Konsep Ideal Pemberdayaan Petani Garam

Rusdianto Samawa
7 Min Read
Petani Garam dan garam impor (foto: Sindonews)
Petani Garam dan garam impor (foto: Sindonews)

jfid – Strategi yang harus ditempuh oleh pemerintah dalam mengembangkan produktifitas pemberdayaan petani garam, yakni kolaborasi BUMN, BUMD dan Koperasi Petani Garam, seperti Pugar. Untuk menjalankan komitmen ini harus didasarkan pada semangat Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945, karena itu pemerintah harus mendorong kerjasama yang dominan antara BUMN, BUMD dan koperasi dalam perekonomian dan investasi garam.

Harus dievaluasi sistem ekonomi garam yang selama ini berjalan, karena cenderung diserahkan kepada kelompok-kelompok liberal-kapitalis (bebas/pasar) atau privatisasi. Hal itu sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Intinya, ekonomi garam harus disusu berdasar azas pemberdayaan atas cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara: bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Karena itu, petani garam harus menolak privatisasi (swastanisasi) melalui program integrasi lahan yang dikelola oleh perusahaan tertentu. Selama ini, swasta menjadi sektor utama pengelolaan garam nasional dan mencengkeram petani, minus pemberdayaan.

Mestinya, BUMN, BUMD dan Koperasi harus mendominasi untuk pemberdayaan dan kontrol terhadap distribusi garam serta menguasai cabang-cabang produksi untuk hajat hidup petani demi menjamin kesejahteraan.

Kalau pemerintah menanam bibit pesimisme secara terus menerus dengan pola impor, maka petani garam akan mengalami dis-orientasi, maka petani garamnya tidak berdaulat. Tentu akan mudah mengalami dis-trust dan lambat-laun mengarah pada pemiskinan dan kemunduran. Artinya, tidak inovatif. Itulah yang harus dicegah oleh pemerintah, jangan lagi impor. Karena sistem impor yang liberal kapitalistik ini bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945) sebagai cita-cita utama negara.

Garam nasional harus dikuasai negara. Tentu cara dimaknainya tidak menjadi negara pengusaha, melainkan negara dapat membuat regulasi untuk mencegah penjajahan ekonomi disektor Kelautan dan Perikanan, terutama penggaraman tidak dikuasai kartel asing.

Regulasi itu bisa dengan memosisikan BUMN, BUMD dan Koperasi (Pugar) sebagai kepanjangan negara yang tidak meninggalkan prinsip-prinsip bisnis, karena itu negara harus membuat klasifikasi pada bidang-bidang penggaraman yang memerlukan peranan BUMN, BUMD dan Koperasi.(Pugar) sebagai strategi negara dalam pemberdayaan petani garam.

Selama ini, garam dikontrol mafia dan produsen pengguna garam yang mengajukan rekomendasi impor garam industri ke Kemenperin melalui perusahaan tertentu. Garam industri diimpor untuk kepentingan bahan baku industri seperti kertas, makanan dan minuman, farmasi, dan lain-lain.

Liberalisasi rekomendasi impor garam konsumsi dan industri diobral kepada banyak perusahaan swasta yang selama ini menjadi wewenang Kemenperin sebagaimana diatur dalam PP 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Pada pasal 3 ayat 2 PP No. 9 tahun 2018, bahwa: Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman digunakan sebagai Bahan Baku dan bahan penolong Industri, penetapan Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diserahkan pelaksanaannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Setelah mendapat rekomendasi impor, maka selanjutnya adalah proses persetujuan impor di Kementerian Perdagangan. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) pada Juli 2019 memutuskan bahwa 7 pelaku usaha produsen garam nasional tidak terbukti melakukan kartel dalam perdagangan garam industri aneka pangan di Indonesia pada periode tahun 2015 hingga 2016.

Ya, bisa dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 5, Pasal 33, dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, bahwa pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Regulasi pemerintah sangat menyakiti perasaan masyarakat Indonesia. Karena memberikan peluang besar sebagai tukang impor. Pemerintah harus bertindak sebagai pengendali Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Penggaraman dalam rangka menjamin perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidayaan ikan, dan petambak garam. Bahkan, harus tegas negara tanpa impor. Sekaligus menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya hasil kelautan – perikanan untuk industri dalam negeri.

Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 bahwa “Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Penggaraman sebagaimana dimaksud dilakukan melalui penetapan tempat pemasukan, jenis dan volume, waktu pemasukan, serta pemenuhan persyaratan administratif dan standar mutu.” Artinya rekomendasi tetap dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Begitu juga Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 bahwa “dalam hal Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri, penetapan rekomendasi diserahkan pelaksanaannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.” Persetujuan Impor diterbitkan oleh menteri di bidang perdagangan untuk bahan baku dan bahan penolong industri yang menyesuaikan dengan rekomendasi menteri bidang perindustrian setelah memenuhi persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam ketentuan peralihannya menyebutkan: “izin Impor untuk bahan baku dan bahan penolong industri yang telah diterbitkan pada tahun 2018 ditetapkan sebesar 2.370.054,45 ton dan terus meningkat. Dalam ketentuan penutup, peraturan perundang-undangan ini harus disesuaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Kebijakan izin impor komoditas penggaraman yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan minus nilai dan usangnya nasionalisme sebagai bangsa maritim. Sebab, menumbuhkan karakter impor yang sangat berdampak pada pemiskinan bagi nelayan – nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia, yang menaruh harapan begitu besar terhadap luasnya lahan penggarapan garam di Indonesia itu sendiri dengan harapan ada perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah.

Kejanggalan impor komoditas garam karena Indonesia sebuah negara kepulauan yang memiliki lahan-lahan produktif untuk menunjang produksi garam nasional sebagai penyangga kebutuhan pangan masyarakat. Ini masalah mainseat pemerintah sering membuat dalih bahwa garam lokal tidak memenuhi syarat industri. Sehingga bahan baku itu harus impor. Di sisi lain, kebutuhan yang cukup besar di kota-kota besar di pulau Jawa. Masalahnya keterbatasan sarana dan prasarana logistik.[]

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article