Kemerdekaan dalam Perspektif Filsafat Bahasa

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
Gambar ilustrasi: "Pecah Ndasmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014
Gambar ilustrasi: "Pecah Ndasmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014

jfID – “There is only one world, the world of language, and there is no the way out,” demikianlah kurang lebih kesimpulan Don Cupitt, seorang yang membawa peristiwa the linguistic turn ke ranah teologi. Problem bahasa, problem teks, problem diskursus, sebenarnya telah lama menjadi problem kemanusiaan. Sebelum peristiwa the linguistic turn, dalam dunia filsafat dan ilmu-ilmu humaniora, kita mengenal yang namanya tradisi filsafat anglo saxon atau filsafat non-kontinental. Fungsi filsafat pada saat itu tak lebih daripada seekor “hamba sains”—setelah sebelumnya menjadi “hamba teologi.” Filsafat sekedar menjadi ilmu alat, seperangkat metode untuk mengklarifikasi berbagai konsep yang selalu taken for granted. Semisal istilah sekaligus konsep “wong cilik” atau orang kecil.

“Kecil” dalam istilah itu merujuk pada apa, “bocah ingusan,” “bentuk atau postur yang kecil,” atau “jelata” (peasant)? Taruhlah “kecil” dalam istilah itu mengacu pada “bocah ingusan,” lantas apa kriteria kedewasaan atau ketuaan di situ yang menjadikan sesuatu dapat dikategorikan sebagai “kecil”? Atau istilah “kecil” itu merujuk ke istilah lainnya semisal “bentuk atau postur,” adakah ukuran “kecil” di situ bersifat penting yang memengaruhi kualitas lainnya seperti nyali ataupun leadership? Andaikata demikian, lantas dengan ukuran yang mana atau ukuran siapa kita menentukan sesuatu itu sebagai “kecil” atau “besar”? Pun seandainya “kecil” di situ, secara sosiologis-politis, dikaitkan dengan istilah “jelata” (peasant), apakah yang menjadi tolak-ukurnya, pendapatan ekonomi, tingkat pendidikan, profesi, atau status sosial-kultural? Tak ada jawaban yang pasti.

Hanya orang goblok dan kuper (manusia satu dimensi) yang menerima sesuatu secara taken for granted. Tepat di sinilah kita belajar tentang konsep the language game dari Wittgenstein (Philosophical Investigations, 1968). Bahwa, pertama, hidup tak hanya satu dimensi belaka. Ada beragam cara, gaya, perspektif, ideologi, suku dan agama, dimana masing-masing memiliki aturan main sendiri, parameter sendiri-sendiri. Kedua, masalah timbul ketika masing-masing saling bersilang-sengkarut, overlapping, yang berujung ruwet yang membingungkan. Maka dalam sebuah kaidah agama, seseorang sangat dilarang membuat keputusan ketika dalam kondisi bingung. Sebab, sudah pasti keputusannya tersebut tak akan pernah adil. Dan kita sadar, merumuskan keadilan ternyata tak semudah mengedipkan kelopak mata atau mengajak bercinta pasangan lainnya.  

Tentang overlapping di atas biasanya terjadi ketika suatu, katakanlah, komunitas yang memiliki aturan main sendiri menghakimi komunitas lainnya yang memiliki aturan main sendiri pula. Radikalisme, intoleransi, dan terorisme yang selama ini terjadi merupakan contoh nyata dari overlapping tersebut. Maka di sini, masih beranikah kita berteriak merdeka dimana tiap hari, secara diskursif, kita dijajah dan dihakimi sedemikian rupa oleh komunitas lainnya?

Dan seperti yang pernah saya catat (Ingusan, Merendahkan dengan Cercaan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id) bahwa bahasa ternyata menstruturisasikan kesadaran. Artinya, di hari ini, penjajahan itu tak hanya bersifat fisikal, tapi lebih pada mental. Hoaks dan pembunuhan karakter, baik orang maupun daerah, dapat di(re)produksi dan didistribusikan secara mudah. Melalui diskursus kita tak lagi menghadapi apa yang disebut sebagai dominasi, tapi—untuk meminjam Gramsci—hegemoni, dimana orang secara sadar diri merelakan dirinya untuk dijajah (Berlalu di Zaman (yang Tak Benar-Benar) Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Entah sampai kapan masokisme dan kegoblokan semacam ini dibiasakan. Bahwa sampai detik ini radikalisme, intoleransi, dan terorisme masih menjadi fenomena yang lumrah dan murah hanyalah bukti atas segala keterkungkungan diskursif tersebut. Dengan demikian, sekali lagi, bertepatan dengan bulan Agustus, masih percaya dirikah kita di hari ini untuk lantang berteriak: “Merdeka!”? 

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)        

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article