Kerajaan Agung Sejagat – Sunda Empire : Mitos Ratu Adil dalam Utopia Zaman Edan

Rasyiqi
By Rasyiqi
10 Min Read
Ilustrasi kerajaan
Ilustrasi kerajaan

Oleh : Herry Santoso

jf.id – MITOS tentang “Ratu Adil” kembali menggelinding di tengah masyarakat dalam perwujudannya sebagai Kerajaan Agung Sejagad (KAS) di Purworejo (Jawa Tengah), dan Sunda Empire (SE) di Tasikmalaya (Jawa Barat).  Pertanyaan yang kerap muncul adalah benarkah ia manifestasi dari Ratu Adil yang gagal ?

Sesungguhnya wacana Ratu Adil merupakan sebuah wacana kosmo-mistis yang cenderung berbau “klenik”  yang kontekstual. Ratu Adil adalah wacana yang berupa sebuah gambaran dan harapan rakyat akan datangnya sebuah era keemasan ( golden era ) sebuah utopia yang dibangun dan berasal dari masa lampau. Utopia masa lalu karena dalam masyarakat tradisional memproyeksikan sebuah pre-established harmoni di masa lampau sebagai gambaran ideal mereka. 

Wacana Ratu Adil menurut sejarawan Sartono Kartodirjo merupakan pencarian solusi yang bersifat restoratif, penyelamatan, nativistis atau millenaristis. Ratu Adil menggambarkan konservatisme masyarakat yang mengerti bagaimana memelihara dan menjaga ‘apa’ yang sudah ada.

Ratu Adil merupakan sebuah harapan saat masyarakat musti menghadapi ketidaknyamanan dalam sebuah zaman yang tidak ideal. Ratu Adil adalah mitologis yang berdasar pada pandangan kosmis-magis yang kedatangannya akan membawa era magis milleneum atau zaman sejahtera.

Figur Pemutus Rantai Penindasan

Konsep Ratu Adil memiliki sifat mistis dan magis yang merupakan wujud dari harapan messianik. Merupakan sebuah harapan yang tak akan putus akan lahirnya mesias (figur) yang akan memutus rantai penindasan. Karena memiliki sifat mistis dan magis inilah tidaklah mengherankan kalau konsep Ratu Adil selalu muncul dalam sifat religius yang kemudian bisa mewujud dalam pemberontakan-pemberontakan politis. Harapan-harapan millenarian yang tersembunyi mendorong kemunculan tokoh-tokoh yg dianggap profetik yang dianggap sebagai guru atau orang suci yang memiliki daya karisma.

Dalam masyarakat Jawa, harapan Ratu adil seringkali disimbolisasikan atau diistilahkan dengan Erucakra. Masa kemunculan Erucakra selalu diawali dengan terjadinya bencana besar. Kemunculan Erucakra selalu memberikan semangat dan harapan baru untuk mengatasi segala kesulitan, bencana dan ketidakadilan.

Ratu Adil merupakan personifikasi harapan ekskatogis bagi manusia-manusia yang sedang berada dalam sebuah ketegangan : penderitaan dan keinginan untuk mencapai pembebasan dari penderitaan. Konsep Ratu Adil tak hanya muncul dan berhenti pada wacana saja, namun acap kali muncul sebagai sebuah gerakan, sebuah pemberontakan di saat sebuah kekuasaan dianggap sebagai sebuah tiran dan penindasan. Pemicu gerakan Ratu Adil selalu berakar pada dua faktor yaitu adanya konsepsi religius yang secara tradisional menjanjikan sebuah pranatan baru yang lebih ideal dan faktor adanya sebuah peristiwa yang menggoyahkan kehidupan. 

Gerakan Ratu adil selalu diikuti dengan pengakuan loyalitas terhadap seorang tokoh pemimpin yang dianggap memiliki persyaratan sebagai Ratu Adil. Pengukuhan dan tumbuhnya loyalias didikuti dengan gerakan protes sosial dengan mewacanakan adanya dambaan atau cita-cita negara yang bahagia.

Kekuasaan dalam sejarah Nusantara memiliki riwayat yang panjang. Perjalanan kekuasaan yang panjang di Nusantara ini memunculkan berbagai konsep kekuasaan dengan konteks sosio-kultural yang berbeda-beda yang dijalankan dengan tata politik dan tata sosial yang berbeda pula. Konsep Ratu Adil merupakan sebuah konsep kekuasaan yang tersebar di Nusantara. Masyarakat Makassar, Kalimantan, Bali sampai pedalaman Papua memiliki berbagai varian konsep Ratu Adil yang kesemuanya berpangkal pada sebuah harapan atau keinginan pada wujud kekuasaan yang lebih baik.

Restorasi Heroisme Perjuangan ke Depan

Pada dasarnya semua konsep Ratu Adil yang tersebar di seluruh Nusantara selalu berkaitan dengan ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap pemimpin dan kondisi ekonomi sosial tertentu. Kelompok masyarakat tersebut melihat kewibawaan pemimpinnya merosot lalu mendambakan pemimpin yang kharismatik yang memiliki visi-visi penyelamatan ke depan, yang salah satu wujud pendambaan itu adalah gerakan-gerakan pemberontakan. 

