Rupiah Menguat ke Rp 14.900 per Dolar AS, UOB Indonesia Prediksi Kebijakan Moneter Longgar

Rasyiqi
By Rasyiqi
3 Min Read

jf.id – Rupiah menguat terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis (7/8/2023), seiring dengan meredanya sentimen pengetatan moneter global. Bank UOB Indonesia memprediksi bahwa rupiah akan mencapai level Rp 14.900 per dolar AS pada akhir tahun ini, didukung oleh kebijakan moneter yang lebih longgar dari Bank Indonesia (BI).

Menurut data Bloomberg, rupiah ditutup menguat 0,32% ke level Rp 15.047 per dolar AS pada perdagangan Kamis, setelah sempat menyentuh level tertinggi Rp 15.020 per dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia setelah baht Thailand, yang menguat 0.37%.

Penguatan rupiah sejalan dengan pelemahan dolar AS terhadap sekeranjang mata uang utama, seiring dengan menurunnya ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed pada tahun ini. Hal ini dipicu oleh data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan pada Juli 2023, yaitu sebesar 2,9% secara tahunan, turun dari 3,1% pada Juni 2023.

Selain itu, rupiah juga mendapat dukungan dari kebijakan moneter yang lebih akomodatif dari BI. Bank sentral Indonesia telah memangkas suku bunga acuan sebanyak dua kali sejak Juni 2023, masing-masing sebesar 25 basis poin, menjadi 4,25% saat ini. BI juga menegaskan bahwa masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut jika diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bank UOB Indonesia memandang bahwa kebijakan moneter yang longgar dari BI akan berdampak positif bagi rupiah. Bank tersebut memperkirakan bahwa rupiah akan menguat ke level Rp 14.900 per dolar AS pada akhir tahun ini, dan mencapai level Rp 14.500 per dolar AS pada akhir tahun 2024.

“Kami melihat bahwa BI akan tetap menjaga suku bunga acuan di level rendah untuk mendukung pemulihan ekonomi pasca pandemi. Hal ini akan memberikan stimulus bagi permintaan domestik dan meningkatkan daya saing ekspor Indonesia,” kata Ekonom Senior Bank UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja.

Tanuwidjaja menambahkan bahwa rupiah juga akan mendapat manfaat dari surplus neraca perdagangan Indonesia, yang mencapai US$ 9,5 miliar pada semester pertama tahun ini. Surplus tersebut mencerminkan peningkatan kinerja ekspor Indonesia, terutama komoditas seperti batubara, minyak sawit, dan nikel.

“Kami melihat bahwa permintaan global terhadap komoditas Indonesia akan tetap tinggi seiring dengan pemulihan ekonomi dunia. Hal ini akan meningkatkan penerimaan devisa dan mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan,” ujar Tanuwidjaja. (Rasy)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article