Disparitas Pemerintah: Antara Pelaut dan TKA China

Rusdianto Samawa
6 Min Read
TKA asal China yang bekerja di Indonesia (foto: tirto.id)
TKA asal China yang bekerja di Indonesia (foto: tirto.id)

jfID – Memang sangat anomali, heran. Masyarakat Indonesia terbelalak matanya saat menonton video TV MBC Korea Selatan itu. Sekaligus pikiran rakyat menyalak dan bertanya karena kasus sakit dan meninggalnya Mas Ari, seorang pelaut Indonesia dianggap ilegal.

Memang umumnya, pelaut Indonesia banyak meninggal disebabkan sakit: bengkak, kedinginan dan cuaca ekstrem. Tetapi Mas Ari meninggalkan kita semua, karena ada penyebab lain seperti meminum air laut, pelayanan kesehatan yang buruk, kapal China tempat kerja sangat kotor, dan perlakuan tidak manusiawi antar ABK maupun kapten kapal.

Hal ini terjadi, bukan saja kasus Mas Ari, sebelumnya ada Alfatah dan Sepri. Betapa miris nurani sesama warga negara Indonesia, mendengar kematiannya. Namun, faktanya pemerintah belum menunjukkan usaha untuk menuntut balik secara hukum kepada perusahaan kapal China, tempat Mas Ari bekerja itu.

So, sudah pasti ada kesalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada perlakuan antar ABK maupun Kapten. Apalagi pelayanan dan jaminan yang buruk. Dicelah inilah menunggu sikap pemerintah, tetapi sangat misterius. Kelihatannya pemerintah sangat disparitas, tak punya nyali untuk membela kedaulatan negara terhadap warga negaranya.

Disparitas pemerintah ini, ditunjukkan melalui suara-suara bising siaran pers kementerian perhubungan dalam menyikapi kasus Mas Ari yang di Larung itu. Ya biasa siaran pers obat keraguan. Kemenhub: “sudah menghubungi perusahaan, sudah siap sedia menanggung semua resikonya. Mulai asuransi, dana kesehatan, uang jaminan, jaminan hidup keluarga dan lainnya.”

Tidak ada, satu kata pun bahwa pemerintah akan lakukan proses hukum dan berkoordinasi dengan International Maritim Organisations (IMO), International Convention for Safety of Life at Sea (SOLAS), The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) dan Maritime Labour Convention (MLC). Karena Indonesia sendiri sudah masuk dalam organisasi tersebut.

Mestinya, Kemenhub, Menko Marves, Menko Polhukam, KKP dan Menakertrans sebagai perwakilan pemerintah membentuk Satuan Tugas advokasi kasus Mas Ari maupun kasus sebelumnya: Alfatah dan Sepri. Dengan demikian, negara-negara lain menghargai kedaulatan bangsa Indonesia.

Artinya, pemerintah sendiri, jangan tunjukkan keputusan yang sifatnya disparitas karena rakyat melihat dan mengamati perlakuan pemerintah terhadap Pelaut Indonesia sendiri. Dibandingkan Tenaga Kerja Asal China yang mendapatkan perlakuan: perlindungan, jaminan, bebas masuk hingga Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Pemerintah harus objektif dan berkeadilan dalam menegakkan hukum.

Kematian Pelaut Indonesia di beberapa Kapal China merupakan Tanggungjawab pemerintah secara penuh untuk melakukan langkah hukum sehingga pelaut Indonesia terlindungi. Apalagi, ada kegiatan ilegal yang dilakukan dengan penangkapan Hiu dengan tombak panjang. Hal itu sangat melanggar seluruh isi perjanjian internasional.

Lebih kuat lagi, implementasi penegakan hukum oleh Pemerintah RI yang sudah meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) tahun 2006 menjadi Undang-Undang RI Nomor 15 tahun 2016. Hal ini landasan untuk mengambil langkah perlindungan terhadap cengkeraman perusahaan-perusahaan penyedia jasa tenaga kerja Pelaut Indonesia.

Selain itu, pemerintah harus segera juga, menata ulang regulasi dan ratifikasi ILO 188 agar ada pengertian yang mendasar pemisahan diksi buruh migran, pelaut, ABK dan Nelayan. Sehingga regulasi penegakan hukum, perlindungan dan penjaminan tidak tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Hal ini untuk mempermudah menyelesaikan seluruh persoalan hubungan antara perusahaan, industri, nelayan dan Anak Buah Kapal (ABK) sebagai pekerja kapal. Karena kerapkali mereka mendapat ketidakadilan dan perbudakan masih terjadi.

Apalagi hubungan dengan industri, berupa: gaji, tunjangan, reward dan karir, sudah jelas berpengaruh. Saya banyak menerima pesan dari berbagai kalangan seperti pelaut, ABK, pekerja industri perikanan dan Nelayan itu sendiri, mereka mengadu atas bermasalah yang sering menimpa mereka, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Masalah itu yang muncul dan sulit penyelesaiannya dari pekerja-pekerja diluar negeri.

Pengaduan itu ada, karena keseringan pelaut, ABK, nelayan dan pekerja industri melapor kepada kementerian tertentu seperti KKP, Kemenlu, Menakertrans, Menkomaritim, dan Menhub, sangat jarang direspon. Hanya sekedarnya saja. Sementara mereka membutuhkan perlindungan hukum. Walaupun secara prosedur mereka harus melaporkan setiap masalah kepada Kementerian Luar Negeri RI setelah menerima laporan dari KBRI/KBJRI di beberapa negara.

Masalah-masalah seperti ini, harus diakhiri dan diperbaiki. Tentu kedepan, berharap tak ada lagi sikap disparitas pemerintah terhadap pelaut Indonesia. Pemerintah segera mengambil sikap untuk menegakkan hukum dan melindungi segenap tumpah darah dan jiwa raga warga negara Indonesia sebagai tanggungjawab kemerdekaan bangsa.

Pemerintah mendesak dialog diplomatik dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas nama rakyat Indonesia, agar mendapat keadilan hukum, ganti rugi, pelayanan, perlindungan dan penegakan hukum yang maksimal. Pemerintah tak boleh membiarkan hak-hak Pelaut warga negara Indonesia di injak-injak dan dijadikan budak. Sekarang bukan zaman perbudakan.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article