Sastra Indonesia: Perawat Kebhinekaan

Tjahjono Widarmanto
7 Min Read
Ilustrasi Kebhinekaan (Istimewa)
Ilustrasi Kebhinekaan (Istimewa)

jfID – Ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan pijakan dan menjadi dasar pengembangan sastra Indonesia sebagai penjaga kebhinekaan. Pijakan utamanya adalah bahwa keberangkatan sastra Indonesia adalah bermula dari tradisi. Pengertian tradisi tentu saja tidak boleh dimaknai dalam kerangka antropologis semata yang menyempitkan makna tradisi hanya sebagai bagian masa lalu. Pandangan yang linear semacam itu memunculkan anggapan yang terlampau subjektif sehingga memunculkan bahwa tradisi adalah bagian masa lampau sehingga eksistensinya tidak lagi relevan.

Tradisi harus dimaknai sebagai sebuah konteks memori dan sejarah yang melandasi proses penciptaan teks sastra. Tradisi harus dipandang, seperti kata Gadamer, sebagai konteks yang dibentuk dari sejarah dan memori penikmatan atas perjumpaan sastrawan dengan perjumpaannya dengan ‘sejarah’ yang dijumpainya. Itu berarti setiap teks sastra tidak mungkin lahir dari kekosongan sejarah dan penikmatannya atas berbagai konteks sejarah.

Teks sastra mustahil diciptakan tanpa adanya memori-memori atas teks-teks sebelumnya. Rifaterre dengan jelas mengatakan bahwa karya seorang penyair (sastrawan) adalah jawaban terhadap karya sebelumnya. Sebuah teks sastra lama tidak mati begitu saja tapi selalu memberi inspirasi bagi teks-teks sastra selanjutnya. Teks sastra yang baru lahir merupakan respon terhadap teks-teks sastra sebelumnya. Tradisi memang dibentuk oleh masa lalu tetapi selalu berpotensi untuk membentuk tradisi-tradis berikutnya di masa kini dan masa mendatang. Tradisi, seperti kata Eliot, bukan sesuatu yang mati dan tetap hadir dalam kehidupan masa kini. Tradisi selalu memiliki potensi memberikan rangsangan penciptaan baru, memiliki daya pikat, serta memberikan pengaruh, baik secara sadar maupun bawah sadar, yang vital bagi perkembangan intelektual dan sastra. Tradisi memberi pengaruh atau rangsangan kreativitas terhadap gagasan-gagasan, kesadaran, dan pemikiran-pemikiran yang memberi warna teks-teks sastra. Dengan gamblang, Abdul Hadi WM menyebutnya sebagai pembentuk kesadaran tidak hanya pada masa silam, tetapi juga berkenaan dengan masa kini. Melalui dialektika yang terus menerus dengan tradisinya seorang sastrawan dapat menjadikan masa lalu menjadi bagian dari kekinian kita.


Salah satu bentuk dan bagian dari tradisi adalah kultur etnik. Kultur etniklah yang dibahasakan oleh Sumito A Sayuti, sebagai sangkan-paran atau terminal keberangkatan dan kembali dalam proses kreatif seorang sastrawan. Setiap bentuk kreativitas dalam teks sastra selalu merujuk pada konteks kultural tertentu yang muncul secara nyata dalam teks sastra yang diciptakan, baik yang tercermin dalam bentuk maupun konteksnya, baik dalam gagasan tematik maupun kedalaman subjek materinya.


Kondisi kultur etnik sastrawan Indonesia memang beragam. Menempatkan kultur etnik sebagai pijakan kreatif dapat menyajikan gagasan alternatif, bisa berperan untuk mengukuhkan kultur etnik itu sendiri, bisa mempertanyakan kultur etnik itu sendiri, bisa untuk memberi tafsir baru pada kultur etnik itu senidri, bahkan dapat pula menjadikan kultur etnik sebagai pijakan untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk segala dominasi sebagai wujud keberpihakan pengarang.


Sastrawan Indonesia modern tidak berada dalam situasi dan kondisi pasif. Mereka menghadirkan, menafsirkan, menciptakan tafsir baru atas berbagai hal yang diturunkan oleh kutur etniknya. Kultur etnik tidak hanya dipinjam namun diberi unsur kreativitas baru. Kultur etnik dalam teks sastra tidak hanya muncul sebagai imitasi tetapi imitasi kreatif, menciptakan ambivalensi imitatif sekaligus subversif. Sebagai contoh, misalnya kehadiran kultur etnik wayang pada sastrawan Indonesia modern dalam teks sastranya memunculkan wayang yang berbeda dalam kultur etnik sebelumnya. Demikian juga Kaba dalam khazanah kutur etnik Melalyu, boleh jadi berbeda dengan Kaba dalam racikan kreatif sastrawan saat ini.


Penciptaan teks sastra sesungguhnya merupakan tindakan konstitutif dalam pemebentukan tradisi tematis. Tindakan konstitutif seorang sastrawan akan mencerminkan tindakan menafsir, menggabungkan, memisahkan turunan kultur etniknya, bahkan bisa mendialogkan dengan kultur etnik yang lain. Hal ini menjadikan seorang sastrawan berada dalam situasi dialektika yang terus menerus dengan kultur etniknya. Melalui dialektika itu akan memungkinkan terbentuknya penciptaan kultur etnik kedua, ketiga dan berikutnya, tanpa menghilangkan kultur etnik pertama sebagai hipotek atau memori ingatan.
Dalam realitasnya, sastra Indonesia hidup dalam situasi kebhinekaan. Kebinekaan mengacu pada hiteroginatas dan pluralitas. Kebhinekaan yang mengacu pada heterogenitas merupakan keanekaan budaya yang sudah begitu saja ada secara alamiah, keanekaan budaya yang sudah terberi, sesuatu yang given. Sedangkan kebhinekaan dalam konteks pluralitas mengacu pada istilah antropologi politik yang menegaskan bahwa keanekaan budaya merupakan kenyataan yang harus dijaga, diperjuangkan dan dirawat dengan selalu melihat perbedaan budaya sebagai sesuatu yang sah.


Persoalan sastra Indonesia dengan kebhinekaan dapat dilihat dalam tiga persoalan penting, yaitu hubungan sastra dan kebhinekaan, kebijakan pemerintah terhadap sastra dalam kerangka hubungan dengan kebhinekaan, dan peran sastra dalam memperkuat dan merawat kebhinekaan. Kebhinekaan dalam sastra, dalam pandangan Ignas Kleden, dapat ditinjau dari segi pengarang, pembaca, proses penciptaan, teks, dan genre.


Sastra Indonesia mempunyai peran besar dalam menjaga, meneguhkan dan merawat kebhinekaan. Pluralitas dalam teks sastra yang dibangun oleh pluralitas kultur etnik dapat dikenali, dihayati dan dihargai oleh pembaca. Melalui teks-teks sastra para pembaca dari kultur etnik tertuntu dapat mengenali, menghayati dan pada akhirnya menghargai perbedaan kultur etnik yang berbeda. Melalui teks-teks sastra, pembaca di Jawa dapat mengenali kultur etnik Aceh, kultur etnik Papua, atau yang lain (demikian sebaliknya) yang pada gilirannya akan sampai pada penghargaan atau saling menghargai berbagai kultur etnik tersebut. Melalui teks sastra seorang pembaca bisa melakukan muhibah budaya ke berbagai pelosok Indonesia.****

Penulis adalah Sastrawan Indonesia yang tinggal di Ngawi

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article