Meraba-raba Status Ekonomi Indonesia: “Upper Middle Income” vs Realitas

Rasyiqi
By Rasyiqi
4 Min Read

jfid – Ketika Bank Dunia menobatkan Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengah atas atau upper middle income, tampaknya ada helaan nafas kolektif lega dari banyak pihak. Sementara beberapa melihatnya sebagai penegasan kemajuan ekonomi yang signifikan, yang lainnya mungkin melihat ini sebagai validasi dari kebijakan dan program ekonomi yang telah dijalankan selama ini.

Namun, di balik kebahagiaan ini, apakah kita telah mempertanyakan apa yang sebenarnya arti dari status ini? Apakah kita benar-benar berada di ‘kelas menengah atas’, atau apakah kita sebenarnya hanya mengenakan topeng menengah atas, sementara inti kita masih menengah bawah?

Pada tahun 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita Indonesia mencapai USD 4.783, atau sekitar Rp 71 juta per tahun. Angka tersebut merujuk pada rata-rata pendapatan Rp 5,9 juta per bulan. Sebuah angka yang cukup mempesona, yang menyajikan kita berada di level yang sama dengan negara-negara upper middle income lainnya seperti Rusia, China, Brasil, dan Turki.

Tapi, tunggu sebentar, apakah itu cukup adil? Jika kita melongok lebih dalam ke arah pendapatan per kapita negara-negara tersebut, tampaknya kita bukanlah peserta yang sejajar. Rusia dan China masing-masing memiliki PNB per kapita USD 12.830 dan USD 12.850. Terdengar jauh berbeda, bukan? Bukan seperti kita berada di liga yang sama, lebih seperti kita bermain sepak bola dan mereka bermain rugby.

Status ‘kelas menengah atas’ ini tampaknya menyamarkan serangkaian isu dan tantangan yang masih harus kita hadapi. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat pengangguran yang mencemaskan adalah dua di antara banyaknya masalah yang belum terselesaikan. Pada September 2022, tercatat masih ada sekitar 26 juta orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tingkat pengangguran mencapai 5,45% per Februari 2023.

Ironisnya, di tengah banyaknya masalah ini, Indonesia berambisi untuk naik pangkat menjadi negara dengan pendapatan tinggi atau high income sebelum tahun 2045. Bagai memakai baju seukuran XL, padahal ukuran kita masih M.

Ketahanan pangan menjadi sebuah topik yang tak kalah penting dalam pembahasan ini. Berdasarkan Indeks Keamanan Pangan Global 2022, ketahanan pangan Indonesia diklasifikasikan sebagai moderat, menempati peringkat ke-63 dari 113 negara. Di kawasan Asia Pasifik, kita berada di posisi ke-10 dari 23 negara.

Sebagai negara upper middle income, tampaknya kita masih jauh tertinggal. Kita masih berada di belakang Singapura, Malaysia, dan Vietnam dalam hal ketahanan pangan. Bagai anak SD yang berusaha mengikuti perlombaan lari dengan anak SMP.

Paradoksnya, meski telah berulang kali memproklamirkan diri sebagai negara swasembada beras, kita masih mengekspor beras. Mungkinkah ini seperti berlari maraton, tapi sepanjang lomba kita terus minum air dari botol yang diisi oleh orang lain?

Maka, tak dapat dipungkiri, Indonesia masih memiliki PR besar yang harus diselesaikan. Namun, yang lebih penting, kita harus berani melihat dan menghadapi kenyataan ini, bahwa gelar “upper middle income” hanyalah satu sisi dari koin. Sisi lainnya adalah tantangan dan konflik yang harus kita hadapi.

Seperti dalam sebuah drama, hanya dengan menghadapi konflik dan tantangan, karakter bisa tumbuh dan berkembang. Harapan kita adalah, Indonesia tidak hanya akan berkembang, tetapi juga akan bertransformasi menjadi negara yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih adil untuk semua warganya. Maka, kita tunggu saja bagaimana naskah berikutnya dari drama ekonomi Indonesia akan ditulis.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article