masalah kesehatan.

Jadi, sudah saatnya kita berpikir dua kali tentang pentingnya seremonial dan bagaimana kita dapat mengelolanya dengan bijaksana. Selaraskanlah antara kebutuhan tradisi dengan keberlanjutan lingkungan, kesetaraan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada salahnya merayakan tradisi, tapi jangan biarkan seremonial mengaburkan pandangan kita dari masalah riil yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata. Let’s make a show, but a show that truly matters!

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article