jfid – ”Tujuh pengusaha Indonesia melawat ke Israel akhir pekan lalu. Terdiri dari lima lelaki dan dua perempuan,” kata Jarusalem Post. Kabarnya, pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) melakukan penjajakan potensi kerja sama bisnis. Foto Yoram Dvash, President of Israeli Diamond Exchange dan Mufti Hamka Hasan, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang Hubungan Timur Tengah dipajang besar-besar di media itu.
Disebut bakal menjalin kerjasama dagang dengan Israel, Mufti Hasan merasa perlu mengklarifikasi. Ia menampik laporan Jarusalem Post. Menurut dia, Kadin diundang ke acara forum bisnis di Palestina, bukan Israel. Klarifikasi inilah yang jadi penting buat saya. Mengapa ia perlu memberikan klarifikasi atas kunjungan Kadin ke Israel?
Israel memang tidak salah sebagai negara. Tapi, mungkin Israel salah sebagai Yahudi. Salah karena Zionisme Israel—menegakkan identitas dan tanah air—yang melatarbelakangi serangkaian kekejaman di Palestina. Selama darah tak berhenti tumpah di Palestina, Israel (sebagai identitas) tidak pernah dilihat secara adil. Bukankah tidak semua rakyat Israel minum darah anak-anak Palestina; tidak semua warganya setuju atas pendudukan di Palestina.
Sentimen, terserah dari manapun asalnya, tetap punya sisi kejam. Ia menyebabkan seseorang atau sekelompok orang jadi buta. Tak perlu membedakan Israel yang mana yang pro pembantaian di Palestina, atau sebaliknya. Semua sama, tak perlu repot-repot dibedakan. Keduanya hanya dilihat sebagai satu kesatuan: Israel biadab haus darah!
Sentimen yang berangkat dari keyakinan juga pernah memerahkan Eropa di tahun 1209, awal mula Perang Salib Albigensian. Saat itu rombongan pasukan Katolik dengan mengatasnamakan Tuhan dan dengan restu paus, membantai penganut sekte Katarisme tepat pada 22 Juli 1209 di Beziers, Prancis Selatan. Tak ada beda. Semua penduduk kota itu dibantai habis, tak peduli di sana juga ada warga Katolik. Semua dibantai agar tak ada yang pura-pura jadi Katolik dan setelah selamat kembali melakukan bidaah. Ketakutan inilah yang membuat Kepala Biara mengatakan, ”caedite eos. Novit enim Dominus qui sunt eius.” (Bunuh mereka semua karena Tuhan tahu mereka yang merupakan pengikutnya).
Lalu bagaimana dengan Israel? Bisakah dipilih mana yang baik dan tidak agar Indonesia dapat berteman? Tentu saja tidak sesederhana itu bersahabat dengan sebuah negara. Semuanya dikalkulasi dari berbagai aspek. Dan rakyat Indonesia yang juga marah atas pendudukan Palestina, tak dapat membedakan dan menjamin Israel mana yang boleh berteman.
Sejak awal Indonesia merdeka pun Bung Karno tak tertarik mengakui Israel, tak tertarik menjalani hubungan diplomatik. Meski ketegangan ini sempat melunak di masa Orde Baru, tapi hubungan diplomatik kedua negara tetap tak terealisasi. Pun di era Gusdur menjabat. Dan saya pikir, Jokowi akan menunjukkan sikap yang sama bila tidak ingin dikecam habis.
Di mata konservatif Islam, bersekutu dengan Israel akan sangat menyakiti rakyat Palestina. Tidak ada yang meragukan solidaritas muslim Indonesia pada umat muslim di luar. Serangkaian aksi biadab Israel ke Palestina melahirkan serangkaian aksi massa menyerukan anti Israel dan boycott. Meski solidaritas antar sesama muslim dari Indonesia untuk Palestina dan beberapa umat muslim lainnya tetap menyisakan ironi yang tak selesai. Karena keramahan dan solidaritas antar sesama muslim hanya berlaku ke luar, bukan ke dalam.
Seruan Al Quran untuk mewaspadai kelicikan Yahudi masih dipegang teguh. Dan memang tidak ada yang salah dengan seseorang yang memegang teguh keyakinan. Hanya inilah yang dimiliki orang Indonesia—sesuatu yang kini dihajar habis-habisan dari dalam dan luar—menjalani hari-hari yang berat.
Keyakinan dan agama adalah sesuatu yang sensitif, tapi mungkin tidak untuk bisnis. Seperti halnya yang pernah dikatakan Netanyahu tahun lalu, terkait kerjasama Indonesia dan Israel. ”Indonesia sangat penting bagi kami,” tuturnya. Bila Indonesia masih lebam dadanya lantaran kebengisan yang terjadi di Palestina, lalu mengapa Netanyahu menganggap Indonesia (Islam), sebagai sesuatu yang penting? Tidak hanya Israel, berbagai negara di Asia juga menganggap bersahabat dengan Indonesia punya arti penting.
Hanya di Indonesia, angka kemiskinan dan income per kapita hanya sekedar administrasi dan statistik. Para ekonom boleh saja berspekulasi dan membuat analisa soal kemiskinan, tapi rakyat tetap berbelanja. Berapa banyak rongsokan Cina, Jepang dan Eropa yang ludes di sini. Keterbatasan ekonomi bukan penghalang rakyat untuk jadi konsumtif. Dua ratus juta lebih penduduk inilah yang penting; 200 juta orang berbelanja: membeli rongsokan yang tidak perlu. Entah sejak kapan ledakan populasi di Indonesia dilihat sebagai laba yang menjanjikan.
Kalau Israel pun ingin ”bersahabat”, tentu saja Kadin harus lebih bersahabat, lebih bersaudara dengan rakyat Indonesia. Karena Kadin adalah bagian dari rakyat sendiri. Permusuhan dengan sisi konservatif rakyat Indonesia benar-benar tidak menguntungkan dalam logika bisnis. Berapa banyak kerugian yang harus diderita ketika seruan ”boycott” nyaring terdengar di depan kantor. Meski rakyat akan memaafkan dan kembali berbelanja, tapi antisipasi itu perlu. Antisipasi diperlukan agar umur bisnis bisa panjang. Mungkin itu sebabnya, Mufti Hasan perlu menampik laporan Jarusalem Post.
Di sisi lain, apakah caranya menampik Jarusalem Post adalah sesuatu yang berlebihan? Tidak juga! Ya, silahkan merampok dan bikin onar di Indonesia, rakyat akan memaafkan. Tapi, bila urusan keyakinan, sebaiknya lupakan.
Jumat Pon, 12 Juli 2019