Hal tersebut selain pada peristiwa perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro, yang dikaji dengan amat cemerlang oleh Peter Carey,  juga muncul pada kisah heroik Si Singamangaraja (Al Makin, 2014), Cokroaminoto, Kartosuwiryo hingga Ratu Adil-Ratu Adil ‘lokal’ semacam Samin Surosentika. Peristiwa serupa juga terjadi di Papua dengan perlawanan kelompok Doa Saswar Masren yg kemudian berubah menjadi Doa Farkankin Sandik yang melawan arogansi kekuasaan melalui percaya adanya Ratu Adil yang dibisikkan tokoh mitologi Manarmakeri (Rumansara, 2014),  hal serupa juga terjadi di Bali dan di Aceh seperti diungkapkan dalam penelitian Jean Couteau; Milenarisme di Bali dan penelitian Otto Syamsudin Ishak tentang Gerakan Mahdi di Aceh.

Memasuki Revolusi Industri 4.0

Memperbincangkan kembali konsep Ratu Adil dalam wacana kekuasaan pada dasarnya menbedah kembali hal-hal arkaik yang lindap dalam sedimentasi pemikiran masyarakat kita sendiri. Memperbincangkan Ratu Adil berarti mendiskusikan harapan-harapan dasar yang ada dalam masyarakat Nusantara. Pengharapan itu sendiri merupakan harapan yang universal. Jika masyarakat mengalami krisis harapan, maka masyarakat itu berada dalam situasi terombang-ambing tanpa arah. Sebaliknya, jika masyarakat terlampau percaya kepada harapan itu bisa menjadikannya terperangkap dalam ekses-ekses ilusi. Erns Bloch seorang filsuf marxis pernah mengatakan bahwa fungsi yang benar dari sebuah otopia bukanlah untuk melarikan diri dari sebuah realita namun memberikan suatu perspektif kritis yang memotivasi masa kini untuk menuju masa depan. Pengharapan yang benar adalah pengharapan yang selalu kreatif, yang selalu bergerak dalam pencapaian-pencapaian yang tak hanya terperosok dalam “melankoli-melankoli” kepuasan. Dan Ratu adil bukan mitos, melainkan etos untuk mempertahankan yang sudah baik dan tidak punya etika untuk merusak. Ratu Adil juga bukan sesuatu yg masih raba-raba untuk suatu perubahan melainkan keniscayaan empiris yg kasat mata di restorasi wong cilik yg jujur dan lugu dlm merasakan, bukan seorang bendara yg hanya bertumpu pada caritas pembagian kue kenikmatan semisal kekuasaan. Ratu adil juga bukan pergantian kekuasaan baru tetapi termasuk menormalisasi yang telah ada hingga lebih sempurna dan memiliki nilai keistimewaan tersendiri. 

KERAJAAN AGUNG SEJAGAD DAN SUNDA EMPIRE

Hadirnya personifikasi “Ratu Adil” pasca suksesi (pemilu) 2019, yakni Kerajaan Agung Sejagad (KAS) dan Sunda Empire (SE) adalah kenaifan perilaku sosio-kultural di zaman edan yakni di gerbang fenomena  Revolusi Industri 4.0  yg sudah melahirkan strategi-strategi baru  di berbagai belahan dunia. KAS dan SE sebagai revolusi budaya yang “sedang sakit” lantaran akumulasi utopia masa lalu yang tak terkanalisir oleh zaman, sehingga terjadi frustasi budaya   berkepanjangan. Distorsi utopia masa lalu tersebut adalah halusinasi sosial yang massif dan absurd. Ini jelas asemitris dengan Revolusi Industri 4.0 yang ini mulai fenomenal.    

Revolusi 4.0 sendiri  merupakan kelanjutan dari revolusi industri sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, pada Revolusi Industri ke-1 yakni ditandai dengan lahirnya mesin-mesin uap untuk menggantikan tenaga manusia, kemudian pada Revolusi Industri ke-2 lahirnya penerapan konsep produksi massal dan mulai dimanfaatkannya tenaga listrik. Selanjutnya pada Revolusi Industri ke-3 ditandai dengan penggunaan teknologi otomasi (automatic) dlm kegiatan industri, pada Revolusi Industri ke-4, terjadi lompatan besar yaitu teknologi informasi dan komunikasi (infokom) dimanfaatkan sepenuhnya dlm proses industrialisasi. Indonesia misalnya, mulai bekerja keras untuk bersaing dg negara-negara maju dlm pemanfaatan teknologi informasi-komunikasi di dunia bisnis dan perdagangan, misalnya dalam media bisnis  melalui unicorn-unicorn yg berbasis “online”. Dari sini diharapkan industri infokom bisa turut serta dlm mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jadi infokom bukan hanya jadi alat, sekaligus alat untuk memperoleh pendapatan. Untuk itu di kancah revolusi industri ke-4 kita hrs mampu membuat _roadmap_ (peta jalan) yang benar-benar terintegrasi agar tercapai sasaran dlm persaingan global. Hal tersebut sesuai dengan harapan Kementerian Perindustrian saat ini. 

Rasanya tidaklah etis untuk mevonis sosok (figur) sebagai Ratu Adil sungguhpun tengara-tengara itu sudah ada. Ratu Adil bisa ditengarai dari sejauhmana “daya rekat” sosok publik figur tersebut terhadap wong cilik. Dari image itu sehingga mudah untuk memformulasikan isyarat-isyarat manunggalnya antara “bendara” dan “kawula” sebagaimana filsafat Jawa *Manunggale Kawula Gusti.* Jadi, siapa yang paling beraura kuat dicintai wong cilik dialah Sang Ratu Adil ?  Wallahu’alam bissawab ***

Herry Santosoadalah penulis novel Kidung Jingga Laut Masalembu (2019), pemerhati masalah sosial-politik, dan budaya tinggal di Blitar, Jawa Timur

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article